
Ilustrasi/arrahim.id.
Oleh Garry Vebrian | Dosen Universitas Yatsi Madani (UYM) Tangerang
26 Juli menandai hari ulang tahun Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga keagamaan formal yang telah hadir selama lima dekade di Indonesia. Momen emas ini disambut dengan gegap gempita oleh MUI Kota Tangerang, tercermin dari beragam agenda seremonial yang mulai disebarluaskan melalui platform digital, khususnya WhatsApp. Namun, yang mengejutkan bukan hanya semarak acaranya, melainkan bentuk dan isi perayaannya. Dalam menyambut ulang tahun ke-50 MUI, acara-acara seperti “karaoke islami”, “catwalk islami”, dan “motivasi islami” mendominasi desain panggung-panggung selebratif.
Alih-alih merancang forum yang membumi pada pergulatan umat menghadapi jurang ketimpangan sosial—yang semakin menganga akibat cengkeraman ekonomi global—MUI Kota Tangerang tampak lebih sibuk merayakan dirinya sendiri dalam euforia tanpa substansi. Di tengah masyarakat kota yang kian terjerat dalam problem struktural seperti penggusuran, kemiskinan urban, dan krisis lingkungan, absennya desain acara yang menyentuh dimensi perjuangan publik menjadikan selebrasi ini terasa hampa dan terasing dari realitas umat.
Mari kita bayangkan, acara “MUI Got Talent; Solo Vocal lagu Religi”, “Lomba Fashion Show Muslimah”, dan beberapa acara motivasi yang kering akan perjuangan umat, dilakukan dalam rangka ulang tahun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang—sebuah institusi yang secara historis lahir dari kebutuhan moral umat untuk menghadirkan suara kebenaran dan keadilan di ruang sosial-politik. Musik religi bergema, para peserta lomba menyanyi bernuansa Islam tampil satu per satu, sementara di sudut lain, busana muslim dipertontonkan seperti parade kehormatan, estetika tanpa medan, suara tanpa gema, dan panggung yang tak lagi tahu untuk siapa ia dibangun. Apa yang harus dipertanyakan bukan semata bentuk acaranya, tetapi kegagalan spiritualnya.
Mengapa lembaga ulama yang seharusnya menjadi mercusuar dalam kegelapan zaman, justru terjebak dalam euforia yang jauh dari realitas umat?
Mengapa selebrasi lebih dipilih daripada kontemplasi? Dalam kondisi umat yang terhimpit—dari kemiskinan struktural, krisis pangan, disinformasi digital, sampai degradasi ekologi—panggung hiburan itu terasa seperti pesta di atas reruntuhan. Inilah kritik pertama: panggung itu tak punya medan perjuangan. Kita harus menghidupkan kembali pertanyaan yang nyaris dihapus oleh format acara: apa arti agama di tengah masyarakat yang menderita? Apakah agama masih menjadi ruang perlawanan dan pencerahan, atau telah menjadi sekadar kosmetika budaya? Hannah Arendt menyebut bahwa yang membedakan kehidupan otentik dari yang kosong adalah keberanian untuk bertindak, bukan hanya tampak. Ulang tahun MUI seharusnya menjadi momen kontemplatif bagi umat Islam di kota ini: menimbang ulang peran ulama, menyalakan api kritik, mempertemukan suara rakyat dengan suara langit. Namun yang muncul hanyalah selebrasi simbolik yang mempertebal jarak antara ulama dan umat.
Di tengah kekosongan ini, tulisan ini hadir sebagai bentuk perlawanan simbolik. Esai ini akan menunjukkan bahwa filsafat—medan sunyi yang sering diremehkan—justru mampu menjadi mimbar alternatif ketika mimbar resmi dibungkam oleh formalitas. Dengan pendekatan filosofis dan kritik sosial, kita akan menggugat panggung hiburan yang kehilangan maknanya, dan mengajak pembaca merenungi kembali apa itu “agama” jika tak lagi sanggup menjadi suara kaum terpinggirkan.
