
Abdul Hakim
Pengajar Studi Perbandingan Politik
STISNU Nusantara Tangerang
// Bagian Satu: Ketimpangan dan Kuasa Oligarki
Ketimpangan ekonomi telah lama menjadi salah satu isu paling krusial dalam diskursus ilmu sosial dan ekonomi kontemporer. Meskipun kemiskinan sering mendapat perhatian utama sebagai masalah yang perlu diatasi, akumulasi kekayaan ekstrem dan konsentrasi kekuasaan ekonomi justru kerap diterima sebagai sesuatu yang wajar—bahkan dianggap sebagai pendorong kemajuan. Fenomena ini mencerminkan bias epistemologis dalam ilmu ekonomi arus utama, yang cenderung mengabaikan dampak struktural dari ketimpangan terhadap keadilan sosial dan stabilitas demokratis. Dalam konteks ini, karya Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, muncul sebagai intervensi mendasar yang tidak hanya memetakan ketimpangan historis, tetapi juga menantang narasi dominan tentang meritokrasi dan efisiensi pasar.
Piketty membuktikan bahwa tanpa intervensi kebijakan yang progresif, kapitalisme cenderung melanggengkan ketimpangan melalui mekanisme warisan dan akumulasi kekayaan yang menguntungkan segelintir elite. Temuan ini bukan sekadar analisis teknis, melainkan kritik moral terhadap sistem yang mengorbankan prinsip kesetaraan demi kepentingan oligarki ekonomi. Lebih jauh, ketimpangan yang tinggi tidak hanya merusak kohesi sosial, tetapi juga melemahkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik—sebuah paradoks yang menuntut refleksi ulang atas fondasi tata kelola ekonomi global.
Refleksi ini berikhtiar untuk menguraikan kompleksitas ketimpangan ekonomi, mulai dari akar filosofisnya dalam utilitarianisme klasik hingga manifestasinya dalam kebijakan neoliberal yang mendominasi dunia pasca-1980-an. Dengan menggabungkan perspektif sejarah, data empiris, dan analisis kritis, pembahasan ini akan menyoroti bagaimana ketimpangan bukanlah takdir, melainkan hasil dari pilihan politik yang dapat diubah. Tantangannya adalah merancang ulang institusi ekonomi agar lebih inklusif—tantangan yang relevan tidak hanya bagi negara-negara maju, tetapi juga bagi Indonesia, di mana kesenjangan sosial terus melebar meski pertumbuhan ekonomi tampak stabil.
Diskusi ini mengajak kita untuk melihat ketimpangan bukan sebagai angka statistik semata, melainkan sebagai persoalan mendasar tentang legitimasi moral dan masa depan demokrasi. Sebab, seperti dikatakan Piketty, ketika kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang, yang terancam bukan hanya kesejahteraan kolektif, tetapi juga hak setiap individu untuk hidup dalam masyarakat yang adil.
Kritik Ideologis terhadap Keadilan Distributif
Dalam ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya, terdapat kecenderungan untuk lebih memperhatikan masalah seperti kemiskinan dan nasib kaum miskin, dibandingkan dengan isu-isu yang berkaitan dengan kekayaan, ketimpangan, dan kekuasaan ekonomi. Kemiskinan dipandang sebagai sesuatu yang harus dijelaskan, dikritisi, dan dicari solusinya—sementara kekayaan ekstrem dan perilaku kaum super-kaya justru diterima begitu saja sebagai bagian dari tatanan alami masyarakat. Dalam konteks ini, kita memiliki kajian luas yang disebut poor economics, namun hampir tidak ada yang bisa disebut rich economics. Fenomena ini mencerminkan bias epistemologis dalam ilmu ekonomi arus utama yang memandang kemiskinan sebagai anomali sosial, sedangkan kekayaan yang terkonsentrasi dilihat sebagai hal yang wajar, bahkan tak terelakkan.
