
Garry Vebrian
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Yatsi Madani (UYM) Tangerang
Dalam konteks perkembangan budaya wellness yang kian mengemuka sebagai fenomena global, tulisan ini menawarkan sebuah analisis mendalam mengenai gerakan Suluk Tho’am (sulūk al-ṭa‘ām), sebuah pendekatan holistik yang mengintegrasikan hikmah sufistik dengan ilmu kesehatan modern. Gerakan ini tidak hanya sekadar respons terhadap kegelisahan akan pola makan urban yang tidak sehat, melainkan juga sebuah rekonstruksi epistemologis yang berakar pada tradisi Islam, khususnya dalam kerangka konsep halāl wa ṭayyib dan praktik sufistik. Melalui perspektif meta-pragmatik, Suluk Tho’am diposisikan sebagai sebuah disiplin bio-spiritual yang menantang narasi-narasi esensialis dalam studi agama, sekaligus menawarkan solusi konkret bagi krisis kesehatan masyarakat modern.
Dengan menggabungkan wawasan dari khazanah keilmuan Islam, temuan medis kontemporer, serta kritik terhadap budaya konsumerisme, tulisan ini tidak hanya memperkaya diskusi akademis mengenai relasi antara spiritualitas dan kesehatan, tetapi juga memberikan kerangka metodologis yang rigor untuk memahami transformasi kesadaran manusia dalam interaksinya dengan makanan. Sebagai sebuah kajian yang berdiri di persimpangan antara ilmu pangan, sufisme, dan sosiologi kesehatan, Suluk Tho’am muncul sebagai sebuah paradigma alternatif yang menjanjikan—baik secara teoretis maupun praktis—dalam merespons tantangan zaman.
Dalam beberapa tahun terakhir, budaya wellness telah muncul sebagai sebuah kesadaran baru di kalangan tertentu. Budaya ini secara halus menggeser persepsi kita tentang kesehatan dan kesejahteraan tubuh ke arah pendekatan yang lebih holistik, meninggalkan paradigma lama di mana tubuh sekadar menjadi proyek identitas modern yang dibentuk oleh atribut-atribut modernisme—sebuah konstruksi yang membuat individu merasa “layak” masuk dalam strata kelas masyarakat urban kontemporer.
Dalam konteks makanan, budaya wellness memperkenalkan narasi baru yang memaknai konsumsi tidak lagi sekadar sebagai pemenuhan kebutuhan dasar, sebagaimana dipahami oleh kalangan pekerja, atau sebagai simbol status, penanda kelas, bahkan prestise seperti yang terjadi di kalangan urban modern. Fenomena makan di restoran atau kafe bergaya Skandinavia, misalnya, mencerminkan relasi yang kompleks, simbolis, dan kerap paradoks dengan makanan. Di sini, makanan tidak lagi semata dipandang sebagai sumber gizi, melainkan sebagai bahasa sosial yang merepresentasikan citra diri modern, produktif, dan terhubung dengan nilai-nilai global. Budaya wellness mendekonstruksi relasi tersebut dengan mengedepankan kesadaran baru: bahwa makanan harus dipahami dalam kerangka kesehatan tubuh yang utuh, melampaui sekadar pencitraan atau identitas sosial.
Suluk tho’am muncul sebagai sebuah gerakan kesadaran dalam konteks pertarungan budaya wellness, menawarkan pendekatan reflektif terhadap makanan dan relasinya dengan tubuh secara holistik. Secara linguistik, istilah sulūk merujuk pada tradisi sufistik yang berkaitan dengan perjalanan spiritual. Jika gerakan ini dipahami sebagai bagian dari sufisme kontemporer, maka ia merepresentasikan revitalisasi nilai-nilai sufistik dalam praktik keseharian—termasuk dalam ranah food science (ilmu pangan).
