
Oleh Adim Adiluhur Setiyo, Riski Kurnia Fadillah, Ahmad Yusri | Semester 2 Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu sosial dan Imu Politik Universitas Muhammadiyah Tangerang.
Abstak
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang tidak hanya mengandung dimensi ritual, tetapi juga nilai-nilai spiritual dan sosial yang mendalam. Pelaksanaan haji menjadi momentum penting bagi setiap Muslim untuk melakukan evaluasi diri terhadap perjalanan hidupnya serta memperbarui komitmen moral dan keagamaannya. Selain sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, haji juga mendorong terjadinya hijrah sosial, yaitu perubahan sikap dan perilaku menuju kehidupan yang lebih positif, baik secara individu maupun dalam konteks sosial kemasyarakatan. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana ibadah haji dapat memfasilitasi proses evaluasi diri dan mendorong transformasi sosial. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi pustaka dan wawancara, ditemukan bahwa pengalaman spiritual selama haji berperan besar dalam membentuk kesadaran baru yang mendorong peningkatan akhlak, tanggung jawab sosial, dan partisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendahuluan
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu, baik secara fisik, finansial, maupun mental. Sebagai ibadah puncak dalam Islam, haji bukan hanya sekadar serangkaian ritual yang dilaksanakan di tanah suci Makkah dan Madinah, tetapi juga merupakan bentuk totalitas penghambaan diri kepada Allah SWT. Proses pelaksanaan haji, mulai dari niat ihram, wukuf di Arafah, hingga tahallul, mengandung nilai-nilai simbolik yang mendalam tentang keikhlasan, kesabaran, kesederhanaan, dan ketaatan mutlak kepada Sang Pencipta.
Lebih dari itu, haji juga memiliki fungsi sebagai sarana evaluasi diri, di mana setiap jamaah diajak untuk merefleksikan perjalanan hidupnya, meninjau ulang hubungan vertikal dengan Allah, serta memperbaiki hubungan horizontal dengan sesama manusia. Saat wukuf di Arafah, misalnya, jamaah berada dalam kondisi hening dan kontemplatif yang sangat kuat, menjadi waktu yang tepat untuk introspeksi dan bertobat. Dari sini, haji diharapkan mampu memunculkan kesadaran baru dalam diri seseorang untuk memperbaiki akhlak, memperkuat iman, dan menumbuhkan semangat untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Transformasi yang lahir dari pengalaman spiritual ini tidak berhenti pada tataran pribadi, melainkan berlanjut pada tataran sosial, yang dalam Islam dikenal sebagai hijrah sosial. Hijrah sosial merujuk pada perubahan sikap dan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat setelah berhaji, seperti meningkatnya kepedulian sosial, kejujuran, keterlibatan dalam kegiatan keagamaan, dan menjadi teladan di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, ibadah haji seharusnya dipahami bukan hanya sebagai pencapaian status keagamaan, tetapi juga sebagai titik tolak untuk membangun kualitas pribadi dan sosial yang lebih baik secara berkelanjutan.
Rumusan Masalah
Bagaimana ibadah haji dapat menjadi sarana bagi umat Islam dalam melakukan evaluasi diri secara spiritual dan moral?
Dalam bentuk apa saja hijrah sosial tercermin dalam kehidupan jamaah setelah melaksanakan ibadah haji?
Apa saja faktor yang mendukung dan menghambat proses transformasi pribadi dan sosial pasca pelaksanaan ibadah haji?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk menggambarkan makna ibadah haji sebagai sarana evaluasi diri dan hijrah sosial. Data diperoleh melalui studi pustaka dari literatur keislaman dan wawancara semi-terstruktur dengan lima jamaah haji asal Indonesia yang telah melaksanakan haji dalam tiga tahun terakhir. Pemilihan responden dilakukan secara purposive untuk memperoleh beragam perspektif. Data dianalisis secara tematik dengan mengelompokkan temuan ke dalam tema evaluasi spiritual, perubahan sosial, serta faktor pendukung dan penghambat transformasi pasca haji.
