
Ilustrasi aktivisme digital. | Sumber Gambar: DailyBruin/Ludi Zhu - Kompasiana.com/David Abdullah
PUSATBERITA – Perkembangan komunikasi digital dengan media sosial (medsos) telah menambah bentuk penyampaian informasi masyarakat, saat ini makin masif menyebut diri sebagai “netizen”. Istilah yang digabungkan dari kata “internet” dan “citizen” [warga negara internet].
Karena keterbatasan jaringan dengan jurnalis atau wartawan, pola dalam penyampaian gagasan oleh kelompok aktivis atau aliansi kerakyatan merambah juga pada zona medsos yang lebih praktis dan subjektif tanpa keterikatan etik pers.
Pola digital movement sangat bermanfaat ditengah kewaspadaan jurnalistik yang terkekang pada “kebebasan pers” yang dituntut “objektif”, pedoman pada dunia jurnalistik terkadang memberi ketidakpuasan masyarakat tertindas. Media terkadang dianggap pesanan pemerintah —pisau pemberitaan terkadang menuduh aksi massa sebagai gerakan anarkis.
Namun, tentulah aksi massa yang tidak direspon baik akan menunjukkan luapan atas kebijakan tak pro-populis. Meski tak pantas [mental yang tertinggal pada masa penjajahan yang masih lekat pada alam sosial kita] dalam ranah etik. Sekali lagi, apa yang bisa menenangkan para massa yang terbawah keruh kekecewaan?
Jika melihat pola pergerakan saat ini begitu gesit dan cepat membludak, seperti aksi kawal putusan MK (Mahkamah Konstitusi) untuk putusan 60/70 pada 20 Agustus 2024, konsolidasi massa dilakukan secara singkat dengan peringatan darurat “Garuda Biru”.
Terbukti, aksi tersebut mendapat perhatian pemerintah pusat. Upaya anulir oleh parlemen [DPR melalui Badan Legislasi] dengan merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah berhenti, gelombang aksi juga tidak berlanjut berhari-hari seperti biasa.
Kemenangan aksi massa ini menggalang simpatik rakyat, ditambah dengan aksi beruntun untuk penolakan kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 12%. Meski hasilnya sampai hari ini masih ambigu sebab harga pasar sudah naik terpengaruh pada isu kenaikan sebelum dinaikan PPN dari 11% ke 12%.
Konsolidasi gerakan bulan ini penuh menggunakan grand rumour [isu utama] yang dikencangkan dengan berbagai hashtag atau tagar, yang dimulai dari # Adili Jokowi, # Kabur Aja Dulu, sampai # Indonesia Gelap. Semua penyampaian instan ini menandakan aliansi rakyat telah belajar mengkonsolidasikan netizen seluruh Indonesia.
Pengalaman baru konsolidasi digital ini tidak hanya dalam negeri, tetapi juga sampai luar negeri. Migran warga Indonesia berbondong-bondong mendukung gerakan ini, agar para pejabat eksekutif memperhatikan potensi anak muda dengan tagar “Kabur Ajah Dulu”, peringatan kenetralan penegakan hukum dengan tagar “Adili Jokowi”, sampai keresahan kebijakan yang menanggalkan program kesejahteraan berdalih efisiensi dengan tagar “Indonesia Gelap”.
Meski Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, sudah menemui aksi bertajuk Indonesia Gelap pada Kamis, 20 Februari kemarin menerima tuntutan yang disampaikan mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia) —aksi massa masih terus berlanjut sebagai pola pengawalan isu direalisasi.
Berganti era pemerintahan meski saat pemilihan umum (Pemilu 14 Februari) Presiden Prabowo bersama Wakil Presiden Gibran menggalang 58% suara, tidak membuktikan masyarakat puas akan kebijakan-kebijakannya. Meski ada ketidakstabilan secara politik ini diharap tidak menghambat perkembangan ekonomi.
Artikel Lain : Petualangan Kepemimpinan di Outing Class SMP IT Birrul Walidain
1 thought on “Melebarkan Konsolidasi Pergerakan dengan Sosial Media”