
Abdul Hakim
Pengajar Studi Perbandingan Politik
STISNU Nusantara Tangerang
Belakangan ini, fenomena premanisme kembali mencuat ke permukaan dengan wajah yang semakin kompleks dan mengkhawatirkan. Aksi kekerasan, pemalakan, hingga intimidasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok preman tidak hanya mengganggu ketertiban umum, tetapi juga mengikis rasa aman dan keadilan di tengah masyarakat. Yang lebih memprihatinkan, praktik premanisme kini seringkali terbungkus dalam legitimasi formal, seperti keterlibatan dalam organisasi masyarakat (ormas) atau bahkan politik praktis, sehingga menimbulkan kontroversi antara perlindungan hukum dan kepentingan kekuasaan.
Di satu sisi, negara diharapkan hadir sebagai penegak hukum yang tegas, namun di sisi lain, premanisme justru tumbuh subur dalam celah-celah kelemahan institusi dan transaksi politik. Kondisi ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah premanisme masih sekadar masalah kriminalitas, atau sudah menjadi gejala struktural dari kegagalan negara dalam menjamin keadilan dan perlindungan bagi warganya?
Dalam panggung kekuasaan Orde Baru (1966–1998), negara tak semata bertumpu pada institusi resmi seperti militer atau birokrasi, tetapi juga menanamkan cengkeramannya melalui kekuatan-kekuatan informal yang beroperasi di lapisan bawah masyarakat. Salah satu elemen penting dari strategi hegemoni ini adalah integrasi kelompok preman ke dalam jaringan kuasa negara. Richard Robison (2008) mencatat bahwa pendekatan rezim terhadap premanisme sangat pragmatis dan ambivalen: preman tidak diberantas sepenuhnya, melainkan dikelola dan dimanfaatkan sebagai bagian dari arsitektur politik otoriter.
Terdapat tiga strategi utama yang digunakan: pertama, integrasi struktural melalui pelibatan preman dalam sistem keamanan lingkungan (siskamling), organisasi kepemudaan, dan ormas semi-resmi; kedua, eliminasi selektif seperti yang terlihat dalam Operasi Penembakan Misterius (Petrus) pada awal 1980-an, ketika ribuan orang yang dicap sebagai kriminal dibunuh tanpa proses hukum; dan ketiga, patronase politik, di mana negara membangun hubungan saling ketergantungan dengan preman melalui jalur militer dan partai penguasa untuk menjaga stabilitas sosial sekaligus memastikan loyalitas.
Dalam keseharian, para preman memainkan peran ganda yang rumit. Di satu sisi, mereka menjadi “penjaga keamanan rakyat” yang mengisi ruang kosong otoritas negara di lingkungan pasar, terminal, atau pemukiman padat. Di sisi lain, mereka berfungsi sebagai tangan tak terlihat dari kekuasaan represif: menagih pungutan keamanan, membubarkan aksi protes, memata-matai gerakan politik, bahkan melakukan kekerasan atas nama ketertiban. Mereka adalah polisi bayangan yang bekerja di ambang hukum—tidak legal, tapi juga tidak sepenuhnya ilegal. Kolaborasi ini menciptakan simbiosis kelam antara aparatus negara dan kekuatan informal yang menyelimuti represi dengan balutan sosial dan kultural. Maka, dalam rezim Orde Baru, premanisme bukanlah tanda negara yang lemah, melainkan ekspresi dari negara yang menguasai bukan hanya secara formal, tetapi juga melalui jaringan kekerasan informal yang dilembagakan secara halus.
Pada masa Orde Baru, premanisme bukanlah anomali, melainkan bagian integral dari arsitektur kekuasaan terselubung. Preman diposisikan sebagai kepanjangan tangan negara, terutama dalam mengatur denyut ekonomi informal. Mereka diberi ruang untuk memungut retribusi liar di pasar, terminal, dan wilayah urban lainnya, sebagai imbalan atas loyalitas dan kontribusi mereka dalam menjaga stabilitas sosial-politik. Ini adalah cerminan dari kapitalisme kroni, di mana kekuasaan militer dan elite sipil menjadikan ekonomi informal sebagai ladang pendapatan gelap—dan preman sebagai pelaksana di garis depan untuk memastikan kepatuhan dari bawah.