Kota Tangerang hari ini bukan hanya ruang urban yang tumbuh pesat, tetapi juga medan ketimpangan yang makin tajam, mungkin juga terjadi di kota-kota lain akibat ketimpangan struktural. Di balik gemerlap kawasan Gading Serpong (tetangga Kota Tangerang) atau Cikokol, masih terdapat wilayah pemukiman seperti di Neglasari, Batuceper, dan Benda yang dihimpit proyek infrastruktur dan industri tanpa kompensasi sosial yang adil. Kawasan padat seperti Karawaci, Larangan, Karang Tengah, Ciledug dan Cipondoh bergumul dengan krisis sanitasi, banji, dan kepadatan sekolah negeri.
Di sisi lain, identitas keislaman tetap menjadi daya ikat budaya warga. Masjid dan majelis taklim menjamur, tetapi sayangnya, pengaruh lembaga keulamaan seperti MUI menjadi pertanyaan, terlebih dalam situasi seperti ini, perayaan ulang tahun MUI Kota Tangerang yang diisi dengan lomba menyanyi religi, peragaan busana muslim, dan panggung-panggung hiburan mencerminkan bagaimana agama mengalami komodifikasi. Religi tidak lagi hadir sebagai bentuk kesadaran historis terhadap penderitaan umat, tetapi menjadi tontonan yang dipertontonkan secara steril—tanpa menyentuh luka-luka sosial di sekelilingnya.
Émile Durkheim pernah mengingatkan bahwa agama adalah produk kolektif dari pengalaman sosial masyarakat, dan fungsinya adalah untuk memperkuat solidaritas serta menciptakan ikatan yang hidup antara nilai transenden dan kondisi material umat. Namun, saat simbol agama dikuliti dari konteks sosialnya dan dijadikan kontes estetis semata, maka agama menjadi tanda yang kehilangan referennya. Dalam istilah Jean Baudrillard, kita hidup dalam zaman simulacra—tanda-tanda religius menggantikan realitas iman itu sendiri. Religi yang dahulu hadir sebagai kesadaran kolektif terhadap penderitaan kini menjelma menjadi komoditas yang dijajakan di atas panggung.
Perayaan ulang tahun MUI Kota Tangerang bukan hanya banal secara estetis, tetapi juga bermasalah secara filosofis. Dalam situasi umat yang tengah dililit krisis—baik sosial, ekonomi, maupun moral—pertunjukan ini menjadi ironi yang menyakitkan. Alih-alih menjadi ruang tafakur atau pembacaan ulang realitas umat, acara-acara tersebut justru menghadirkan agama dalam bentuk kemasan ringan, siap saji, dan konsumtif. Kita menyaksikan bagaimana agama dikerdilkan menjadi pertunjukan massal yang disambut dengan sorak dan tepuk tangan. Esensi agama yang seharusnya menggetarkan hati dan menggugah kesadaran berubah menjadi koreografi hiburan. Walter Benjamin telah lama memperingatkan bahaya estetisasi dalam ruang publik, terlebih ketika ia menjangkiti wacana politik dan agama.
Jika estetisasi politik bisa membawa kehancuran karena mengaburkan makna dan memanipulasi emosi, maka estetisasi agama akan membawa kehampaan spiritual. Di tangan institusi seperti MUI, agama menjadi bagian dari tata kelola seremoni yang tidak lagi menyentuh persoalan struktural. Ini bukan sekadar kesalahan program, tetapi pergeseran paradigma: dari agama yang membebaskan menuju agama yang menghibur. Jean Baudrillard, dalam kritiknya terhadap masyarakat konsumsi, menjelaskan bahwa ketika simbol dan citra lebih dominan daripada makna, maka realitas menjadi hiperealitas: sesuatu yang tampak nyata tetapi kosong.
Apakah MUI Kota Tangerang sedang menggantikan realitas umat—dengan segala problematikanya—dengan panggung simbolik yang memukau tapi meninabobokan?