Dalam tradisi pemikiran Islam, konsep makanan seringkali dibingkai dalam kerangka halal dan ṭayyib (halāl wa ṭayyib) serta sebagai bagian dari ḥifẓ al-nafs (menjaga diri), yang bertujuan memenuhi kebutuhan dasar manusia sesuai perintah Al-Qur’an. Namun, Suluk tho’am mengangkat praktik sederhana ini sebagai medium transmisi nilai sufistik tanpa perlu terikat pada struktur formal ṭarīqah (tarekat) atau ikatan kelembagaan ṭā’ifah (komunitas spiritual). Pendekatan ini sejalan dengan perspektif meta-pragmatik yang diusung oleh Ismail Fajrie Alatas (NYU), yang melihat sufisme sebagai tradisi yang dinamis, terus hidup, dan dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, keresahan Clifford Geertz dalam, ‘Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia’—yang menyoroti kecenderungan esensialis dan hermeneutis-interpretatif dalam studi Islam—dapat direspons melalui pendekatan meta-pragmatik ini. Suluk tho’am tidak hanya menjawab kegelisahan akademik tersebut, tetapi juga menunjukkan bagaimana sufisme tetap relevan sebagai realitas yang terus berevolusi dalam praktik kontemporer.
Inisiator Gerakan Suluk Tho’am dan Keresahannya
Kiai Abdul Hakim—seorang cendekiawan alumni pesantren—adalah penggagas utama gerakan Suluk Tho’am sebagai respons kritis terhadap budaya wellness. Dengan latar belakang pendidikan yang unik, ia menempuh studi di Pondok Modern Daar El-Qolam, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, serta Postgraduate Political Science di Australian National University (ANU). Namun, yang paling membentuk pemikirannya adalah proses panjang berguru di Pesantren Roudhoh Al-Hikam, Cibinong, di bawah bimbingan seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah-Qodiriyah yang karismatik, dikenal dengan panggilan “Akang”—seorang guru sufi yang menguasai khazanah keilmuan Islam dengan kedalaman spiritual dan akhlak yang luhur.
Perjalanan intelektual dan spiritual Kiai Abdul Hakim semakin kaya melalui interaksinya dengan Gus Umar (Abdullah Umar Fayumi), seorang ulama muda NU asal Kajen, Pati, yang memiliki silsilah ke Syaikh Ahmad Al-Mutamakkin, seorang ulama kontroversial yang hidup di jaman Mataram Kartosuro era Sunan Amangkurat IV dan Pakubuwono II di abad 18. Gus Umar sendiri menulis Kitab Funūn al-Sa‘ādah fī Taḥqīq al-Ḥayāh al-Ṭayyibah ‘alā Ḍaw’ Uṣūl al-Ḥikmah al-Khālidah (“Seni Kebahagiaan untuk Mewujudkan Hidup yang Baik Berdasarkan Prinsip Kebijaksanaan Abadi”). Kitab ini, bersama akumulasi pengalaman Kiai Abdul Hakim, membentuk kerangka sufismenya—tanpa menghilangkan singularitas pemikirannya—sebagai artikulasi gerakan peradaban raḥmāniyyah (berbasis kasih semesta), yang diwujudkan melalui pengabdian publik.
Suluk Tho’am lahir dari kegelisahannya menyaksikan sahabat-sahabatnya berjuang melawan penyakit kronis akibat pola makan tidak sehat, hingga berakhir pada kematian yang prematur. Bagi Kiai Abdul Hakim, kematian bukan sekadar berhentinya fungsi jasmani, melainkan juga terputusnya kesempatan seseorang untuk terus berkontribusi kepada Tuhan dan semesta. Meski kematian adalah bagian dari takdir (taqdīr), ilmu tentang pola makan yang benar—sebagaimana diajarkan dalam Suluk Tho’am—memberi ruang untuk “negosiasi” durasi hidup yang lebih bermakna. Gerakan ini, dengan pendekatan meta-pragmatik, menjadi medium revitalisasi sufisme dalam konteks kontemporer, menjawab tantangan kesehatan sekaligus spiritualitas urban modern.
Suluk Tho’am: Integrasi Hikmah Sufistik dan Ilmu Kesehatan Modern
Secara etimologis, Suluk Tho’am merujuk pada disiplin spiritual dalam mengelola perilaku makan. Dalam tradisi sufistik, makanan tidak sekadar dianggap sebagai kebutuhan jasmani, tetapi juga sebagai pintu masuk menuju pengendalian diri, kejernihan batin, dan kesadaran transendental. Pendekatan ini mendapatkan bentuk sistematik dalam rumusan Kiai Abdul Hakim, yang merancang panduan bertahap untuk menempuh Suluk Tho’am melalui tiga tingkat: al-marḥalah al-ūlā (tingkat dasar), al-marḥalah al-wusṭā (tingkat menengah), dan al-marḥalah al-‘ulyā (tingkat lanjut).