Namun, runtuhnya rezim Soeharto pada 1998 menandai akhir dari kendali terpusat negara atas kekuatan informal, dan membuka babak baru dalam sejarah premanisme di Indonesia. Masa Reformasi memunculkan fragmentasi dalam hubungan antara negara dan preman. Struktur komando militer yang sebelumnya kokoh melemah, dominasi Golkar memudar, dan patron-patron tradisional yang selama ini menjadi pelindung jaringan preman mulai menghilang. Tanpa pelindung di pusat kekuasaan, banyak kelompok preman terdesak untuk mencari jalan hidup baru secara mandiri—mereka bergerak lebih otonom, membangun sumber daya, dan mencari legitimasi di luar jalur negara.
Studi dari Ian Wilson (2010) mencatat munculnya gelombang organisasi keamanan swadaya serta ormas paramiliter yang mengisi kekosongan otoritas dengan menawarkan jasa perlindungan alternatif. Mereka memungut retribusi dari warga dan pelaku usaha, dan menjual rasa aman di tengah kekaburan hukum. Lebih dari sekadar berfungsi sebagai pelindung, banyak dari kelompok ini turut terlibat dalam konflik horizontal, bukan sebagai penengah netral, tetapi sebagai aktor berkepentingan yang memanfaatkan ketegangan sosial demi mengukuhkan posisi mereka sebagai “pengatur” atau penentu situasi.
Kondisi ini kian memburuk akibat lemahnya regulasi negara dan penegakan hukum yang tumpul. Premanisme tak lagi bergerak di ruang tersembunyi, melainkan tampil terang-terangan sebagai bagian dari lanskap politik dan ekonomi lokal. Dalam banyak kasus, kekerasan yang mereka lakukan dibingkai sebagai bentuk “reaksi sosial”—narasi yang membenarkan eksistensi mereka sebagai penyelamat dari kekacauan. Padahal, sering kali kekacauan itu adalah ciptaan mereka sendiri—konstruksi imajiner yang sengaja dihadirkan untuk menciptakan kebutuhan akan perlindungan yang mereka tawarkan.
Dengan demikian, preman pasca-Reformasi tidak lagi semata-mata menjadi alat kekuasaan negara, melainkan menjelma menjadi aktor semi-otonom yang lihai menavigasi celah-celah demokrasi dan desentralisasi. Mereka bukan sekadar pewaris kekerasan masa lalu, tetapi pelaku aktif dalam kontestasi kuasa informal di era yang mengaku demokratis.
Dalam lanskap ekonomi informal Indonesia, premanisme telah melampaui citra klasiknya sebagai sekadar kekerasan jalanan. Ia menjelma menjadi mekanisme kekuasaan yang meresap halus ke dalam relasi ekonomi sehari-hari, membentuk struktur patron-klien yang mengikat para pedagang kecil, sopir angkutan, dan tukang parkir lewat janji akan “keamanan usaha.” Namun, keamanan ini bukan hasil perlindungan sukarela, melainkan produk dari relasi koersif yang dilembagakan melalui setoran rutin dan pungutan liar, yang disamarkan sebagai “biaya operasional.”
Dalam situasi di mana negara kerap absen sebagai penyedia jaminan hukum dan rasa aman, preman tampil sebagai mediator kuasa informal yang mengisi kekosongan tersebut. Mereka menjadi perantara yang memfasilitasi kelangsungan usaha di tengah tata kelola yang rapuh. Akan tetapi, pelaku ekonomi lokal tidak selalu dapat dilihat sebagai korban semata. Dalam banyak kasus, mereka justru secara strategis bergantung pada jaringan patronase ini, karena tidak adanya alternatif yang tersedia dalam jalur formal.
Premanisme semacam ini tentu tidak muncul dari ruang hampa. Warisan kebijakan masa lalu—seperti pembubaran lembaga-lembaga keamanan non-polisi pasca-Reformasi—telah menciptakan ruang abu-abu yang diisi oleh unit-unit pengamanan liar. Banyak eks-aparat Orde Baru mendirikan kelompok sendiri, menguasai pasar dan terminal, lengkap dengan struktur hierarkis, zona kekuasaan, dan sistem retribusi yang menyerupai institusi resmi. Dalam praktiknya, mereka membangun sebuah rezim ekonomi bayangan yang hidup berdampingan, bahkan bersaing, dengan sistem ekonomi formal—sebuah ekosistem kuasa yang lahir dari kegagalan negara menjangkau akar kehidupan warganya.