Secara filosofis, bias ini mencerminkan warisan pemikiran utilitarianisme klasik dan ideologi neoliberal yang menganggap ketimpangan sebagai insentif bagi kemajuan. Ketimpangan diyakini mendorong inovasi dan kerja keras, dengan asumsi bahwa manfaatnya akan “menetes” ke seluruh lapisan masyarakat. Argumen ini secara eksplisit atau implisit membentuk kerangka kebijakan yang menolak pajak tinggi terhadap orang kaya serta skeptis terhadap redistribusi kekayaan melalui bantuan sosial. Sebagaimana diungkapkan oleh Willem Buiter, ekonom utama Citigroup, ‘Poverty bothers me. Inequality does not. I just don’t care’. Pernyataan ini mencerminkan ketidakpedulian sistemik terhadap ketimpangan, yang tidak dilihat sebagai masalah moral, sosial, maupun ekonomi.
Lebih tajam lagi, Robert Lucas—peraih Nobel di bidang ekonomi—mengatakan bahwa perhatian terhadap distribusi adalah “racun” bagi ilmu ekonomi yang sehat. Pandangan ini menunjukkan penolakan ideologis terhadap gagasan keadilan distributif. Bahkan, Ludwig von Mises, tokoh penting dalam mazhab ekonomi neoliberal, menulis surat kepada Ayn Rand pada tahun 1958 dan memuji novelnya Atlas Shrugged karena berani menyampaikan pesan bahwa massa adalah inferior, dan bahwa kemajuan hanya mungkin terjadi berkat kerja keras segelintir “manusia unggul”. Pernyataan seperti ini bukan sekadar provokatif, tetapi juga menunjukkan adanya etika sosial yang bersifat elitis dan anti-demokratis, yang merayakan ketimpangan sebagai bentuk keunggulan moral dan produktivitas.
Kecenderungan ini patut dikritisi secara serius. Ketika ilmu ekonomi abai terhadap distribusi kekayaan dan kekuasaan, maka ia kehilangan dimensi etisnya dan berisiko menjadi alat justifikasi bagi status quo. Dalam perspektif filsafat politik, perhatian terhadap keadilan distributif merupakan inti dari proyek modern tentang kebebasan dan kesetaraan. Ketimpangan bukan hanya soal angka, tetapi soal legitimasi moral dari struktur sosial. Dengan mengabaikan isu-isu ini, ilmu ekonomi menghindar dari tanggung jawabnya sebagai ilmu sosial yang seharusnya menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dalam sistem ekonomi yang ada. Maka, mendesak untuk dikembangkan bukan hanya poor economics, tetapi juga rich economics—sebuah cabang studi yang kritis terhadap kekayaan yang terakumulasi, kekuasaan yang terpusat, dan dampaknya terhadap kehidupan demokratis dan kesejahteraan bersama.
Kepentingan Elite vs Demokrasi
Dalam lanskap politik kontemporer, terutama di negara-negara Barat, kita menyaksikan bagaimana ketimpangan tidak hanya ditoleransi, tetapi justru dirayakan sebagai sesuatu yang sah dan diinginkan. Politisi konservatif, Margaret Thatcher, di masa lalu, dengan terang-terangan membela ketimpangan sosial sebagai bentuk pengakuan terhadap “talenta” dan “kemampuan” individu. “Tugas kita adalah merayakan ketimpangan,” kata Thatcher, seolah ketimpangan adalah hasil alami dari meritokrasi dan bukan konsekuensi dari struktur kekuasaan dan kebijakan yang timpang. Bahkan dari sayap tengah-kiri, Perdana Menteri Tony Blair menyampaikan kekhawatiran bahwa pajak terhadap orang-orang terkaya justru akan merugikan mereka yang berada di lapisan bawah masyarakat—sebuah argumen khas ekonomi trickle-down yang terus direproduksi meski efektivitasnya telah lama dipertanyakan secara empiris.