Kerangka tiga tingkat ini tidak hanya bersifat praktis, tetapi juga mengandung muatan filosofis dan terapeutik yang mendalam. Pada tahap awal, praktik suluk diarahkan untuk membentuk kesadaran terhadap pola makan yang berlebihan dan tidak proporsional—suatu realitas yang umum dalam kehidupan urban modern. Selanjutnya, pada tingkat menengah dan lanjut, praktik ini ditingkatkan melalui integrasi puasa (ṣawm) sebagai metode sentral, yang dimaknai bukan hanya sebagai ibadah formal, tetapi juga sebagai mekanisme biologis untuk mengistirahatkan tubuh dan memicu proses penyembuhan alami (self-healing).
Dasar ilmiah dari pendekatan ini diperkuat oleh pemikiran Herbert M. Shelton dalam karyanya Fasting Can Save Your Life. Shelton merumuskan lima proposisi utama yang relevan dengan kerangka Suluk Tho’am. Pertama, puasa memberikan kesempatan bagi tubuh untuk beristirahat secara fisiologis, sehingga dapat memfasilitasi proses regenerasi dan perbaikan jaringan, terutama sistem saraf (tajdīd al-khuyūṭ al-‘aṣabiyyah). Kedua, sebagian besar penyakit modern berasal dari akumulasi toksin (sumūm) akibat konsumsi berlebihan, dan puasa terbukti efektif dalam membersihkan tubuh dari racun tersebut.
Ketiga, tubuh manusia memiliki fitrah berupa kecerdasan biologis bawaan yang memungkinkan proses penyembuhan diri, asalkan tidak terhalang oleh pola hidup yang buruk. Keempat, intervensi medis konvensional cenderung bersifat paliatif—hanya meredakan gejala—sementara puasa justru menyasar akar permasalahan secara alami dan menyeluruh (‘ilāj ṭabī‘ī). Kelima, praktik puasa yang ekstrem atau dilakukan oleh individu dengan penyakit kronis harus dilaksanakan dengan pendampingan ahli, untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya (muhāfaẓah ‘alā al-ṣiḥḥah).
Dalam konteks Suluk Tho’am, pendekatan terhadap puasa dan makanan bukanlah sekadar upaya moral atau ritual keagamaan, melainkan sebuah strategi bio-spiritual yang menyinergikan kebijaksanaan tasawuf dengan pengetahuan ilmiah kontemporer. Di tengah krisis gaya hidup modern—yang ditandai oleh konsumsi berlebihan, stres kronis, dan penyakit degeneratif—Suluk Tho’am hadir sebagai alternatif holistik. Ia mengajukan cara hidup yang menyembuhkan, bukan hanya secara jasmani, tetapi juga secara spiritual dan eksistensial.
Dengan demikian, Suluk Tho’am bukan sekadar jalan pertobatan dietetik, melainkan sebentuk laku penyadaran diri yang mengakar dalam khazanah Islam dan bersinggungan erat dengan temuan medis modern. Ini adalah ajakan untuk kembali mendengar tubuh, mengasah kesadaran, dan menempuh jalan seimbang antara dunia dan akhirat melalui disiplin makan yang penuh makna.
Puasa sebagai Laboratorium Bio-Spiritual dalam Suluk Tho’am
Dalam pemikiran Kiai Abdul Hakim, puasa (ṣawm) tidak hanya dilihat sebagai kewajiban ritual dalam Islam, melainkan juga sebagai living laboratory—sebuah laboratorium hidup yang mengintegrasikan dimensi spiritual dan biologis secara nyata dan transformatif. Puasa, dalam kerangka Suluk Tho’am, menjadi medan praktik untuk menguji dan menyempurnakan keseimbangan jiwa dan tubuh di tengah tekanan hidup modern yang semakin kompleks. Di era digital yang penuh dengan arus informasi tak terkendali, manusia dihadapkan pada ledakan rangsangan visual dan emosional yang kerap memicu reaksi impulsif, memperlemah kejernihan batin (qalbun muṭma’innun). Ketenangan batin yang terganggu akibat paparan konflik pribadi, sosial, hingga politik dapat berdampak langsung pada sistem kekebalan tubuh. Dalam hal ini, puasa berfungsi sebagai sarana pemulihan psiko-bio-spiritual yang menyeluruh.
