
Penulis: Abdul Hakim, MA
Dosen Pemikiran Politik Islam (Democracy and Politics Comparative) STISNU Tangerang / Penulis Buku Ateisme Kaum Muda di Dunia Islam
—–
Satu pekan terakhir saya membaca ulang karya menarik ini, ‘Deng Xiaoping and the Transformation of China’, karya Ezra F. Vogel. Ia melukiskan sosok Deng sebagai seorang negarawan yang membalikkan arah sejarah Tiongkok dengan keberanian pragmatis yang tak terpaku pada ideologi.
Dalam sejarah panjang Tiongkok modern, nama Deng Xiaoping melenggang seperti bayangan yang tak selalu terlihat, namun pengaruhnya menjelma dalam denyut jalan-jalan kota dan kehijauan ladang-ladang desa. Deng bukan orator agung seperti Mao Zedong, tak membangun mitos di seputar dirinya, bahkan lebih sering tampak seperti birokrat kecil yang kebetulan memegang kunci takdir bangsanya.
Namun, dalam tangan prajurit tua itu, Tiongkok dibelokkan dari jalan ideologis yang suram menuju cakrawala kemakmuran yang nyata. Ezra F. Vogel, menyusun kisah ini bukan sebagai pujian kosong, tetapi sebagai kronik tenang tentang seorang pemimpin yang lebih memilih kenyataan ketimbang keyakinan dogmatis.
Vogel menggambarkan Deng sebagai seorang realis yang dingin, “a pragmatist more than a theorist,” yang tak tertarik mengulangi revolusi ideologis yang dilambungkan Mao. Bagi Deng, rakyat yang kelaparan tidak membutuhkan puisi revolusi, melainkan sepiring nasi. Maka kebijakan pertamanya yang paling radikal justru menyentuh tempat yang selama ini dipinggirkan dalam pembangunan—desa.
Di sanalah Deng meletakkan dasar bagi perubahan ekonomi Cina dengan kebijakan Household Responsibility System—suatu mekanisme yang membiarkan petani mengelola lahan secara mandiri dan memperoleh hasil dari kerja mereka sendiri. Vogel menulis, “The Household Responsibility System brought dramatic increases in productivity and income” (hlm. 341). Kebijakan ini begitu sukses, bukan karena kekuatan paksaan, tetapi karena kekuatan insentif dan pengembalian martabat pada para petani.
Pada masa Mao, desa adalah panggung eksperimen kolektivisme. Petani dipaksa menyerahkan hasil kerja mereka ke dalam komune besar, kehilangan rasa memiliki dan, pada akhirnya, rasa berdaya. Namun di era Deng, desa menjadi awal mula dari gelombang reformasi. “Deng believed that changes had to begin in agriculture, where most of the people lived,” tulis Vogel (hlm. 338). Ini adalah revolusi sunyi: tak ada pekik massa, tak ada barisan merah, hanya keluarga-keluarga petani yang mulai merasakan bahwa jerih payah mereka kini berbuah langsung bagi kehidupan mereka sendiri.
Dari transformasi ini muncullah ruang untuk sesuatu yang lebih besar: pertumbuhan ekonomi yang tidak lagi hanya berporos pada negara, tetapi juga pada masyarakat lokal. Deng membuka keran kebebasan ekonomi dengan membiarkan tumbuhnya Township and Village Enterprises (TVEs)—unit usaha lokal yang menjadi pusat dinamika baru desa-desa Tiongkok. Vogel menegaskan, “The TVEs provided jobs, raised incomes, and became a major source of growth in the rural economy” (hlm. 361). Di balik pabrik-pabrik kecil yang berdiri di pelosok desa, tersimpan harapan baru: bahwa industrialisasi tidak selalu berarti urbanisasi yang menyakitkan, dan bahwa pembangunan bisa bersifat inklusif.
Tak hanya membuka ladang dan pabrik, Deng juga membuka Cina ke dunia. Dalam apa yang dikenal sebagai kebijakan Reform and Opening Up, ia mendirikan Zona Ekonomi Khusus seperti di Shenzhen, mengundang investasi asing, dan membiarkan pasar bekerja di ruang-ruang yang sebelumnya terkunci rapat oleh ideologi. Vogel menyebut Shenzhen sebagai “the experimental laboratory for a new kind of economy” (hlm. 421). Seperti petani yang diberi kebebasan mengolah ladang, kini Cina sebagai bangsa pun diberi kesempatan untuk bersaing di panggung dunia.
Namun, barangkali yang paling jenius dari Deng bukanlah kebijakan-kebijakannya, melainkan caranya menata perubahan. Ia tidak menabrakkan perubahan pada sistem, tapi menyusupkannya perlahan, nyaris tanpa gaduh. Vogel mencatat bagaimana Deng memperkenalkan prinsip eksperimentasi lokal: “Let some people get rich first” (hlm. 343), adalah salah satu adagium Deng yang terkenal. Ia tahu bahwa keberhasilan tidak bisa dipaksakan secara seragam; yang berhasil di Guangdong belum tentu cocok di Gansu. Maka ia membiarkan daerah mencoba, gagal, memperbaiki, lalu berbagi praktik terbaik.
Dalam semua ini, Deng tetap menjaga satu hal: stabilitas politik. Ia sadar bahwa keterbukaan ekonomi bisa berujung pada chaos bila tidak dikendalikan. Maka, seperti seseorang yang mengikat layang-layang yang terus naik ke langit, Deng menjaga tali kekuasaan tetap dalam genggaman Partai Komunis. Vogel tak mengabaikan sisi ini. Ia menulis bahwa Deng, meskipun reformis dalam ekonomi, tetap keras dalam menjaga monopoli politik. Tragedi Tiananmen 1989 menjadi pengingat pahit bahwa stabilitas, bagi Deng, lebih utama daripada kebebasan politik total.
Dan pada akhirnya, warisan Deng bukan hanya dalam angka pertumbuhan atau deretan pabrik dan jalan raya. Warisannya hidup dalam pergeseran paradigma: dari ideologi menuju realitas, dari kemiskinan menuju harapan. Dari ladang-ladang yang dulu sunyi itu, Deng membangkitkan sebuah bangsa. Sebuah revolusi tanpa drum dan terompet, tapi berdampak lebih dalam dari sekadar perubahan rezim. Deng mungkin tak banyak bicara, namun setiap langkahnya menulis ulang nasib Tiongkok dengan tinta yang tak mudah luntur dari sejarah.
Lalu, bagaimana dengan Prabowo yang katanya mengidolakan Deng Xiaoping? Apakah kebijakan Prabowo akan serupa Deng yang membuktikan bahwa transformasi besar dapat dimulai dari tempat yang paling sunyi—dari ladang-ladang desa yang selama ini terlupakan.
Ciputat, 5 Mei 2025
Editor: Topan Bagaskara
1 thought on “Revolusi Sunyi Deng Xiaoping”