Jika ya, maka lembaga ini telah menjadi bagian dari industri representasi yang menjauhkan agama dari maknanya yang paling hakiki: pembebasan. Lomba menyanyi religi tidak membicarakan banjir tahunan yang menghantam rumah-rumah warga di Periuk, Karang Tengah, Ciledug dan Cipondoh. Peragaan busana muslim tidak menyentuh fakta bahwa banyak santri yang tidak diberi kesempatan mengemukakan ide perjuangan publik, belum lagi soal putusnya angka sekolah akibat kebijakan penerimaan siswa baru yang tidak presisi, atau bahwa para guru honorer dan guru ngaji di kampung-kampung hidup di bawah upah layak. Bahkan panggung hiburan yang mengusung nama Islam itu tak mengajukan sedikit pun kritik atas pembangunan eksklusif yang menyingkirkan warga miskin kota ke pinggiran sungai dan rel kereta.
Kritik Antonio Gramsci tentang hegemoni budaya menjadi relevan: kekuasaan modern tidak lagi bekerja melalui represi kasar, melainkan melalui persetujuan yang diberikan oleh masyarakat sendiri terhadap simbol-simbol yang tampak suci, tapi sebenarnya membius. Dengan demikian, perayaan MUI bukan sekadar acara yang tidak relevan, tetapi juga bentuk penundaan kesadaran sosial. Ia menjadi instrumen simbolik yang menahan kemarahan kolektif, menutup luka publik dengan suara musik religi dan tepuk tangan. Hari ini, kita bisa menambahkan: estetisasi agama berujung pada kehampaan. Dan di tengah kota yang penuh ketimpangan seperti Tangerang, kehampaan ini bukan hanya masalah spiritual, tetapi juga sosial dan politis.
Di tengah berbagai kompleksitas sosial yang melanda Kota Tangerang—mulai dari krisis ruang tinggal akibat proyek properti yang agresif, disparitas pendidikan antara pusat dan pinggiran, hingga kemiskinan kultural di wilayah padat seperti Karawaci, Cibodas, dan Jatiuwung—suara lembaga keulamaan seperti MUI justru kian sunyi dalam perkara substantif. Mereka hadir dalam panggung-panggung seremoni, tetapi absen di ruang-ruang advokasi sosial. Agama, dalam tangan birokrasi ulama, tereduksi menjadi struktur normatif yang kehilangan medan praksisnya.
MUI sejatinya adalah lembaga moral, bukan hanya administratif. Tugasnya bukan sekadar menjaga kesalehan simbolik, melainkan menghadirkan suara profetik di tengah kezaliman sistemik. Namun, perayaan ulang tahunnya yang dipenuhi dengan lomba dan hiburan justru menegaskan kekosongan representasi itu: tak ada forum umat, tak ada pembacaan sosial, tak ada deklarasi moral tentang problem rakyat yang nyata. Kita pun patut bertanya: di manakah posisi ulama ketika umat menghadapi penderitaan struktural? Dalam konteks ini, kritik tajam datang dari Imam al-Ghazali, seorang pemikir besar Islam yang tidak hanya menguasai ilmu fikih dan tasawuf, tetapi juga sangat peka terhadap tanggung jawab sosial ulama.
Dalam Ihya Ulumuddin, ia menulis:
نُصْحُكَ لِلْعَامَّةِ فَرِيضَةٌ، وَتَرْكُكَ لَهُ خِيَانَةٌ
“Memberi nasihat kepada masyarakat adalah kewajiban; meninggalkannya adalah pengkhianatan.”
Dalam pandangan Imam al-Ghazali, konsep nushh atau memberi nasihat tidak dapat dipahami sebatas praktik retorika atau penyampaian ceramah yang dikemas dalam simbolisme keagamaan. Nushh sejatinya menuntut kejujuran batin, ketulusan niat, dan keberanian moral untuk berpihak kepada kebenaran, terutama dalam menghadapi ketimpangan sosial. Oleh karena itu, pemaknaan terhadap nushh perlu dikonstruksi ulang agar tidak terjebak dalam praktik seremonial yang bersifat top-down dan elitis. Nasihat keagamaan dalam konteks masyarakat modern harus diwujudkan sebagai bentuk keterlibatan sosial yang kritis—yakni sebagai respons terhadap struktur ketidakadilan yang menimpa masyarakat. Tugas ulama bukan sekadar berdiri di mimbar untuk menyuarakan kebenaran dari jarak aman, melainkan hadir di tengah masyarakat, membaca penderitaan mereka, dan menjadi bagian dari upaya transformasi sosial.