Pembahasan
1. Haji sebagai Sarana Muhasabah (Evaluasi Diri Spiritual)
Ibadah haji bukan sekadar memenuhi kewajiban syariat Islam, tetapi merupakan perjalanan rohani yang menyentuh inti keimanan dan ketakwaan seorang Muslim. Dalam pelaksanaannya, haji menghadirkan suasana yang kondusif untuk melakukan muhasabah atau evaluasi diri secara mendalam. Selama berada di tanah suci, khususnya saat wukuf di Arafah, setiap jamaah seakan dihadapkan pada cermin kehidupannya sendiri—merenungi dosa-dosa masa lalu, menyadari kesalahan, serta berkomitmen untuk memperbaiki diri dan meningkatkan hubungan dengan Allah SWT.
Momentum ini sangat penting, karena kehidupan sehari-hari kerap membuat seseorang larut dalam kesibukan duniawi hingga lupa menilai kualitas ibadah, akhlak, dan peran sosialnya. Haji memaksa seseorang untuk keluar dari rutinitas tersebut, masuk dalam fase keheningan batin yang hanya terfokus kepada Allah. Oleh karena itu, muhasabah dalam haji bukan hanya bersifat individualistik, tetapi juga berdampak pada kesiapan spiritual untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam kehidupan sosial setelah pulang ke tanah air.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Hasyr: 18)
Dengan demikian, ibadah haji menjadi salah satu bentuk nyata implementasi dari perintah muhasabah dalam Islam. Seorang Muslim yang benar-benar memanfaatkan kesempatan berhaji untuk introspeksi dan memperbaiki diri, akan memiliki bekal spiritual yang lebih kuat untuk menjalani kehidupan yang lebih bertakwa dan bermanfaat setelah kembali dari tanah suci.
2. Haji sebagai Titik Awal Hijrah Sosial
Setelah melalui proses muhasabah yang mendalam selama pelaksanaan haji, seorang Muslim seharusnya tidak kembali kepada kehidupan yang sama seperti sebelum berangkat. Ibadah haji yang benar-benar dijalankan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran spiritual idealnya menjadi titik awal hijrah sosial yakni perubahan sikap dan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Hijrah sosial bukan sekadar simbolik atau status sosial “telah berhaji”, melainkan tercermin dari peningkatan kualitas diri sebagai anggota masyarakat yang lebih baik, adil, peduli, dan bertanggung jawab.
Dalam konteks sosial, perubahan yang dimaksud dapat berupa peningkatan kepedulian terhadap sesama, kejujuran dalam bekerja, keterlibatan aktif dalam kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan, serta menjauhi perilaku-perilaku yang merusak seperti korupsi, fitnah, egoisme, dan arogansi. Jamaah haji idealnya menjadi teladan (uswah hasanah) bagi lingkungan sekitar, baik dalam sikap, tutur kata, maupun kontribusinya dalam kehidupan sosial.
Hijrah sosial pasca haji juga mencerminkan makna “kemabruran” dalam ibadah haji. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
“Haji mabrur tidak ada balasan lain kecuali surga.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama menafsirkan bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah karena dilaksanakan dengan niat yang benar, sesuai syariat, dan membuahkan perubahan positif dalam kehidupan setelah haji, baik dalam ibadah, akhlak, maupun kontribusi sosial. Artinya, kemabruran bukan hanya tentang selesai menunaikan rukun dan wajib haji, tetapi tentang bagaimana ibadah itu memengaruhi sikap dan tindakan jamaah di tengah masyarakat.
