
Irhas Abdul Hadi (Ketua Cabang HMI Ciputat)
Jakarta, PUSATBERITA — Konteks Kebijakan Trump dan Dampaknya pada Indonesia, Kebijakan proteksionisme “America First” yang diterapkan oleh Presiden AS, Donald Trump, telah menimbulkan tantangan bagi perekonomian Indonesia. Peningkatan tarif impor oleh AS, seperti tarif 32% yang dikenakan pada produk Indonesia, berpotensi menurunkan daya saing ekspor utama Indonesia, seperti elektronik, pakaian, dan alas kaki, yang sebelumnya menikmati surplus perdagangan sebesar $16,8 miliar dengan AS pada 2024. Selain itu, ketidakpastian perdagangan global akibat kebijakan ini telah menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah ke rekor terendah 16.850 per dolar AS dan penurunan tajam pasar saham Indonesia sebesar 9,2% pada April 2025. Alasan utama Trump adalah “membalas” tarif Indonesia yang mencapai 64% untuk produk AS, terutama di sektor seperti etanol dan persyaratan konten lokal. Bagi Indonesia, ini bukan sekadar isu perdagangan, tetapi ujian bagi ketahanan ekonomi, stabilitas moneter, dan strategi diplomasi.
Untuk menghadapi situasi ini, pemerintah Indonesia memilih pendekatan diplomasi daripada tindakan balasan. Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya hubungan yang adil dan setara dengan AS, dan berencana mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington untuk bernegosiasi. Strategi yang diusulkan mencakup peningkatan impor produk AS seperti kapas, gandum, minyak, dan gas, serta pengurangan hambatan non-tarif. Selain itu, Indonesia berupaya memperkuat kerja sama dengan negara-negara Eropa dan ASEAN untuk mendiversifikasi pasar ekspor dan mengurangi ketergantungan pada AS.
Mengutamakan Kepentingan Masyarakat di Tengah Dampak Kebijakan Trump, alih-alih Isu Personal
Di tengah guncangan kebijakan tarif 32% Trump yang menghantam ekspor Indonesia, fokus pada kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas utama. Kebijakan proteksionis AS ini berpotensi memicu resesi ekonomi, lonjakan pengangguran, dan pelemahan Rupiah—isu yang langsung menyentuh hajat hidup rakyat kecil . Sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik, yang menyerap jutaan tenaga kerja, terancam kolaps akibat penurunan permintaan ekspor ke AS. Jika pemerintah dan stakeholders hanya sibuk merespons isu personal atau konflik elit politik, risiko terbesar adalah terabaikannya solusi struktural untuk melindungi industri domestik, memitigasi PHK, dan menjaga daya beli masyarakat. Misalnya, banjirnya produk impor murah dari Vietnam dan China ke pasar domestik akibat perang tarif global harus diantisipasi dengan regulasi non-tariff barrier yang ketat, bukan dengan retorika politik yang tidak substantif .
Pada tingkat global, ketegangan dagang AS-Indonesia mempertegas pentingnya kolaborasi multilateral dan diplomasi ekonomi yang berorientasi pada kepentingan nasional. Alih-alih terjebak dalam narasi konflik personal atau kebijakan populis jangka pendek, pemerintah perlu memperkuat strategi hilirisasi sumber daya alam, diversifikasi pasar ekspor, dan peningkatan konsumsi dalam negeri sebagaimana diinisiasi melalui program Koperasi Desa Merah Putih dan aliansi BRICS . Di sisi lain, akademisi dan mahasiswa harus menjadi garda depan dalam mengawal transparansi kebijakan, mendorong partisipasi publik dalam perumusan solusi, serta mengkritisi praktik korupsi yang menggerogoti dana mitigasi krisis. Dengan memprioritaskan isu strategis seperti stabilitas ekonomi, ketahanan pangan, dan perlindungan UMKM, Indonesia bisa keluar dari krisis dengan fondasi yang lebih kokoh—bukannya terdistraksi oleh isu sektarian yang tidak menyelesaikan akar masalah .
Peran Akademisi: Respons HMI Cabang Ciputat
Sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat berpendapat, respons akademis harus mengedepankan pendekatan ilmiah dan kritis. HMI perlu menginisiasi diskusi terbuka dengan melibatkan pakar ekonomi, praktisi, dan pemerintah untuk memetakan dampak riil kebijakan tarif tersebut. Penelitian kolaboratif antara mahasiswa, dosen, dan lembaga riset harus digalakkan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan berbasis data. Menyuarakan hasil kajian tersebut ke publik melalui media kampus, opini di koran, atau audiensi dengan DPR/DPRD menjadi langkah kongkrit yang perlu dilakukan. Dengan cara ini, HMI tidak hanya menjadi penonton, tetapi aktor yang mendorong solusi berbasis keilmuan.
Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah ekonomi multidimensi: inflasi akibat kenaikan harga energi global, ketergantungan impor pangan, dan ancaman resesi di negara-negara mitra dagang. Di tingkat nasional, ketidakmerataan pembangunan, defisit neraca perdagangan, dan penguatan nilai tukar dolar yang membebani utang luar negeri adalah masalah krusial. Persoalan ini diperparah oleh perubahan iklim yang mengancam sektor pertanian dan maritim. Masyarakat harus menyadari bahwa masalah ini saling terkait dan memerlukan kebijakan terintegrasi, bukan sekadar wacana politis.