Di Amerika Serikat, Partai Republik secara konsisten memperjuangkan kepentingan kelas atas, terutama para pemilik modal. Selama masa kepemimpinan Presiden George W. Bush, pemotongan pajak terbesar diberikan kepada para pemilik investasi dan pewaris kekayaan besar: tarif pajak atas dividen turun drastis dari hampir 40% menjadi hanya 15%, dan pajak warisan dihapuskan sama sekali. Rencana pajak yang diajukan oleh Partai Republik di era Obama bahkan memungkinkan individu yang hidup sepenuhnya dari pendapatan investasi untuk tidak membayar pajak federal sedikit pun. Sementara di Inggris, Perdana Menteri dari Partai Konservatif, David Cameron, secara terang-terangan menolak ide pajak untuk properti mewah (mansion tax) dengan alasan yang sangat gamblang: “Donatur kami tidak akan menerimanya.” Pernyataan ini dengan jujur mengungkapkan relasi mesra antara kekuasaan politik dan oligarki ekonomi, di mana kebijakan publik dikendalikan oleh kepentingan elite yang mampu mendanai partai politik.
Dalam ranah korporasi global, pandangan serupa juga digaungkan oleh tokoh-tokoh bisnis besar. Bernard Arnault, CEO grup mewah Prancis LVMH, pernah menyatakan dengan penuh kebanggaan bahwa perusahaan internasional kini memiliki sumber daya yang lebih besar dan daya tawar yang setara atau bahkan melebihi negara. “Dampak nyata politisi terhadap kehidupan ekonomi sebuah negara semakin terbatas. Untungnya,” ujar Arnault. Pernyataan ini mencerminkan sebuah paradigma baru di mana kekuasaan ekonomi tidak lagi tunduk pada mekanisme politik demokratis, tetapi justru menundukkannya. Dalam pemikiran para kritikus seperti Michael Sandel dan Nancy Fraser, dominasi kaum kaya terhadap ruang publik menciptakan democratic deficit—defisit demokrasi—karena suara warga negara tidak lagi sebanding nilainya dengan suara kapital.
Ketika politik menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan korporasi dan elite ekonomi, maka nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan pemerataan semakin tersingkir. Pandangan bahwa redistribusi kekayaan akan menghambat pertumbuhan ekonomi adalah bentuk rasionalisasi ideologis yang mengaburkan kenyataan bahwa pertumbuhan itu sendiri seringkali terjadi secara tidak inklusif. Ketimpangan yang dibiarkan tumbuh tanpa kendali bukan hanya merusak kohesi sosial, tetapi juga melemahkan legitimasi moral negara. Maka, mendesak untuk dilakukan dekonstruksi terhadap mitos meritokrasi dan kebijakan trickle-down, serta membuka ruang bagi pemikiran ekonomi-politik yang lebih egaliter dan demokratis.
Dampak Sistemik Ketimpangan Ekonomi
Publikasi ‘Capital in the Twenty-First Century,’ oleh Thomas Piketty pada tahun 2014 menandai tonggak penting dalam perdebatan global tentang ketimpangan ekonomi. Keberhasilannya menembus peringkat pertama dalam daftar buku terlaris Amazon—bahkan mengungguli fiksi—serta laris manis di berbagai toko buku akademik, seperti The Economist’s Bookshop di London, menunjukkan bahwa persoalan ketimpangan tidak lagi menjadi isu pinggiran, melainkan telah merambah kesadaran kolektif publik luas. Ironisnya, buku setebal 685 halaman dengan bobot 1,1 kilogram ini bukanlah bacaan ringan, tetapi justru berhasil memantik dialog serius bahkan di kalangan yang biasanya jauh dari diskursus ekonomi.
Kesuksesan Piketty tidak datang dari ruang hampa. Ia muncul dalam konteks krisis ekonomi global 2008 yang mengguncang keyakinan terhadap pasar bebas dan membuka tabir ketimpangan struktural yang selama ini dianggap “alamiah”. Di tengah gelombang pengangguran massal dan stagnasi upah, justru para eksekutif dan pemilik modal menikmati lonjakan kekayaan. Dalam konteks inilah Capital hadir — bukan hanya sebagai analisis teknis, melainkan sebagai intervensi moral terhadap dominasi narasi neoliberal yang cenderung meromantisasi ketimpangan sebagai pemicu inovasi dan pertumbuhan. Piketty menyajikan bukti historis dan statistik yang tidak mudah dikesampingkan: bahwa akumulasi kekayaan yang tidak dikendalikan secara demokratis cenderung menghasilkan oligarki dan menggerus prinsip kesetaraan yang menjadi fondasi demokrasi modern.