Fenomena ini dapat dilihat dalam berbagai pengalaman jamaah haji. Banyak di antara mereka yang setelah berhaji menjadi lebih disiplin dalam shalat, meninggalkan kebiasaan buruk seperti berkata kasar atau lalai dalam pekerjaan, bahkan memulai kegiatan sosial seperti membuka majelis taklim, menggerakkan program sedekah, atau membangun kepedulian terhadap kaum dhuafa. Semua itu menunjukkan bahwa haji dapat menjadi pemicu transformasi sosial apabila diiringi dengan komitmen yang kuat.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT juga memberi isyarat tentang pentingnya perubahan moral pasca ibadah dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa perubahan sosial harus dimulai dari perubahan diri sendiri. Maka, haji sebagai bentuk perjumpaan hamba dengan Tuhannya, harus melahirkan dorongan kuat untuk menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi lingkungan sosial.
Namun demikian, tidak semua jamaah berhasil menjalani proses hijrah sosial ini secara konsisten. Sebagian kembali ke kebiasaan lama karena tidak adanya dukungan lingkungan, lemahnya pembinaan pasca haji, atau kurangnya kesadaran untuk menjaga kemabruran. Oleh karena itu, diperlukan peran keluarga, masyarakat, dan lembaga keagamaan untuk terus membina dan mengarahkan jamaah agar tetap menjaga integritas moral dan semangat hijrah dalam kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, haji bukanlah akhir dari perjalanan ibadah, tetapi awal dari kehidupan baru yang lebih bermakna dan bertanggung jawab secara sosial. Transformasi sosial yang lahir dari pengalaman spiritual selama haji merupakan buah nyata dari ibadah yang diterima, yang bukan hanya memberi manfaat bagi individu, tetapi juga bagi masyarakat luas.
3. Dimensi Sosial Haji: Ukhuwah dan Kepedulian
Ibadah haji bukan hanya ibadah individual, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Ketika jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di satu tempat dalam waktu yang sama, perbedaan suku, bahasa, warna kulit, bahkan status sosial dilebur dalam satu identitas: sebagai hamba Allah. Inilah gambaran nyata dari ukhuwah Islamiyah, yaitu persaudaraan sejati atas dasar iman. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih mulia kecuali berdasarkan ketakwaan, sebagaimana firman Allah SWT:
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Dalam suasana ibadah haji, setiap jamaah diposisikan setara—semua mengenakan pakaian ihram yang seragam, semua tunduk pada aturan syariat, dan semua menghadapkan diri kepada Allah dalam ibadah yang sama. Pengalaman ini menumbuhkan rasa empati, kebersamaan, dan solidaritas. Banyak jamaah yang sebelumnya hidup dalam kemapanan merasa tersentuh saat melihat kesederhanaan jamaah dari negara miskin, dan sebaliknya, mereka saling membantu tanpa memandang asal-usul. Spirit ini seharusnya dibawa pulang sebagai modal sosial untuk memperkuat hubungan antarsesama di tengah masyarakat.
Dimensi ukhuwah ini, jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari setelah haji, akan melahirkan bentuk kepedulian yang nyata: saling membantu, menghindari prasangka buruk, menumbuhkan toleransi, dan memperkuat kerja sama dalam kebaikan. Hal ini sangat penting dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, di mana nilai-nilai kebersamaan dan toleransi menjadi dasar menjaga persatuan.
Tak hanya ukhuwah Islamiyah, pelaksanaan haji juga memperluas pandangan tentang ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Selama di tanah suci, jamaah belajar hidup berdampingan dengan umat dari berbagai bangsa dan latar budaya. Pengalaman ini mendorong sikap terbuka, toleran, dan menghargai perbedaan. Nilai-nilai ini menjadi sangat penting untuk dibawa kembali ke tanah air, terlebih di era saat ini yang sering diwarnai oleh konflik sosial, polarisasi politik, dan semangat intoleransi.