Dengan demikian, ekonomi informal di berbagai kota di Indonesia tak lagi dapat dipahami sebagai ruang netral atau bebas dari kekuasaan. Ia justru menjelma menjadi arena kontestasi otoritas yang riil, tempat negara yang lemah bersaing dengan aktor-aktor informal yang lebih gesit, adaptif, dan “nyata” dalam menawarkan kepastian—meskipun kerap lewat kekerasan dan intimidasi. Dalam konteks ini, premanisme tidak semata bentuk kriminalitas, melainkan gejala struktural dari kegagalan negara memenuhi fungsinya sebagai pelindung sah warga. Para violence brokers mengambil alih peran tersebut, menyediakan bentuk perlindungan alternatif yang lebih langsung dan operatif.
Seiring waktu, keterlibatan preman dalam politik elektoral pasca-Reformasi menandai pergeseran penting: dari instrumen represif negara menjadi bagian dari dinamika demokrasi elektoral yang liberal namun rapuh. Alih-alih tersingkir dalam era politik terbuka, mereka justru masuk ke dalam ruang formal sebagai mitra strategis para politisi lokal. Reformasi yang diharapkan melahirkan tatanan politik yang lebih transparan dan berkeadaban malah membuka celah baru yang dimanfaatkan oleh para aktor informal, termasuk preman. Dalam studinya, Ian Wilson (2019) mencatat bagaimana premanisme—yang dahulu dikendalikan melalui operasi militer dan intelijen negara—bermutasi menjadi aktor semi-formal dalam arena politik lokal. Mereka bukan lagi musuh negara, melainkan bagian dari ekosistem kekuasaan: alat mobilisasi massa, penjaga wilayah, dan pengumpul suara dalam kontestasi demokratis yang semakin transaksional.
Fenomena ini tampak mencolok sejak Pemilu 1999, ketika partai-partai politik—terutama di tingkat lokal—secara terbuka memanfaatkan jasa preman untuk kepentingan mobilisasi massa dan pengelolaan kampanye lapangan. Peran yang mereka emban tidak lagi sekadar teknis, seperti memasang baliho, mengatur arak-arakan kendaraan, atau menjaga keamanan panggung kampanye. Lebih dari itu, preman memainkan fungsi taktis sekaligus koersif: mengintimidasi pemilih lawan, menguasai tempat pemungutan suara, bahkan melakukan kekerasan terhadap aktivis oposisi. Dalam banyak kasus, mereka diperlengkapi dengan seragam partai, pelatihan semi-militer, dan akses ekonomi—mulai dari proyek pemerintah hingga peluang kerja informal—yang memperkuat relasi patron-klien elektoral berbasis kekuatan fisik dan loyalitas pribadi.
Keterlibatan ini juga termanifestasi dalam pembentukan “sayap paramiliter” partai, terutama pada partai-partai nasionalis atau yang berakar kuat di massa akar rumput. Sayap-sayap ini—dengan seragam loreng, insignia militeristik, dan struktur komando—secara formal diakui sebagai bagian dari infrastruktur organisasi partai. Namun, dalam praktiknya, mereka kerap berfungsi sebagai alat kontrol dan penekan terhadap warga sipil maupun rival politik. Di sejumlah daerah dengan riwayat konflik dan ketimpangan sosial yang tinggi—seperti Medan, Makassar, serta beberapa wilayah di Papua dan Kalimantan—jaringan preman bahkan membentuk aliansi permanen dengan elite politik lokal. Koalisi ini menjadikan politik daerah sebagai medan kooptasi, tempat kekuasaan formal dan informal saling menopang sekaligus saling mengamankan posisi.
Lebih ironis lagi, peran preman tidak semata sebagai instrumen kekuasaan elite. Dalam beberapa kasus, mereka justru tampil sebagai aktor politik independen. Tokoh-tokoh preman yang memiliki basis dukungan kuat di tingkat akar rumput mulai mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, kepala desa, atau lurah. Dukungan mereka datang bukan hanya dari jaringan premanisme itu sendiri, tetapi juga dari pelaku ekonomi informal yang merasakan manfaat dari patronase yang mereka kelola. Fenomena ini mengaburkan batas antara demokrasi representatif dan kekuasaan berbasis intimidasi. Negara, alih-alih mendisiplinkan kekuatan non-negara ini, justru sering kali memilih berkompromi dan menikmati stabilitas semu yang tercipta dari kooptasi preman dalam sistem politik.