Buku ini dapat dibaca sebagai upaya merestorasi nilai-nilai keadilan distributif yang telah didegradasi oleh dominasi pemikiran utilitarianisme sempit dalam ilmu ekonomi. Dengan meminjam semangat egalitarianisme dari pemikir seperti John Rawls, Piketty menyodorkan gagasan bahwa distribusi kekayaan bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal legitimasi moral dan politik. Bahwa dalam masyarakat yang mengklaim dirinya demokratis, ketimpangan ekstrem merupakan bentuk kekerasan struktural yang secara perlahan tetapi pasti mengikis partisipasi politik, mempersempit kesempatan hidup yang adil, dan memperkuat dominasi minoritas kaya atas mayoritas rakyat.
Mitos Pertumbuhan dan Runtuhnya Meritokrasi
Kesuksesan Capital juga tidak lepas dari ambiguitas strategisnya: di satu sisi, ia menawarkan kritik tajam terhadap kapitalisme kontemporer; di sisi lain, ia tetap berada dalam kerangka analisis konvensional dan tidak mengusulkan revolusi radikal. Alih-alih menyerukan penggulingan sistem, Piketty mengusulkan kebijakan pajak progresif atas kekayaan global—sebuah langkah reformis yang dalam banyak hal masih bisa diterima oleh sistem ekonomi yang ada. Inilah yang membuat buku ini diterima luas: ia cukup radikal untuk membangkitkan kesadaran, tetapi cukup moderat untuk tidak langsung ditolak oleh kaum teknokrat atau kalangan bisnis.
Maka, Capital bukan hanya menjadi fenomena penerbitan, tetapi juga refleksi dari kegelisahan zaman. Ia menjadi simbol dari kerinduan publik terhadap narasi alternatif di tengah dominasi teknokrasi ekonomi yang kerap meminggirkan pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan, keseimbangan sosial, dan hak atas masa depan. Tantangan ke depan adalah apakah Capital akan terus dijadikan landasan bagi agenda intelektual dan kebijakan publik, ataukah akan dilupakan begitu ekonomi global kembali “pulih” dan narasi pertumbuhan kembali mendominasi. Dalam kerangka ini, mempertahankan Piketty di ruang publik bukan hanya soal membela satu buku, tetapi membela hak masyarakat untuk membayangkan tatanan ekonomi yang lebih adil dan manusiawi.
Thomas Piketty, melalui karya monumentalnya Capital in the Twenty-First Century, secara tegas menggugat sikap masa bodoh yang kerap ditunjukkan terhadap persoalan ketimpangan ekonomi. Dengan gaya penulisan yang mudah diakses namun sarat dengan kredibilitas ilmiah, Piketty menyuguhkan satu tesis mendasar namun mengganggu: bahwa selama berabad-abad, pendapatan dan kekayaan cenderung terkonsentrasi pada segelintir lapisan teratas masyarakat, dan proses ini tidak pernah sepenuhnya terkoreksi oleh mekanisme pasar seperti mobilitas sosial atau meritokrasi.
Dalam jangka panjang, tren akumulasi kekayaan ini sesekali mengalami gangguan, namun bukan karena mekanisme internal kapitalisme, melainkan akibat gejolak eksternal yang ekstrem. Piketty mengidentifikasi tiga jenis gangguan utama: (a) peristiwa traumatik seperti perang, depresi besar, dan hiperinflasi; (b) kebijakan pajak progresif yang sangat tinggi terhadap kekayaan dan warisan; dan (c) pertumbuhan produktivitas dan populasi yang tinggi. Dua yang pertama secara drastis menurunkan tingkat keuntungan atas kepemilikan modal, sementara yang ketiga mendorong naiknya pertumbuhan pendapatan rata-rata.