Selain itu, interaksi sosial yang terjadi selama ibadah haji memperkuat rasa tanggung jawab kolektif. Jamaah saling menolong saat kesulitan, membagi makanan, atau membantu sesama dalam menjalankan rangkaian ibadah. Kepedulian ini mencerminkan ajaran Islam tentang pentingnya memberi manfaat kepada orang lain, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
Kepedulian yang terbentuk selama haji ini dapat diaktualisasikan setelah kepulangan dalam bentuk keterlibatan sosial yang nyata, seperti menjadi penggerak zakat dan infak, aktif
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
dalam kegiatan kemasyarakatan, atau menjadi penghubung antara umat dan pemerintah dalam menyuarakan aspirasi keumatan. Seorang haji yang memiliki pengalaman spiritual dan sosial yang matang akan lebih sadar terhadap kebutuhan orang lain dan terdorong untuk berkontribusi bagi kebaikan bersama.
Namun, tanpa kesadaran yang berkelanjutan, nilai-nilai ukhuwah dan kepedulian yang muncul saat berhaji bisa perlahan memudar. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mempertahankan semangat sosial ini, seperti bergabung dalam komunitas alumni haji, aktif dalam lembaga-lembaga sosial keagamaan, atau menjadi relawan kegiatan kemanusiaan.
4 . Tantangan dan Strategi Mempertahankan Kemabruran Haji
Ibadah haji merupakan pengalaman religius yang sangat intens dan mendalam. Banyak jamaah haji yang mengaku merasakan pencerahan spiritual, ketenangan batin, serta dorongan kuat untuk menjadi pribadi yang lebih baik setelah pulang ke tanah air. Namun, tidak sedikit pula yang mengalami penurunan semangat atau bahkan kembali ke kebiasaan lama setelah beberapa waktu. Inilah yang menjadi tantangan utama dalam konteks mempertahankan kemabruran haji.
Kemabruran, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, tidak hanya ditentukan oleh kelengkapan rukun dan syarat haji, tetapi lebih pada dampak ibadah tersebut terhadap perubahan sikap, perilaku, dan kontribusi sosial seorang Muslim setelah haji. Rasulullah SAW menyatakan bahwa:
“Haji yang mabrur tidak ada balasan kecuali surga.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, haji yang mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah karena dijalani dengan ikhlas dan melahirkan perubahan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun untuk menjaga kemabruran tersebut, seseorang akan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan sosialnya.
5. Tantangan Internal
Tantangan internal berkaitan dengan keistiqamahan pribadi. Setelah menjalani rangkaian ibadah haji yang begitu khusyuk dan menyentuh, jamaah harus kembali menghadapi kehidupan sehari-hari yang penuh ujian, rutinitas pekerjaan, dan tekanan duniawi. Kondisi ini seringkali membuat seseorang kehilangan semangat spiritual yang sebelumnya tumbuh selama di tanah suci. Tanpa komitmen dan kontrol diri yang kuat, perubahan yang telah dicapai bisa perlahan menghilang.
Selain itu, kecenderungan untuk merasa “sudah cukup” secara spiritual karena telah menunaikan haji juga bisa menjadi jebakan batin. Perasaan ini dapat menurunkan motivasi untuk terus memperbaiki diri, padahal haji seharusnya menjadi awal perjalanan panjang menuju kebaikan, bukan akhir dari segala bentuk ibadah.
6. Tantangan Eksternal
Sementara itu, tantangan eksternal datang dari lingkungan sekitar. Setelah kembali dari haji, jamaah akan bersentuhan kembali dengan sistem sosial yang tidak selalu mendukung nilai-nilai positif yang telah diperoleh. Misalnya, lingkungan kerja yang koruptif, pergaulan yang permisif, atau masyarakat yang materialistis dapat mengikis semangat hijrah sosial yang baru saja tumbuh.
Di sisi lain, tekanan sosial juga bisa datang dalam bentuk ekspektasi berlebihan dari masyarakat, yang menuntut setiap orang yang telah berhaji untuk sempurna dalam segala hal. Ketika jamaah haji melakukan kesalahan kecil, mereka kerap mendapat cap negatif seperti “tidak mencerminkan haji.” Padahal perubahan diri adalah proses bertahap, bukan sesuatu yang instan.
