
Pabrik PLTU 9-10 Pulo Merak
CILEGON, PUSATBERITA – Langit Pulomerak sering kali tampak buram. Bukan karena kabut pagi, melainkan debu keabuan yang berterbangan dari area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya Unit 9–10.
Debu halus itu berasal dari kolam besar penyimpanan fly ash, sisa hasil pembakaran batu bara yang setiap hari menumpuk di belakang tembok tinggi pembangkit.
Saat angin kencang berembus, abu itu terangkat tinggi, melayang melewati rumah-rumah warga, bahkan masuk ke ruang kelas sekolah dasar dan madrasah di sekitar lokasi.
“Debu-debu itu terbang tinggi keluar kolam besar. Menimpa rumah-rumah, hingga merambah ke sekolah,” ujar seorang warga Lingkungan Pulorida, Kelurahan Lebak Gede, dalam Diskusi Budaya #4 di Cilegon, Jumat (26/9/2025) malam.
Warga khawatir anak-anak mereka belajar di ruang berdebu dan menghirup udara yang tak lagi bersih.
Selama bertahun-tahun, warga mengaku tidak pernah mendapat informasi terbuka mengenai kualitas udara. Tidak ada laporan resmi dari perusahaan, dan perhatian pemerintah daerah pun nyaris tak terasa. Mereka hanya mengandalkan tubuh sendiri untuk menilai keadaan lingkungan.
Ketika batuk dan sesak napas makin sering terjadi, mereka tahu ada yang tak beres. “Kita yang lahir dan besar di sini merasakan kualitas udara semakin buruk. Tidak ada kompensasi dari perusahaan. Apalagi dukungan kesehatan dari pemerintah daerah,” kata seorang warga lainnya.
Upaya untuk meminta tanggapan dari pihak pengelola, PT Indonesia Raya Tagana, tidak membuahkan hasil. Pesan singkat yang dikirim kepada salah satu perwakilan perusahaan, Indra, hanya terbaca tanpa balasan.
Kekhawatiran warga bukan tanpa dasar. Laporan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada 2023 menyebut, PLTU Suralaya Unit 1–8 menjadi salah satu sumber pencemaran udara paling serius di Banten. Riset itu menunjukkan pelepasan partikel berbahaya seperti PM2.5, nitrogen dioksida, dan sulfur dioksida dalam jumlah besar.
Polutan ini dapat menembus paru-paru dan memicu penyakit kronis hingga kematian dini. CREA memperkirakan, setiap tahun pencemaran dari PLTU Suralaya menyebabkan 1.470 kematian dini dan kerugian ekonomi hingga Rp14,2 triliun.
Namun bagi warga Suralaya dan Lebak Gede, angka itu bukan sekadar statistik. Mereka hidup di antara debu, menyeka meja dan lantai saban hari, menutup rapat jendela sekolah, dan berusaha bernapas sebaik mungkin.