Dampak dari kombinasi faktor-faktor ini terasa paling kuat pada pertengahan abad ke-20, khususnya antara tahun 1930-an hingga 1970-an, ketika negara-negara Barat mengalami penurunan ketimpangan yang sangat signifikan. Namun, Piketty menggarisbawahi bahwa periode ini adalah pengecualian sejarah, bukan norma. Begitu ‘kondisi normal’ kapitalisme pulih setelah 1970-an—yakni ketika tidak lagi ada perang besar, kebijakan redistributif dikendurkan, dan pertumbuhan ekonomi melambat—tren ketimpangan kembali menguat. Pemilik modal (yang dalam definisi luas mencakup tanah, properti, pabrik, dan aset finansial) menguasai porsi pendapatan nasional yang semakin besar, sementara pekerja yang mengandalkan upah justru menyusut kontribusinya terhadap pendapatan nasional.
Piketty menunjukkan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara maju secara perlahan tapi pasti kembali menuju tingkat ketimpangan pendapatan dan kekayaan yang mirip dengan kondisi pra-Perang Dunia I. Bahkan lebih mengkhawatirkan, ketimpangan yang jauh lebih tinggi di negara-negara berkembang saat ini berpotensi menetap dalam jangka panjang—jika tidak ada kebijakan publik yang radikal untuk mengatasinya, atau jika tidak terjadi guncangan besar seperti perang atau krisis ekonomi global.
Secara filosofis, temuan Piketty mempersoalkan keyakinan modern yang terlalu optimistis terhadap ‘kemajuan ekonomi’ yang seolah-olah membawa keadilan secara otomatis. Ia membongkar mitos bahwa pertumbuhan ekonomi akan dengan sendirinya menetes ke bawah (trickle-down effect) dan memperkecil kesenjangan. Justru sebaliknya, tanpa intervensi negara, kapitalisme menunjukkan sifat dasarnya sebagai sistem yang memperkuat warisan kekayaan dan menyingkirkan peluang pemerataan. Oleh karena itu, bagi Piketty, solusi atas ketimpangan tidak cukup dengan memperbaiki pertumbuhan; harus ada visi politik baru yang berani dan kolektif untuk mendesain ulang institusi ekonomi agar lebih adil dan demokratis.
Lebih jauh lagi, Piketty menunjukkan bahwa konsentrasi kekayaan dan pendapatan tidak hanya meningkat di antara kelompok 1% teratas, tetapi juga semakin tajam saat menelusuri ke lapisan yang lebih tinggi dalam hierarki tersebut: kelompok 0,1% teratas menguasai porsi yang jauh lebih besar dibanding kelompok 1% secara keseluruhan, dan kelompok 0,01% teratas bahkan lebih dominan lagi. Pola ini sejalan dengan Zipf’s Law—sebuah hukum distribusi empiris yang juga ditemukan dalam distribusi ukuran kota, frekuensi kata dalam bahasa, dan fenomena sosial lainnya. Dalam konteks ekonomi, hukum ini memperlihatkan bahwa semakin ke atas dalam piramida kekayaan, distribusi menjadi semakin tidak proporsional dan ekstrem.
Pertanyaannya kemudian, mengapa semakin kaya seseorang, semakin cepat pula kekayaannya bertambah? Salah satu jawabannya terletak pada tingkat keuntungan atas kekayaan (rate of return) yang meningkat seiring besarnya kekayaan itu sendiri. Dengan modal yang sangat besar, kaum superkaya dapat mengakses instrumen investasi eksklusif, membayar penasihat finansial terbaik, dan mendiversifikasi aset mereka secara global—semua hal yang tidak tersedia bagi pemilik modal kecil. Di samping itu, faktor pewarisan memainkan peran yang sangat penting. Kekayaan tidak hanya diwariskan dalam bentuk aset material, tetapi juga dalam bentuk ‘modal budaya’—seperti rasa percaya diri, akses terhadap jaringan sosial elit, dan pengetahuan informal tentang cara mempertahankan posisi dominan dalam struktur sosial.
