
Gambar: Ilustrasi.
Bawalah semua harapan, bahagia, dan sedih yang kau miliki ke keriput tangannya. Maka harapan, bahagia, dan sedihmu yang bau busuk seketika wangi seperti harum cendana yang membawa mu pada kepelukan-Nya.
Ciumlah keningnya, maka hembusan nafas yang tepat di depan lehermu seketika menghilangkan semua dahaga atas dunia yang semakin terik. Saat itulah panggung duniamu bercahaya.
Ketika kau duduk bersimpuh dihadapannya, maka biarkan air matamu menderas, seketika itu juga ia akan mengambil cawan dan menadah air matamu untuk dijadikan anggur untuk mabuk bersama-Nya di sepertiga malam. Disitulah cintanya pada mu memecah menjadi cahaya, disitu pula lah Ilahimu menjaga setiap langkahmu.
Saat kau kembali pulang dari rumah tuanya, ketahuilah, bahwa kau ternyata baru saja menjumpai sesosok makhluk cantik yang hidup di liang yang engkau gali, yang siap menanti kidung do’a-do’amu.
(Puisi “Untuk Emak” oleh Garry Vebrian)
Tulisan ini memusatkan perhatian pada sosok ibu sebagai titik tolak perenungan filosofis melalui pendekatan eksistensialisme, spiritualitas sufistik, dan etika relasional. Tulisan ini berupaya menunjukkan bagaimana kasih seorang anak kepada ibunya dapat dipahami sebagai bentuk perjumpaan antara eksistensi manusia dan dimensi transendental. Melalui pendekatan hermeneutika, tokoh-tokoh seperti Martin Heidegger, Emmanuel Levinas, Jalaluddin Rumi, dan Søren Kierkegaard, tulisan ini menawarkan interpretasi atas ibu sebagai ruang pulang, simbol pengingat akan kefanaan, serta jalan menuju Yang Ilahi dalam keseharian sekaligus menggali makna kedalaman cinta seorang anak kepada ibu sebagai bentuk laku mistik dan praksis eksistensial. Figur ibu diposisikan sebagai perantara antara manusia dengan yang Ilahi, sebagai locus permenungan eksistensial sekaligus titik temu antara profan dan sakral.
Puisi di awal tulisan ini membuka lanskap makna dengan gambaran simbolik yang amat kuat: “Bawalah semua harapan, bahagia, dan sedih yang kau miliki ke keriput tangannya”. Kalimat ini bukan hanya narasi afeksi, melainkan deklarasi eksistensial yang memuat transformasi ontologis. Tangan ibu menjadi medium suci, tempat segala yang fana dan cemar dikembalikan kepada kesucian. Dalam pemikiran Heidegger, pengalaman seperti ini disebut sebagai Being-toward-death, yaitu kesadaran akan kefanaan yang menuntun manusia kepada eksistensi autentik (Heidegger, 1962). Keriput tangan ibu bukan sekadar usia, melainkan jejak waktu yang tak lagi profan. Ia adalah teks spiritual yang dibaca dengan air mata dan kecintaan. Ciuman di keningnya bukan lagi sekadar afeksi personal, melainkan ritus penghambaan. Dalam konteks ini, puisi tersebut menggemakan semangat sufistik sebagaimana diungkap oleh Jalaluddin Rumi: “Cinta itu seperti cermin. Ketika engkau mencintai, maka yang kau lihat bukan hanya wajah orang itu, tetapi dirimu yang sejati”. Dalam banyak kebudayaan, sosok ibu dipandang tidak hanya dari aspek biologis, tetapi juga memiliki makna ontologis. Ia adalah sumber kehidupan, pelindung eksistensi awal, dan saksi dalam proses pemaknaan dunia. Dalam perspektif filsafat Martin Heidegger, manusia adalah makhluk yang “dilempar” ke dunia (Geworfenheit), dan dalam situasi keber-lemparan itu, ibu menjadi figur pertama yang menerima keberadaan anak secara utuh dan tanpa syarat. Dengan demikian, ibu adalah bentuk pertama dari konfirmasi terhadap eksistensi manusia sebagai Dasein—makhluk yang menyadari dirinya ada. Pengalaman awal dalam dekapan ibu memberi rasa aman dan menyajikan dunia bukan sebagai sesuatu yang mengancam, tetapi dapat dijinakkan oleh kasih. Dalam relasi ini, kecemasan eksistensial yang dibahas Heidegger menemukan semacam jeda. Dunia menjadi bermakna karena diperantarai oleh kehadiran ibu. Dalam kerangka ini, ibu bukan hanya sosok personal, melainkan institusi ontologis pertama.