Sikap terbaik adalah kombinasi antara kritisisme konstruktif dan kolaborasi. Pertama, mahasiswa dan masyarakat harus kritis dalam mengawasi kebijakan pemerintah, tetapi juga memberikan alternatif solusi. Kedua, kolaborasi antara akademisi, pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil perlu diintensifkan untuk merancang strategi yang inklusif. Misalnya, mendorong ekonomi hijau untuk menjawab krisis iklim sekaligus menciptakan lapangan kerja. Sikap reaktif tanpa solusi hanya akan memperpanjang masalah.
Rekomendasi Kebijakan untuk Pemerintah
Penerapan tarif impor AS sebesar 32% pada masa Donald Trump, terutama pada produk seperti baja dan aluminium, secara langsung mengancam ekspor Indonesia yang bergantung pada pasar AS, termasuk produk turunan seperti tekstil dan elektronik. Pemerintah perlu melakukan diversifikasi pasar secara agresif, bukan hanya dengan mencari alternatif ke negara-negara non-tradisional, tetapi juga dengan memperkuat rantai pasok lokal untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor yang terkena tarif tinggi. Misalnya, mendorong industri tekstil berbasis serat rami atau kapas lokal bisa mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku. Selain itu, diplomasi perdagangan harus diarahkan untuk menegosiasikan pengecualian tarif bagi produk strategis Indonesia, sambil mengkritik kebijakan AS yang bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas WTO. Namun, langkah ini harus dibarengi dengan transparansi data dampak riil tarif 32% tersebut, agar kebijakan responsif tidak sekadar reaktif, tetapi berbasis bukti dan partisipasi pelaku UMKM yang paling rentan terdampak.
Di sisi geopolitik, tarif 32% ini mencerminkan politik dagang AS yang cenderung unilateral dan mengabaikan kepentingan negara berkembang. Indonesia harus memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat posisi tawar di forum multilateral seperti ASEAN dan G20, dengan menyerukan reformasi sistem perdagangan global yang lebih adil. Namun, pemerintah juga perlu kritis terhadap praktik *double standard*: di satu sisi mengutuk proteksionisme AS, tapi di sisi lain masih membiarkan kebijakan dalam negeri yang menghambat impor produk tertentu dengan dalam “melindungi pasar domestik”. Tarif tinggi AS harus menjadi refleksi untuk mengevaluasi kebijakan perdagangan Indonesia sendiri—apakah selama ini sudah inklusif atau justru memicu balasan proteksionisme dari negara lain? Di saat bersamaan, kerja sama dengan China dan Uni Eropa perlu diperdalam, bukan hanya untuk mengimbangi AS, tetapi juga untuk membuka akses teknologi hijau yang bisa meningkatkan daya saing produk Indonesia menghadapi tarif berbasis lingkungan (carbon border tax) yang mungkin diterapkan AS di masa depan.
Dampak sosial tarif 32% ini tidak boleh dianggap remeh. Kenaikan biaya ekspor berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur, terutama di daerah industri seperti Jawa Barat dan Batam. Pemerintah wajib menyiapkan skenario perlindungan pekerja melalui program reskilling berbasis ekonomi hijau dan digital, serta memperluas jaminan sosial untuk pekerja yang terdampak. Namun, kebijakan ini harus dijalankan dengan prinsip keadilan jangan sampai dana talangan hanya dinikmati korporasi besar, sementara UMKM gulung tikar. Di level global, Indonesia perlu lebih vokal membela kepentingan buruh migran yang rentan diskriminasi akibat kebijakan imigrasi Trump yang xenofobik, sekaligus membersihkan praktik perdagangan dalam negeri dari isu eksploitasi tenaga kerja dan pelanggaran HAM yang bisa digunakan AS sebagai pembenaran tarif. Pada akhirnya, tarif 32% ini adalah ujian bagi komitmen Indonesia: mau terus terjebak dalam dinamika kekuatan asing, atau berani membangun kemandirian ekonomi berbasis inovasi, keberlanjutan, dan keadilan sosial.
Kebijakan tarif Trump bukan sekadar persoalan angka, melainkan cermin ketimpangan sistemik dalam globalisasi. Indonesia harus meresponsnya dengan strategi yang tidak hanya menyelamatkan hari ini, tetapi juga membangun fondasi untuk puluhan tahun ke depan. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam permainan kekuatan negara adidaya.
Kebijakan Trump adalah alarm bagi Indonesia untuk memperkuat fondasi ekonomi. Diperlukan integrasi antara kebijakan moneter, fiskal, dan perdagangan yang adaptif. Pemerintah harus memprioritaskan:
- Diversifikasi ekonomi (kurangi ketergantungan pada komoditas dan pasar AS),
- Inovasi industri (dorong hilirisasi dan ekonomi hijau),
- Diplomasi multilateral (perkuat posisi tawar di forum global).
Dengan langkah ini, Indonesia tidak hanya bertahan dari tekanan global, tetapi juga membangun ketahanan ekonomi yang berkelanjutan. #BanggaProdukIndonesia harus menjadi gerakan nyata, bukan sekadar slogan.
Artikel Lain: Perjuangan Barkah Al Ganis: Gadaikan Nyawa Demi Kemerdekaan