Piketty dengan cerdas menggali karya sastra klasik—khususnya novel-novel Jane Austen dan Honoré de Balzac—untuk memperlihatkan bagaimana pewarisan kekayaan membentuk struktur kelas dan bahkan strategi pernikahan pada abad ke-18 dan ke-19. Dalam masyarakat semacam itu, masa depan individu lebih ditentukan oleh nasib lahir daripada oleh prestasi atau kerja keras. Uang melahirkan lebih banyak uang, dan semakin banyak uang yang dimiliki, semakin cepat ia berkembang biak. Dalam ungkapan khas Piketty yang menggugah: “The past devours the future”—masa lalu menelan masa depan. Artinya, warisan kekayaan yang terakumulasi di tangan segelintir elite akan terus membentuk masa depan ekonomi dan sosial, menghalangi munculnya masyarakat meritokratis.
Ilusi Progresif dan Oligarki Digital
Apa yang dibayangkan Piketty bukan sekadar skenario ekonomi, tetapi kritik filosofis terhadap arah peradaban. Ia memperingatkan bahwa dunia mungkin tengah bergerak kembali ke bentuk kapitalisme patrimonial, di mana struktur kelas didasarkan pada warisan kekayaan, seperti yang terjadi di masa lalu sebelum revolusi industri dan demokrasi liberal menantangnya. Dalam masyarakat seperti ini, mobilitas sosial mandek, dan kesempatan hidup ditentukan oleh asal-usul keluarga, bukan oleh kemampuan atau usaha individu. Hal ini jelas bertentangan dengan cita-cita modern tentang keadilan sosial, kesetaraan kesempatan, dan demokrasi ekonomi.
Namun Piketty juga mencatat adanya pengecualian penting. Negara-negara Eropa Barat Laut dan Jepang, misalnya, berhasil menjaga agar konsentrasi kekayaan di puncak piramida tidak meningkat secara tajam seperti yang terjadi di Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Anglo lainnya. Dalam masyarakat Nordik dan Jepang, kebijakan redistributif, perlindungan sosial yang kuat, serta investasi publik yang merata—terutama dalam pendidikan dan kesehatan—telah memungkinkan pendapatan kelas menengah dan bawah tumbuh lebih cepat. Yang menarik, semua ini dilakukan tanpa mengorbankan laju pertumbuhan ekonomi. Artinya, pemerataan bukanlah penghambat kemajuan, melainkan fondasi bagi keberlanjutan sosial.
Temuan ini menghidupkan kembali gagasan klasik bahwa keadilan bukanlah kebajikan moral belaka, melainkan prinsip struktural yang harus tertanam dalam desain sistem ekonomi. Dalam bahasa Aristoteles, keadilan distributif harus memperhatikan ketidakseimbangan dalam kebutuhan dan kemampuan; sementara dalam kerangka Rawlsian, sistem sosial yang adil adalah yang memaksimalkan kesejahteraan kelompok yang paling tidak diuntungkan. Piketty, dengan data dan sejarah sebagai senjatanya, menyerukan agar kita tidak terjebak pada mitos netralitas pasar, melainkan berani membayangkan kembali tata dunia ekonomi yang lebih adil dan manusiawi.
Dari uraian tersebut, terdapat dua kesimpulan penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, tren peningkatan konsentrasi kekayaan bukanlah sesuatu yang melekat secara deterministik pada sistem kapitalisme, seperti yang kadang terkesan dalam sebagian besar narasi Piketty. Data Piketty memang kuat, namun tidak sepenuhnya menutup ruang bagi intervensi kebijakan dan reformasi institusional. Kenyataannya, distribusi pendapatan dan kekayaan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat politis—seperti tarif pajak, aturan pewarisan, dan struktur pasar tenaga kerja—yang semuanya dapat diubah. Kedua, gagasan bahwa ketimpangan yang tinggi adalah prasyarat bagi dinamika ekonomi dan peningkatan standar hidup secara massal terbukti tidak sepenuhnya benar. Negara-negara Eropa Barat Laut, misalnya, menunjukkan bahwa ekonomi yang lebih setara justru dapat tumbuh secara sehat tanpa harus mengorbankan kesejahteraan rakyat banyak.