Dari sisi biologis, kondisi al-ṭuma’nīnah—yakni ketenangan dan kestabilan batin—memiliki korelasi langsung dengan peningkatan imunitas. Ilmu medis kontemporer menunjukkan bahwa stres emosional kronis dapat melemahkan fungsi sistem kekebalan dan mempercepat degenerasi sel. Maka, puasa dalam kerangka Suluk Tho’am diposisikan sebagai metode untuk memulihkan ketahanan fisik dan psikis melalui pengendalian konsumsi dan penguatan kesadaran.
Model puasa yang ditawarkan oleh Kiai Abdul Hakim disusun secara bertahap dan terstruktur. Pada level dasar (al-marḥalah al-ūlā), dianjurkan puasa dua kali seminggu—yakni Senin dan Kamis. Ini merupakan latihan awal untuk membangun disiplin dan kesadaran diri terhadap pola makan serta emosi. Selanjutnya, pada tingkat menengah (al-marḥalah al-wusṭā), diterapkan puasa Daud (ṣawm Dāwūd), yaitu pola bergantian antara puasa dan tidak setiap hari. Pada tingkat lanjutan (al-marḥalah al-‘ulyā), puasa dilakukan setiap hari (ṣawm al-dahr), sebagaimana diriwayatkan dalam tradisi Nabi Idris. Setiap tingkat dimaksudkan bukan hanya untuk meningkatkan daya tahan spiritual, tetapi juga mengoptimalkan fungsi fisiologis tubuh dalam jangka panjang.
Menariknya, struktur puasa ini sejajar dengan pendekatan ilmiah dalam praktik kesehatan modern. Contoh konkret dapat ditemukan dalam penanganan pasien diabetes atau pradiabetes, di mana dokter kerap menganjurkan puasa intermiten (infiṣāl ghidhā’ī) selama dua hari dalam sepekan guna meningkatkan sensitivitas insulin dan mengurangi resistensi metabolik. Artinya, praktik yang ditanamkan dalam Suluk Tho’am tidak hanya berakar dari hikmah sufistik, tetapi juga mendapat pengakuan dari dunia medis sebagai strategi efektif dalam pencegahan dan penyembuhan penyakit kronis yang terkait dengan gaya hidup modern (lifestyle diseases).
Dengan demikian, puasa dalam Suluk Tho’am mengalami pergeseran makna dari sekadar ibadah ritual menjadi disiplin bio-spiritual—yakni suatu bentuk tanggapan kritis dan reflektif terhadap tantangan zaman. Ia tidak hanya merawat dimensi religiusitas, tetapi juga menawarkan jalan penyembuhan holistik bagi tubuh dan jiwa. Pendekatan ini menunjukkan bahwa spiritualitas Islam, ketika dipadukan dengan temuan ilmiah mutakhir, memiliki kapasitas besar untuk menjadi alternatif kesehatan masyarakat yang manusiawi, berakar pada kearifan tradisi, dan relevan dengan kebutuhan kontemporer.
Rekonstruksi Kesadaran Makanan
Untuk dapat menjalankan tiga tahapan Suluk Tho’am secara utuh dan berkelanjutan, diperlukan satu fondasi mendasar yang bersifat kognitif sekaligus spiritual: rekonstruksi ulang struktur memori makanan dalam kesadaran manusia. Selama hidup, manusia menyimpan berbagai file makanan—yakni asosiasi emosional, kebiasaan, dan pilihan konsumsi yang tertanam kuat dalam pikiran bawah sadar. File-file ini terbentuk secara bertahap melalui pola asuh, lingkungan budaya, dan paparan komersialisasi makanan sejak masa kanak-kanak. Ketika tubuh merasakan lapar dan mengirimkan sinyal ke otak, struktur kesadaran akan membuka file tersebut untuk menentukan apa yang dianggap “layak” dikonsumsi. Inilah mengapa banyak orang secara otomatis memilih nasi, gorengan, atau minuman manis sebagai respons naluriah terhadap rasa lapar—sebuah refleks yang tidak lahir dari kesadaran, melainkan dari warisan kebiasaan.
