
Topan Bagaskara
Feminis | Pendaki Gunung
Pendiri Komunitas Sua.ra Logika
“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi,” Soe Hok Gie.
—-
Gie, saya kira perjuangan hari ini bukan tentang bagaimana menghantam rezim saja. Jauh dari itu, saya merasa yang menjadi permasalahan ialah mahasiswa-mahasiswa yang tidak memahami persoalan, —tidak bisa mengenal persoalan.
Menyedihkan. Jika hari ini, cita-cita tentang Mapala yang Anda buat; melestarikan lingkungan dan melawan ketidakadilan, sudah tidak melekat pada diri mahasiswa terkhusus kaum Mapala.
Keterjebakan perjuangan pada kebutuhan ekonomi, menjadi landasan. Meskipun ada variabel lain yang terlibat, seperti keterlenaan pada ruang dunia Maya. Ini menyebabkan defisit empati; rasa; dan arti makna hidup.
Saya pikir hal terpenting demi menunjang permasalahan tersebut muaranya ialah pendidikan. Selain pendidikan berfungsi untuk memahami bagaimana melakoni kehidupan, juga memudahkan seorang manusia mencari makna hidup.
Makna hidup menurut Viktor Frankl ialah kondisi manusia mampu memberikan manfaat bagi manusia dan antar sesama. Frankl bahkan berpandangan bahwa manusia dalam kondisi terjepit pun masih memiliki peluang untuk memberikan makna pada orang lain. Bahwa inti kehidupan yakni bisa memberikan makna pada sesama.
—Perbedaan antara satu dan lainnya dalam menghadapi kehidupan bagi makhluk yang bernama manusia adalah saat kehilangan arti dari kehadirannya di dunia ini. Adapun kebahagiaan merupakan imbalan dari keberhasilan seseorang menemukan makna hidup, dengan kata lain disaat manusia berada pada kondisi paling bawah sekalipun, individu akan merasa bahagia pada saat berhasil memahami bahwa kondisi tersebut tidaklah benar-benar buruk, bahwa apa yang ia lalu sebelumnya juga harus ia hargai dan bahwa ia memiliki manfaat bagi orang lain meskipun kecil dan tidak dihargai orang, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, temuan riset kolaboratif yang dilakukan oleh Deakin University Australia dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) terkait tingkat kemampuan Gen Z dalam menilai hoaks.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan menggunakan dua metode tersebut, yang menilai tingkat kepercayaan mereka pada sumber informasi, dan kemampuan mereka membedakan antara fakta dan propaganda —tingkat kemampuan Generasi Z, khususnya di Indonesia, menunjukkan hasil yang bervariasi dalam menilai hoaks.
Sebagian besar Generasi Z (83%) tidak bisa membedakan informasi fakta dan hoaks. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan Generasi Z yang hanya membaca judul tanpa memverifikasi informasi yang mereka terima. Adapun survei serupa yang dilakukan oleh Stanford University, yang juga menggambarkan Generasi Z bahkan tidak bisa membedakan antara iklan dan berita, serta fakta dan opini.
Padahal, literasi tidak hanya berbicara membaca dan menulis, lebih dari itu, puncak dari literasi ialah pemahaman yang kemudian diekstraksikan menjadi pemikiran hasil dari analisa dan dicerna informasi secara kritis.
Kini, saya tidak melihat mahasiswa-mahasiswa ketika berpikir berdasarkan analisa dan penuh pengetahuan; ketika berbicara penuh keyakinan, kejujuran dan akrab dengan keadilan; disaat berjuang mengepal kesadaran dan dekat makna hidup; serta disaat menulis penuh dengan ketajaman dan penderitaan-ketertindasan.
Saya ingin melihat itu, menyaksikan sebuah generasi yang jauh dari keterlenaan hedonis dan popularitas. Sebagai seorang manusia sekaligus pemuda-pemudi yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, —sebagai seorang pemuda dan terlebih sebagai seorang manusia.
Editor: Devis Mamesah