
Ilustrasi | Sumber: Hipwee.com
Manakala seseorang hidup di dunia modernisasi telah tergolong orang yang hidup hanya sekadar hidup; sing penting kerja, makan dan kerja. Tanpa melibatkan keharmonisan jiwa dan batin, ini pun akan menjadi persoalan dikemudian hari.
Kondisi seperti ini saya meyakini bahwa manusia hari ini sejatinya rentan terjerumus pada lembah keputusaasaan, ketakutan dan ketidakberdayaan dalam melakoni kehidupannya.
Persis yang diprediksi oleh seorang Psikolog Eksistensial Rollo May, yang dimana akan tiba suatu masa kaum muda sangat mudah sekali menemukan kepastian di dunia eksternal karena bantuan teknologi. Akan tetapi dari kemudahan itu terjadi kedangkalan mentalitas —kaum muda mengalami kegelisahan yang luar biasa.
Kaum muda tidak lagi menemukan ruang misteri tentang kehidupan, yang dimana ruang tersebut diperlukan sebagai ruang mediasi antara pikiran dan batin. Hal ini lambat laun kaum muda tidak sanggup mendengarkan suara dari dalam dirinya sendiri. Menyedihkan.
Jauh sebelum itu, Nietzsche sudah memberi tahu bahwa untuk menjadi orang yang mampu mengatasi diri sendiri, dorongan tujuan hidup harus datang dari dalam. Karena ketika sebuah tujuan datang dari dalam —status ketenaran, kekayaan, dan atribut eksternal tidak lagi menentukan tujuan hidup.
Menemukan sebuah tujuan akan menuntun pada pemenuhan diri. Filosofinya mengeksplorasi bahwa siapa pun dapat diberikan setumpuk kartu buruk dalam hidup. Namun, kita harus memahami bahwa perjuangan kita seharusnya tidak mendefinisikan kita.
“Kamu harus siap membakar dirimu sendiri dalam apimu sendiri; bagaimana kamu bisa bangkit kembali jika kamu belum menjadi abu terlebih dahulu?,” kata Nietzsche. Ia menyepadankan dengan mitologi Burung Phoenix yang memiliki kemampuan untuk terlahir kembali setelah mati, sehingga melambangkan keabadian, pembaharuan, dan harapan.
Kita tentu dapat memahami bahwa pertempuran global saat ini terletak pada pertempuran paradigma. Misalnya, bagaimana seseorang berbicara kemiskinan dengan kondisi seseorang yang benar-benar dinyatakan miskin secara umum? Atau garis kemiskinan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dengan menurut Bank Dunia?
Jika Badan Pusat Statistik (BPS) menentukan garis kemiskinan Indonesia per 2024 di angka Rp595.242 per kapita per bulan. Dengan garis kemiskinan itu, tingkat kemiskinan di Indonesia 8,57%. Tapi itu kata BPS, kalau menurut Bank Dunia angka garis kemiskinan Indonesia seharusnya lebih tinggi, yaitu sebesar 59%.
Kedua lembaga ini memiliki perbedaan dalam hasil dikarenakan metode pengolahannya jelas berbeda. Sederhananya, paradigma negara yang dikelola BPS dengan Bank Dunia dalam menentukan hal tersebut berbeda. Perbedaan paradigma tentu tidak terlepas dari motifnya, dan motif didasari oleh kebutuhan.
—Sebagai manusia yang hidup. Bicara hidup ya hidup. Mati ya mati. Tubuh kita hanya sebuah kerangka. Kerangka yang digerakan oleh hukum kodrati. Seseorang hidup dengan kedaulatannya harus mampu mencari makna, bukan sekedar hidup.
Sejak dari penciptaan tentang ide kehidupan, pencarian makna hidup dan keberadaan manusia sebagai mahkluk, sudah baiknya menjadi fundamen dalam pikiran, bahkan sebelum berada pada proses berpikir, yaitu terletak pada wilayah rasa.
Manusia tidak akan pernah sampai pada ketidaksempurnaan dan mendapati kebermaknaan hidup, jika manusia itu sendiri malas atau tidak mengasah rasanya untuk memahami kedigdayaan ke-realitas-an, dan menggunakan rasa untuk menghargai keindahan hidup bersama orang lain.
Rasa dalam filsafat ialah keberadaanya terletak dalam diri manusia. Rasa mampu menjerat secara totalitas dari kerealitasan, dan kemudian mengejawantahkan secara indah dengan cara-cara estetik maupun puitik yang seringkali melampaui kerasionalitasan dan kesempitan bahasa itu sendiri.
Sebaliknya, ketika ketidak-berada-an rasa dalam diri manusia —yang kemudian tersisa ialah kekumuhan, kejahatan, dan kedangkalan hidup yang merambati berbagai bidang kehidupan. Situasi ketanpa-rasa-an atau darurat rasa inilah yang perlu untuk kita hadapi bersama.
Artikel Lain : RUU Kejaksaan Tidak Ada “Distribution of Power, Potensi Penyelewengan Kekuasaan
1 thought on “Kaum Muda dalam Cengkeraman Tanpa-Rasa”