Figur ibu ditempatkan sebagai jalan menuju Yang Mutlak. Relasi antara anak dan ibu dipenuhi dimensi eros transendental, bukan dalam arti seksual, tapi sebagai daya tarik ruhani kepada sumber eksistensi. Emmanuel Levinas menempatkan wajah “yang lain” sebagai manifestasi etis yang memanggil tanggung jawab (Levinas, 1969). Emmanuel Levinas lebih lanjut mengemukakan bahwa perjumpaan dengan “yang lain” (l’autrui) dalam bentuk wajah adalah panggilan etis yang tidak bisa diabaikan. Ibu, sebagai wajah pertama yang dihadapi seorang anak, memperkenalkan nilai-nilai etika tanpa syarat. Kasih ibu tidak bersifat transaksional. Ia menerima dan memberi tanpa menuntut balasan, dan dalam tindakan itulah prinsip etika relasional Levinasian menjelma secara konkret. Kehadiran ibu menciptakan ruang etis pertama dalam kehidupan manusia. Ia tidak menilai, tidak menghakimi, melainkan hanya hadir dan mendengarkan. Relasi ini menunjukkan bahwa tanggung jawab etis dapat lahir dari pengalaman kemanusiaan yang paling dasar. Dalam hal ini, kasih ibu adalah praksis etika tertinggi yang melampaui hukum dan norma sosial. Dalam puisi pembuka tulisan ini, wajah ibu—dengan keriput dan nafasnya—menjadi bentuk konkret dari “yang lain” yang memanggil sang anak untuk kembali ke fitrah. Perjumpaan dengan ibu diibaratkan sebagai “panggung dunia yang bercahaya”—sebuah momen pencerahan eksistensial. Dalam narasi Kierkegaardian, ini merupakan leap of faith, lompatan menuju kebenaran subjektif yang ditemukan melalui cinta dan penderitaan. Tangis sang anak di hadapan ibu pun berubah menjadi perjamuan anggur bersama Tuhan di sepertiga malam. Imaji ini begitu kental nuansa mistik Islam, yang membayangkan malam sebagai ruang paling personal untuk berjumpa Tuhan melalui cinta, tangis, dan doa. Kesedihan, Air Mata, dan Spiritualitas Malam Tangisan dalam budaya modern sering diasosiasikan dengan kelemahan. Namun dalam banyak tradisi spiritual, air mata justru dipandang sebagai bentuk pembersihan jiwa. Dalam praktik sufistik, kesunyian malam adalah waktu kontemplatif yang mendalam, tempat manusia bersua dengan Tuhan. Ibu menjadi figur yang menerima tangisan pertama anak. Ia menjadikan air mata bukan sesuatu yang ditolak, tetapi dirangkul sebagai bagian dari cinta. Jalaluddin Rumi menyatakan bahwa kesedihan adalah jalan menuju kebahagiaan, karena ia mengosongkan ruang hati untuk diisi cahaya. Dalam konteks ini, ibu bukan sekadar tempat bersandar, melainkan juga simbol pemurnian spiritual.