Apa yang terlihat di sini adalah bahwa proses demokratisasi pasca-Reformasi tidak serta-merta menghapus praktik kekuasaan informal. Sebaliknya, praktik tersebut bergeser: dari dominasi negara ke genggaman partai politik dan elite lokal. Kekosongan institusional dan lemahnya penegakan hukum memberikan ruang bagi kekuatan informal—seperti preman—untuk memainkan peran strategis dalam kontestasi elektoral. Dalam jangka panjang, keterlibatan ini tidak hanya menggerus kualitas demokrasi, tetapi juga memperkuat logika transaksional dalam hubungan antara negara dan warganya.
Dalam sistem demokrasi terbuka dan kerangka desentralisasi politik, kekosongan otoritas negara di tingkat akar rumput menjadi lahan subur bagi ormas-ormas ini untuk mengisi peran-peran yang semestinya dijalankan oleh institusi negara. Mereka menyediakan “keamanan,” menengahi konflik, bahkan menawarkan versi “keadilan adat,” namun melalui cara-cara yang sering bertentangan dengan hukum positif dan mengandalkan kekuatan koersif. Ironisnya, aparat negara justru acap kali memilih bekerja sama atau membiarkan mereka beroperasi, demi efektivitas jangka pendek dan kepentingan politik pragmatis.
Akibat dari proses ini adalah institusionalisasi premanisme dalam bentuk ormas. Mereka memiliki struktur keanggotaan, mekanisme pembiayaan, dan bahkan dalam beberapa kasus, ideologi formal. Tak sedikit mantan preman yang naik pangkat menjadi pengurus partai, calon legislatif lokal, atau pemimpin organisasi masyarakat sipil yang berafiliasi dengan elite partai dan birokrasi. Beberapa ormas bahkan memperoleh kontrak resmi untuk pengamanan swakelola dari pemerintah daerah maupun sektor swasta, yang pada akhirnya melegitimasi eksistensi mereka secara ekonomi dan hukum. Fenomena ini memperkuat argumen bahwa dalam konteks pasca-Reformasi, kekuatan informal di Indonesia tidak lagi beroperasi di pinggiran sistem kekuasaan, melainkan telah menyatu secara de facto ke dalam struktur negara itu sendiri.
Premanisme di Indonesia bukanlah fenomena baru, melainkan warisan struktural dari sistem kekuasaan yang mengandalkan kekerasan informal sebagai alat kontrol. Dari era Orde Baru hingga pasca-Reformasi, premanisme telah berubah wajah—dari alat represif negara menjadi aktor semi-otonom yang memanfaatkan demokrasi dan desentralisasi untuk memperkuat posisinya. Ironisnya, dalam banyak kasus, negara justru gagal menghadirkan solusi tegas, bahkan cenderung berkompromi dengan kekuatan-kekuatan ini demi stabilitas semu atau kepentingan politik jangka pendek.
Premanisme adalah ujian nyata bagi kedaulatan negara dan integritas demokrasi kita. Jika dibiarkan, praktik ini tidak hanya akan melanggengkan kekerasan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara. Momentum untuk bertindak tegas dan konsisten sudah sangat mendesak—bukan dengan cara-cara represif ala Orde Baru, melainkan melalui pembangunan tata kelola yang adil, transparan, dan benar-benar melindungi rakyat. Hanya dengan demikian, Indonesia bisa melepaskan diri dari belenggu premanisme dan menuju demokrasi yang substansial, bukan sekadar formalitas.
Solusi jangka panjang tidak bisa hanya mengandalkan operasi penertiban sesaat. Negara harus memperkuat institusi hukum, menjamin akses keadilan bagi masyarakat marginal, dan menutup celah patronase politik yang memberi ruang bagi premanisme. Selain itu, perlu ada upaya serius untuk membangun mekanisme perlindungan sosial dan ekonomi yang inklusif, agar masyarakat tidak lagi terjebak dalam ketergantungan terhadap kekuatan informal. “Negara yang kuat bukan diukur dari seberapa banyak preman yang dibasmi, melainkan dari seberapa kecil ruang yang tersisa bagi premanisme untuk tumbuh.”
Editor: Topan Bagaskara