7. Strategi Mempertahankan Kemabruran
Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan strategi konkret dan berkelanjutan untuk menjaga kemabruran haji. Strategi ini bisa dilakukan secara personal maupun kolektif, antara lain:
1. Menguatkan Komitmen Ibadah Pasca Haji
Menjaga rutinitas ibadah seperti salat berjamaah, membaca Al-Qur’an, berzikir, dan mengikuti kajian keislaman akan membantu mempertahankan suasana batin yang kondusif. Spirit ibadah yang terbentuk selama haji perlu dirawat secara konsisten.
2. Mengikuti Pembinaan Pasca Haji
Banyak organisasi atau KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) yang menyediakan program pembinaan pasca-haji. Kegiatan seperti pertemuan rutin, pengajian alumni haji, atau pelatihan sosial-keagamaan bisa menjadi wadah menjaga semangat dan silaturahmi.
3. Aktif dalam Kegiatan Sosial-Keagamaan
Menjadi bagian dari kegiatan sosial di lingkungan sekitar, seperti membantu masjid, penggalangan dana umat, pendidikan keagamaan anak-anak, atau kegiatan filantropi, akan membantu menyalurkan semangat hijrah sosial dalam bentuk yang nyata.
4. Membangun Lingkungan Positif
Jamaah haji disarankan untuk terus membangun interaksi dengan orang-orang yang juga memiliki semangat perbaikan diri. Lingkungan yang positif akan saling menguatkan dalam menjaga nilai-nilai haji yang telah diperoleh.
5. Menjadi Teladan Tanpa Mencari Pengakuan
Perubahan positif pasca-haji sebaiknya dilakukan dengan penuh keikhlasan, tanpa niat untuk pamer atau mencari pujian. Keteladanan yang ditunjukkan dengan rendah hati akan lebih mudah diterima oleh masyarakat dan menjadi inspirasi bagi orang lain.
8. Studi Kasus: Transformasi Sosial Seorang Jamaah Haji Pasca Ibadah Haji
Bapak H. Ahmad, seorang pengusaha toko bangunan di kota kecil di Jawa Tengah, merupakan salah satu contoh nyata bagaimana ibadah haji dapat menjadi titik balik dalam kehidupan seseorang, baik secara spiritual maupun sosial. Sebelum berhaji, ia dikenal sebagai pribadi yang keras dalam bersikap, kurang aktif dalam kegiatan sosial, dan sangat fokus pada urusan bisnis. Hubungan dengan sebagian tetangganya juga kurang harmonis karena gaya komunikasi yang dominan dan kurang terbuka.
Namun, setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 2022, terjadi perubahan signifikan dalam kepribadiannya. Menurut pengakuan beliau dalam wawancara, pengalaman wukuf di Arafah menjadi titik emosional yang sangat mendalam. Di sana ia merenungi perjalanan hidupnya, menyadari banyak kesalahan terhadap keluarga, pegawai, bahkan masyarakat sekitar. Ia juga mengaku merasakan ketenangan dan kesadaran spiritual yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Sepulang dari Tanah Suci, H. Ahmad mulai aktif dalam kegiatan masjid setempat dan menjadi donatur tetap bagi anak-anak yatim. Ia juga mendirikan sebuah komunitas sedekah bulanan yang mengajak pelanggannya ikut berdonasi untuk kegiatan sosial. Gaya kepemimpinannya dalam usaha juga berubah: lebih terbuka, empatik terhadap pegawai, dan lebih adil dalam pembagian insentif.
Perubahan H. Ahmad mendapat apresiasi dari masyarakat dan menjadi inspirasi bagi lingkungan sekitar. Ia kini dipercaya menjadi pengurus masjid dan sering diminta menyampaikan pengalaman spiritualnya dalam berbagai pengajian. Yang paling penting, perubahan tersebut tidak bersifat sementara, melainkan terus berlanjut hingga hari ini.
