Oleh Sanji Hasan | Kepala Bidang OKK PW SEMMI DIY
Pernyataan Ketua Umum PW SEMMI Riau yang menyerukan agar kader “menjaga marwah organisasi” dengan mendukung Ketua Umum PB SEMMI hingga akhir masa jabatan, justru memperlihatkan bagaimana sebagian kader mulai kehilangan keberanian berpikir kritis. Kata marwah yang seharusnya bermakna kehormatan perjuangan kini digeser menjadi tameng kekuasaan untuk melindungi figur dari kritik.
Sebagai Kabid OKK PW SEMMI DIY, saya memandang bahwa narasi semacam ini berbahaya. Ia mengaburkan garis batas antara loyalitas dan kepatuhan buta. Kita seolah diarahkan untuk menganggap rangkap jabatan Ketua Umum PB SEMMI, Bintang Wahyu Saputra, sebagai hal wajar hanya karena posisinya kini sebagai Staf Khusus Menteri P2MI. Padahal, di sinilah akar dari persoalan moral dan etika gerakan mahasiswa kita.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mari jujur: bagaimana mungkin seorang pemimpin organisasi mahasiswa—yang mandat utamanya adalah mengawal kepentingan publik dan menjaga jarak dari kekuasaan—justru menjadi bagian dari lingkar kekuasaan itu sendiri? Ini bukan soal iri pada posisi, tapi soal integritas gerakan. Ketika seorang Ketua Umum PB SEMMI duduk di kursi kekuasaan, maka posisi kritis organisasi menjadi tumpul. Ia tak lagi bisa bebas menggugat kebijakan negara, karena ia sendiri menjadi bagian dari sistem yang harus dikritik.
Mereka yang menyebut ini sebagai “bentuk kontribusi kader dalam ruang strategis” sedang menutup mata pada realitas. Sebab di balik dalih kontribusi itu tersembunyi konflik kepentingan yang nyata. SEMMI adalah organisasi kader, bukan anak tangga karier politik. Kita bukan mencetak birokrat, tapi melahirkan intelektual yang berani berkata benar meski berhadapan dengan kekuasaan.
PW SEMMI Riau menyebut desakan mundur sebagai langkah tergesa-gesa. Padahal, yang tergesa-gesa justru mereka yang buru-buru membela kekuasaan tanpa membaca arah sejarah organisasi. SEMMI tidak lahir dari rahim kenyamanan, melainkan dari perlawanan terhadap pembungkaman moral dan akal sehat. Menuntut pemimpin mundur karena rangkap jabatan bukan bentuk makar, tapi tanggung jawab ideologis kader gerakan terhadap marwah gerakan.
Saya ingin menegaskan: stabilitas organisasi tidak bisa dibangun di atas pelanggaran etik. Apa gunanya organisasi tenang bila ruh perjuangannya mati? Lebih baik SEMMI gaduh karena kadernya berani bicara, daripada hening karena kadernya takut menegur pimpinan sendiri.
Sebagian orang beralasan, “biarlah dia menyelesaikan masa jabatannya, toh kongres sudah dekat.” Logika seperti ini berbahaya. Karena membiarkan pelanggaran dengan alasan waktu sama saja seperti membiarkan kebusukan menjalar hanya karena masa panennya hampir tiba.
Organisasi tidak menunggu momentum untuk menegakkan etika — ia menegakkannya setiap saat. Kalau hari ini kita diam karena waktu, besok kita akan diam karena jabatan, dan lusa kita akan diam karena kepentingan.
Sebagai bagian dari kader SEMMI DIY, saya melihat gejala yang lebih dalam dari sekadar isu rangkap jabatan. Ini soal pergeseran orientasi gerakan. SEMMI yang dulu menjadi ruang kaderisasi kritis kini mulai digiring menjadi ruang legitimasi politik. Ketika perbedaan pendapat dianggap ancaman, dan kritik disebut pengkhianatan, maka saat itulah organisasi sedang terinfeksi virus feodalisme baru.
Dan feodalisme dalam gerakan mahasiswa jauh lebih berbahaya daripada feodalisme dalam pemerintahan, karena ia memakai wajah idealisme untuk menyembunyikan kepentingan pribadi.
Kita tidak boleh membiarkan SEMMI terseret menjadi organisasi yang takut pada kebenaran. Marwah organisasi bukan milik Ketua Umum, melainkan milik seluruh kader yang berani menjaga garis moral perjuangan.
Kalau marwah harus dijaga dengan cara membungkam kritik, itu bukan lagi marwah — itu topeng untuk mempertahankan posisi.
Oleh karena itu, saya, Sanji Hasan, Kabid OKK PW SEMMI DIY, menegaskan bahwa seruan menjaga marwah organisasi harus dimaknai secara jujur: menjaga moralitas, bukan menjaga kursi.
Mendorong Ketua Umum untuk mundur dari jabatan politiknya bukan bentuk permusuhan, tapi panggilan untuk memulihkan arah gerakan agar kembali ke khittah mahasiswa Muslim — kritis, merdeka, dan beretika.
Kita harus ingat: organisasi tidak akan runtuh karena pemimpinnya mundur, tapi ia akan mati ketika kadernya berhenti berpikir.
Dan SEMMI, jika masih ingin disebut gerakan, harus memilih — menjadi suara independen mahasiswa atau sekadar bayangan kekuasaan yang kehilangan daya bicara.
Editor: Topan Bagaskara