Sejalan dengan etos pemikiran Ghazali, ulama tidak selayaknya mengambil posisi di atas masyarakat, tetapi justru berakar di dalamnya, menjadi penyambung suara mereka yang terpinggirkan. Dengan demikian, nasihat bukanlah pidato, melainkan tindakan sosial yang lahir dari empati dan kesadaran akan tanggung jawab profetik di tengah realitas ketimpangan struktural. Ketika lembaga ulama justru lebih sibuk mengatur perlombaan daripada memperbaiki luka sosial, maka kita berhadapan dengan kehampaan moral. Ini bukan hanya soal kesalahan program, tetapi krisis epistemik: hilangnya visi agama sebagai praksis pembebasan.
Hannah Arendt, seorang filsuf politik yang tajam dalam membaca kemandegan etis, menegaskan bahwa ketaatan birokratis tanpa tanggung jawab personal adalah bentuk kejahatan terselubung. Dalam logika Arendt, ketaatan terhadap prosedur tanpa perenungan moral adalah bentuk pelarian dari tanggung jawab historis. Maka, saat MUI merayakan dirinya sendiri tanpa melihat luka sosial Kota Tangerang—dari pekerja informal yang tak terlindungi, warga miskin yang terpinggirkan oleh kapitalisme perkotaan, hingga anak-anak putus sekolah karena ketimpangan digital—mereka sesungguhnya sedang melanggengkan ketimpangan itu melalui ketidakhadiran moralnya. Kita menyaksikan bahwa hari ini, institusi ulama tidak lagi menjadi medan perjuangan umat, tetapi justru menjadi representasi formal dari kekosongan spiritual. Mereka kehilangan posisi historisnya sebagai perpanjangan suara langit yang menyentuh bumi.
Seorang ulama besar masa lalu, Syaikh Izzuddin bin Abd al-Salam, pernah berujar: “الساكت عن الحق شيطان أخرس.”
“Orang yang diam terhadap kebenaran adalah setan bisu”.
Maka, ketika MUI Kota Tangerang diam terhadap problem sosial dan kerusakan ruang hidup di wilayahnya, tetapi justru memeriahkan panggung dengan nyanyian dan lomba, kita pantas bertanya: apakah ini bentuk kebisuan atau pengkhianatan? Ulang tahun MUI seharusnya bukan sekadar mengenang tanggal berdiri, tetapi momen “bahaya”—momen evaluatif yang mengingatkan pada tanggung jawab sejarah.
Apakah masih ada getaran spiritual yang lahir dari luka-luka sosial umat? Apakah masih ada keberanian untuk berkata benar di hadapan kekuasaan yang lalim?
Kota Tangerang, dengan segala dinamika sosialnya, adalah medan ujian. Di sana ada buruh migran yang tertindas, ada pelajar yang tidak mendapat akses pendidikan keagamaan yang membebaskan, ada lingkungan yang rusak akibat ekspansi industrial. Semua itu menunggu suara-suara profetik. Jika MUI dan lembaga-lembaga keagamaan lainnya tidak hadir di sana, maka agama akan kehilangan kehadirannya di tengah kota.
Dengan demikian, esai ini tidak sekadar menjadi kritik, melainkan juga seruan etis. Bahwa lembaga agama harus kembali menjadi jalan profetik: bukan jalan aman yang diaspal oleh kekuasaan, tapi jalan terjal yang dilalui oleh para pencari keadilan. Jalan itulah yang pernah dilalui para nabi. Dan hanya di jalan itulah agama akan menemukan relevansi dan masa depannya.
Tangerang, 23 Juli 2025
Editor: Topan Bagaskara