Namun, membandingkan Amerika Serikat dan Eropa menghadirkan tantangan baru dalam hal keandalan data. Penelitian terbaru Gabriel Zucman mengungkap bahwa porsi kekayaan Eropa yang tersembunyi di surga pajak jauh lebih besar dibandingkan Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh tingkat pajak yang lebih tinggi atas pendapatan tinggi dan keuntungan modal di Eropa, yang justru mendorong perilaku penghindaran pajak dalam skala besar. Dengan kata lain, konsentrasi kekayaan di Eropa kemungkinan lebih tinggi daripada yang tercermin dalam data resmi. Zucman memperkirakan sekitar 8% kekayaan rumah tangga global disimpan di surga pajak—sebagian besar tidak tercatat, dan sebagian besar dimiliki oleh warga negara-negara maju, terutama Eropa.
Temuan ini menggambarkan kompleksitas epistemologis dalam membaca realitas ketimpangan: data statistik sering kali tidak mencerminkan keseluruhan gambaran sosial-ekonomi. Seperti dikatakan Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya bekerja melalui institusi, tetapi juga melalui pengetahuan dan cara kita mengkonstruksi ‘kebenaran’. Dalam konteks ini, pengukuran kekayaan dan pendapatan tidak netral secara politik; ia adalah hasil dari proses historis, metodologis, dan ideologis yang diperebutkan.
Kritik keras terhadap Piketty pun muncul, termasuk dari Financial Times yang menyatakan bahwa kesalahan data melemahkan tesis utama Piketty bahwa kapitalisme cenderung menghasilkan konsentrasi kekayaan yang terus-menerus. Namun kritik ini dibantah oleh ekonom Branko Milanovic, yang secara independen mengkaji data dan menemukan bahwa kesimpulan Piketty tetap kokoh. Financial Times dinilai tidak memperhitungkan perubahan metodologi pengumpulan data kekayaan di Inggris, yang menyebabkan kesimpulan mereka tentang penurunan porsi kekayaan 10% teratas menjadi menyesatkan.
Padahal, jika disesuaikan secara metodologis sebagaimana dilakukan Piketty, konsentrasi kekayaan tetap menunjukkan kecenderungan meningkat. Ironisnya, Financial Times juga mengabaikan indikator sosial yang sangat kasat mata: ledakan harga properti mewah, booming barang-barang mewah, kenaikan tajam pasar seni dan saham. Lihat saja: lelang seni kontemporer di New York oleh Christie’s pada Mei 2014 mencatat rekor tertinggi dalam sejarah, mencapai $744 juta dalam satu hari—angka yang cukup untuk membangun ratusan sekolah atau rumah sakit.
Terhadap optimisme bahwa inovasi teknologi dan pertumbuhan pasar negara berkembang akan secara otomatis mengoreksi ketimpangan global, Piketty dan para pendukungnya tetap skeptis. Argumen “this time is different”—bahwa kali ini sejarah tidak akan berulang karena kita hidup di era digital—terdengar familiar. Ini adalah argumen klasik yang juga digaungkan menjelang krisis keuangan 2008. Ini mencerminkan ilusi progresif yang naïf yang dikritik oleh pemikir seperti Slavoj Žižek dan David Harvey: gagasan bahwa perkembangan teknologi atau pertumbuhan ekonomi akan secara otomatis menghasilkan keadilan sosial, tanpa perubahan dalam struktur kepemilikan dan kekuasaan. Padahal, tanpa intervensi politik yang radikal dan etika distribusi yang adil, teknologi justru dapat memperdalam ketimpangan, memperkuat oligarki digital, dan menyingkirkan lapisan pekerja dari proses produksi.
Dengan kata lain, pertarungan terhadap ketimpangan bukanlah soal teknis, melainkan soal etis dan politis. Ia menuntut perubahan paradigma: dari sistem yang menghargai akumulasi tanpa batas menjadi sistem yang mengutamakan distribusi berkeadilan. Di sinilah pentingnya memikirkan kembali “masyarakat yang baik” bukan hanya dari sudut pertumbuhan ekonomi, tetapi dari prinsip solidaritas, keberlanjutan, dan martabat manusia.