9. Analisis Kasus
Studi kasus ini menunjukkan bahwa haji yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran spiritual dapat menjadi pintu masuk bagi evaluasi diri yang mendalam dan mendorong hijrah sosial yang nyata. Transformasi H. Ahmad tidak hanya memperbaiki hubungan vertikalnya dengan Allah, tetapi juga membuahkan perubahan dalam relasi sosialnya. Perubahan sikap, peningkatan kepedulian, serta keterlibatan dalam kegiatan sosial merupakan indikator bahwa pengalaman haji telah tertanam secara kuat dalam dirinya.
Kasus ini juga membuktikan pentingnya pembinaan pasca-haji dan dukungan lingkungan dalam menjaga semangat kemabruran. H. Ahmad yang memilih untuk aktif dalam komunitas dan kegiatan sosial telah menciptakan ruang untuk mempertahankan nilai-nilai haji dalam kesehariannya.
Kesimpulan
Spiritual yang sangat dalam. Pelaksanaannya mendorong setiap individu untuk melakukan muhasabah, meninjau kembali kesalahan dan kekeliruan hidup, serta memperbarui komitmen ketaatan kepada Allah SWT. Lebih dari itu, haji menjadi momentum strategis bagi terjadinya hijrah sosial, yakni perubahan sikap dan perilaku yang lebih baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Dimensi sosial haji terlihat dari nilai ukhuwah, kesetaraan, dan kepedulian yang terbentuk selama proses ibadah, serta bagaimana nilai-nilai tersebut diterapkan sepulang dari Tanah Suci. Namun, mempertahankan semangat kemabruran dan transformasi pasca-haji bukanlah hal yang mudah, karena adanya tantangan baik dari dalam diri maupun lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran berkelanjutan dan dukungan sosial yang kuat agar nilai-nilai haji tidak hilang, melainkan menjadi dasar pembentukan pribadi dan masyarakat yang lebih berakhlak dan bertanggung jawab.
Referensi
- Al-Ghazali, I. (2005). Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Darul Fikr.
- Departemen Agama RI. (2022). Pedoman Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Manasik Jamaah. Jakarta: Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
- Goffary, I. (2024). Religiosity of the Millennial Generation: A Phenomenological Study of the Hijrah Movement in Bandung City. International Journal of Nusantara Islam, 12(2), hlm. 1–20. journal.uinsgd.ac.id
- Hasyim, N. M. (2022). Social Media and the Hijrah Phenomenon: Construction of Islamic Identity on Social Media in Indonesia. Kalijaga International Journal of Social Sciences and Humanities, 1(1), hlm. 16–34. ejournal.uin-suka.ac.id
- Najwa, A. (2025). The Hijrah Phenomenon: Shifting Urban Muslim Identities in Indonesia. ISEAS-Yusof Ishak Institute Perspective. iseas.edu.sg
- Pascasarjana, L. H. (2024). Dinamika Hijrah di Indonesia: Dari Transformasi Spiritual Menuju Gerakan Sosial. Jurnal Sosiologi Agama Indonesia, 5(1). journal.ar-raniry.ac.id
- Quraish Shihab, M. (2006). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
- Rosyidi, I. & Dulwahab, E. (2023). Studi Fenomenologi pada Kelompok Bimbingan Ibadah Haji Muhammadiyah Jawa Barat. INFERENSI.
- Rosyidi, I., & Dulwahab, E. (2023). Transformasi Konsep Diri Jamaah Haji (Studi Fenomenologi pada KBIH Muhammadiyah Jawa Barat). INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, V(1), hlm. 10–30. inferensi.iainsalatiga.ac.id+1journal.uir.ac.id+1
- Wolfe, M., et al. (2020). After Hajj: Muslim Pilgrims Refashioning Themselves. Religions, 12(1), 36. mdpi.com
Editor: Topan Bagaskara