
Penulis: Garry Vebrian
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Yatsi Madani Tangerang.
Dosen Pemikiran Politik Islam (Democracy and Politics Comparative) STISNU Tangerang.
—–
Deng lahir dari sebuah desa yang punya tradisi kuat tentang kehormatan, desa itu adalah Paifang, Kabupaten Guang’an, Provinsi Sichuan. Kehormatan itu bernama kerja keras, pendidikan dan pengabdian terhadap publik. Setidaknya itu yang membentuk struktur kesadaran awal Deng kecil dalam membangun China pada masa berikutnya. Latar belakang prestasi akademis dan pencarian kesuksesan ini kemungkinan membentuk nilai-nilai dan aspirasi Deng Xiaoping, yang memengaruhi perannya sebagai tokoh kunci dalam memodernisasi Tiongkok dan menerapkan reformasi ekonomi yang signifikan. Paparan awalnya terhadap cita-cita kerja keras, pendidikan, dan pelayanan publik akan terus bergema sepanjang karier politiknya, saat ia berusaha mengubah Tiongkok menjadi negara yang lebih makmur dan kompetitif secara global.
Adalah Deng Shimin, salah satu kerabat dan keluarga besar ‘Dinasti Deng” di Desa Paifang, yang berhasil menjadi pejabat tinggi di era kekaisaran tiongkok. Bayangkan untuk menjadi pejabat tinggi, kekaisaran tiongkok sudah mengadopsi sistem meritokrasi melalui ujian kekaisaran (Imperial Examinations), yang memungkinkan individu dengan kemampuan dan prestasi untuk mencapai posisi tinggi (jabatan) dalam pemerintahan. Ujian Kekaisaran (Imperial Examinations), merupakan sistem seleksi birokrasi berdasarkan ujian pengetahuan klasik, terutama Konfusianisme. Ini memberi kesempatan bagi rakyat biasa untuk menjadi pejabat negara.
Deng Shimin berhasil mencatatkan namanya sebagai salah satu masyarakat Desa Paifang yang lolos ujian level tiga, level puncak dalam seleksi jabatan, atau yang disebut dengan “jinshi”, sebuah gelar yang diberikan kepada lulusan tingkat tertinggi dalam ujian kenegaraan di kekaisaran tiongkok, yang artinya Deng Shimin berhak mengisi jabatan penting di Beijing yang merupakan pusat pemerintahan kekaisaran tiongkok pada saat itu. Jejak Shimin, kemudian diikuti oleh dua saudaranya dari Dinasti Deng, yang juga lulus dalam seleksi ujian kekaisaran.
Tapi yang lebih penting, jejak Shimin tertanam betul dalam pikiran dan imajinasi Den Wenming, ayah Deng Xiaoping. Dalam otobiografi singkat yang ditulis Deng Xiaoping saat ia berada di Moskow pada tahun 1926–1927, bahwa ayahnya memiliki impian agar Xiaoping juga menjadi pejabat tinggi. Jabatan Tinggi dalam imajinasi Dinasti Deng itu bukan tentang panggung kekuasaan yang eksploitatif, tapi itu adalah simbol dari kerja keras, pendidikan atau kerja ilmu pengetahuan, dan yang paling terpenting adalah jalan pengabdian untuk masyarakat luas.
Sebaliknya, di Pemerintahan Indonesia, terdapat paradoks yang mencolok tentang meritokrasi. Imajinasi tentang Indonesia Emas pada Tahun 2045, sebetulnya semacam “ide besar” untuk memutar-balik arah imperium dunia menuju Indonesia yang sudah digagas secara serius sejak Rezim Jokowi hingga saat ini dilanjutkan dengan Rezim Prabowo. Sebuah situasi yang sama secara historis dan psikologis yang dialami Deng Xiaoping pada akhir tahun 70-an dalam imajinasinya tentang Tiongkok di masa depan. Pada saat itu di Tiongkok puluhan juta orang mati secara struktural karena kelaparan dan kemiskinan. Saat ini di Indonesia, puluhan juta orang secara struktural tidak menemukan rute untuk keluar dari kebodohan dan kemiskinan.