Dalam banyak tradisi, ibu selalu dikaitkan dengan tanah, rahim, dan prinsip penerimaan. Mircea Eliade menyebutnya sebagai simbol archetypal dari keabadian dan perlindungan (Eliade, 1959). Dalam puisi di atas, ibu bahkan disebut sebagai “makhluk cantik yang hidup di liang yang engkau gali”. Imaji ini kuat—bahwa bahkan dalam kematian, ibu tetap memanggil dan menanti doa sang anak. Alih-alih menjadi tempat berkabung, kematian ibu menjadi momentum pemulihan spiritual. Dalam sufisme, ini sejalan dengan konsep fanā’—peleburan ego dan kembalinya segala yang profan kepada Yang Ilahi. Figur ibu, dalam tulisan ini, dapat dipandang sebagai perwujudan syathahat—ungkapan puitik dari kesatuan dengan Tuhan sebagaimana dicontohkan oleh tokoh-tokoh sufi seperti Rabiah al-Adawiyah dan al-Hallaj. Dalam filsafat eksistensial, terutama pada Kierkegaard dan Heidegger, kesadaran akan kematian menjadi sarana untuk memahami kehidupan secara utuh. Ibu, dalam narasi kehilangan, menjadi pemantik kesadaran bahwa hidup manusia adalah perjalanan sementara. Pulang ke rumah ibu—bahkan setelah kepergiannya—merupakan bentuk kembali kepada asal dan tujuan eksistensial. Cinta ibu bukan sekadar naluriah, melainkan cinta tanpa syarat yang menyimbolkan cinta Tuhan itu sendiri. Dalam filsafat Kristen, Agape adalah cinta tanpa pamrih, yang mirip dengan cinta ibu yang menadah air mata anak untuk dijadikan “anggur mabuk bersama-Nya”. Cinta ini bukan sekadar kasih sayang biologis, tetapi bentuk tertinggi dari praksis spiritual. Konsep ini juga ditemukan dalam pemikiran Islam. Dalam hadis, Rasulullah SAW menyatakan bahwa “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.” Kalimat ini bukan sekadar metafora, tapi menegaskan posisi ibu sebagai perantara menuju keselamatan akhirat, dan kematian ibu tidak semata-mata menghadirkan duka, melainkan mengundang perenungan eksistensial dan pembaruan spiritual. Dengan demikian, tindakan mencium, menangis, dan bersimpuh bukanlah kelemahan, tapi ijtihad ruhani untuk mendekat kepada Tuhan melalui yang fana. Akhir puisi di atas menyentuh momen kepulangan—dari rumah tua sang ibu, dari liang yang telah digali, dari dunia menuju akhir. Tapi kepulangan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah kesinambungan spiritual. Sang anak kini menjadi pengemban makna, penjaga doa, penerus cahaya cinta. Dalam bahasa Heidegger, anak tersebut telah menjalani “panggilan Geworfenheit” atau kondisi keber-lemparannya ke dunia, dan kini mulai mengukir makna melalui keterbukaan terhadap kefanaan. Dalam nuansa Kierkegaardian, sang anak kini hidup dalam mode authentic existence—keberanian untuk hidup dalam kesadaran akan yang mutlak dan fana secara bersamaan.
Menurut Seyyed Hossein Nasr dan Ibn Arabi, dunia bukanlah penghalang menuju Tuhan, melainkan wahana menuju-Nya. Aktivitas-aktivitas keseharian ibu seperti memasak, mencuci, memeluk, dan merawat anak, jika dilakukan dengan ikhlas, merupakan bentuk ibadah yang tak kalah agung dari ritual formal. Dalam konteks ini, ibu adalah guru spiritual yang tak berkata-kata, namun mengajarkan kebijaksanaan melalui tindakan. Spiritualitas tidak selalu hadir di tempat ibadah atau dalam teks-teks suci, tetapi juga dalam kesederhanaan cinta seorang ibu. Dalam ruang dapur, dalam pelukan malam, atau dalam kata-kata lembutnya, Tuhan hadir secara nyata. Ibu bukan sekadar sosok individual, tetapi simbol yang mengingatkan manusia akan cinta yang tak bersyarat, akan rumah yang selalu bisa dipulangi, dan akan Tuhan yang senantiasa hadir. Dalam dunia yang semakin materialistik dan terfragmentasi, ini adalah ajakan untuk kembali—bukan hanya ke rumah, tapi ke hakikat keberadaan itu sendiri. Melalui air mata, keriput, dan cinta ibu, manusia diingatkan akan rumah sejatinya: Tuhan.
Tangerang, 25 Juni 2025
Garry Vebrian
Dosen Universitas Yatsi Madani (UYM)