Deng Xiaoping adalah orang yang berani mengatakan bahwa “kita semua yang salah”. Mao telah membuat kesalahan besar, tentu saja, tetapi dalam pandangan Deng, masalah yang lebih besar adalah sistem cacat yang melahirkan kesalahan-kesalahan tersebut, artinya kesadaran Deng Xiaoping akan pentingnya merit sistem menjadi pintu masuk yang penting untuk mengubah peta sejarah modern Tiongkok. Tentang pragmatisme Deng adalah metodologi dalam menghadapi dinamisme ekonomi, tapi merit sistem adalah prinsip, lalu hari ini jejak Deng Xiaoping dalam membangun Tiongkok menjadi negara besar tidak bisa dibantah. Di Indonesia, keseriusan untuk membangun sistem merit hanya omon-omon, bahkan kesannya seringkali mengesampingkan.
Rezim Prabowo yang sudah berlangsung kurang lebih enam bulan, belum terlihat bahkan belum ada upaya serius untuk memperbaiki sistem meritokrasi. Dalam praktiknya, banyak sistem yang mengklaim mendukung meritokrasi, tetapi sering kali memberikan peluang yang tidak setara kepada individu berdasarkan latar belakang mereka, dan bukan hanya kemampuan mereka. Contoh sudah ditampakkan dalam pengaplikasian UU TNI yang baru saja direvisi, yang menyebabkan banyak petinggi TNI mempunyai kesempatan menempati jabatan sipil, yang justru jauh dari kualifikasi kemampuannya.
Sehingga artikulasinya menjadi bias, karena kekuasaan dan jabatan bukan lagi seperti dalam imajinasi Deng, yaitu pengabdian terhadap masyarakat. Selain itu, ketika meritokrasi digunakan hanya sekedar justifikasi, maka yang terjadi adalah ketidakharmonisan dalam kebijakan publik, yang sering kali berujung pada ketidakpuasan masyarakat akibat ketidakadilan yang dirasakan.
Rezim Prabowo, harus berani mengikuti jejak Deng Xiaoping, kalau memang benar Prabowo mengagumi Deng Xiaoping. Prabowo harus berani mengatakan seperti yang dikatakan Deng, tentang mandegnya kemajuan Indonesia disebabkan karena sistem yang cacat, dan ia perlu bahkan menjadi “doktrin sakral” untuk memperbaikinya, karena Presiden lah yang punya kuasa secara penuh untuk memperbaiki sistem dari dalam secara komprehensif, hingga sampai pada “ide besar” Indonesia Emas 2045 betul-betul terasa getarannya.
Prabowo harus mulai mengevaluasi pasukannya, yang boleh ikut ke gerbong keretanya hanya mereka yang punya kemampuan, keahlian, dan visi pengabdian terhadap masyarakat yang kuat. Prabowo harus mulai sadar bahwa negara tidak bisa dibangun di atas slogan politik dan pengkultusan pribadi, seperti yang sudah dilakukan Jokowi terhadap pendukung dan pengikutnya, melainkan harus mengandalkan manajemen yang efisien dan keahlian teknis. Secara spesifik Deng Xiaoping menyebutnya dengan “rehabilitasi kekuasaan hukum dan administrasi”.
Pertanyaan pentingnya, apakah Presiden Prabowo mampu membawa kemajuan Bangsa Indonesia dalam semua bidang? Saya yakin Prabowo mampu. Meskipun dalam imajinasi saya, kalau pun Prabowo menjawab tidak atau belum mampu, saya teringat dengan ungkapan Deng Ketika Gubernur Hongkong, Sir Murray Mac Lehose, gubernur asal Inggris yang dihormati dan fasih berbahasa Mandarin, menghadap ke Deng pada Bulan Maret 1979, Mac Lehose menyampaikan kepada Deng tentang kesulitan-kesulitan yang semakin besar yang dihadapi Hong Kong. Deng dengan santai menjawab “Kalau Anda pikir mengurus Hong Kong itu sulit, cobalah mengurus Tiongkok.”
Editor: Topan Bagaskara