Dalam kerangka Suluk Tho’am, tiga unsur makanan—nasi putih, gula rafinasi, dan tepung olahan—perlu dihapus secara sadar dari sistem file tersebut. Bukan semata karena unsur ini buruk secara mutlak, melainkan karena ketiganya merupakan produk dominan dari pola makan modern yang hiperproses, yang telah terbukti berkorelasi dengan gangguan metabolik, penurunan energi jangka panjang, dan ketergantungan emosional terhadap makanan sebagai pelarian. Sebagai gantinya, tubuh dan pikiran diajak untuk membangun file baru: real food—makanan utuh dan alami yang tidak melalui proses kimia berat, seperti buah-buahan, sayuran segar, umbi-umbian, dan biji-bijian. Juga termasuk makanan yang diolah secara lembut (seperti direbus atau dikukus), bukan digoreng dalam minyak sawit atau dibentuk oleh industri makanan instan.
Transformasi ini tidak hanya menyasar apa yang dikonsumsi, tetapi juga bagaimana kesadaran terhadap makanan dibentuk ulang. Gula tidak lagi dilihat sebagai “penenang” dalam minuman kekinian yang selama ini dianggap memberi kebahagiaan sesaat, tetapi justru dipahami sebagai sumber kelelahan setelah lonjakan energi semu. Tepung tidak lagi disambut sebagai bahan utama camilan pagi atau sore, melainkan disadari kontribusinya dalam menciptakan inflamasi ringan yang kronis. Nasi putih, sang “raja meja makan”, mulai digeser dari singgasananya, digantikan oleh pilihan-pilihan lebih bijak seperti umbi, buah, dan sayur yang selama ini hanya dianggap pelengkap.
Dengan pendekatan ini, makanan tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat pemuas lapar, melainkan sebagai pintu masuk menuju kesadaran baru—kesadaran akan tubuh sebagai sistem cerdas yang saling terhubung antara organ dan jiwa. Dalam kesadaran ini, lidah bukan satu-satunya indra yang berhak didengar; tubuh secara keseluruhan menjadi subjek yang didengarkan. Jantung, usus, dan bahkan pikiran kini turut bersuara dalam proses pengambilan keputusan makanan. Di tengah kelelahan kolektif akibat konsumsi berlebihan dan pola hidup reaktif, muncullah keinginan untuk kembali mendengarkan bisikan tubuh—keinginan untuk sehat yang tumbuh dalam diam, dalam keheningan tubuh-tubuh yang pernah lelah dan ingin pulih.
Maka Suluk Tho’am tidak hanya menawarkan disiplin puasa sebagai laku spiritual dan biologis, tetapi juga mengajak pada revolusi kesadaran—menjadikan tubuh sebagai ladang tafakur, dan makanan sebagai sarana tazkiyah (penyucian) yang membentuk manusia baru: lebih jernih dalam pikir, lebih lembut dalam rasa, dan lebih peka dalam hidup.
Makanan sebagai Jalan Ilmu dan Kesadaran
Suluk Tho’am—sebuah laku spiritual sekaligus praksis hidup sehat—tidak boleh dipahami sekadar sebagai pilihan gaya hidup alternatif atau tren sesaat dalam budaya wellness. Untuk menghindari kesan spekulatif dan agar memiliki pijakan metodologis yang kuat, Suluk Tho’am perlu diposisikan sebagai satu disiplin epistemik: sebagai ilmu yang berdiri di atas fondasi tekstual, rasional, dan empiris. Kiai Abdul Hakim membangun kerangka epistemologis yang menjadikan Suluk Tho’am bukan hanya sebagai kebiasaan makan, tetapi sebagai upaya sadar dan ilmiah dalam merespons krisis tubuh, jiwa, dan bumi melalui laku makan yang lebih utuh dan beretika.
Pertama, dalam pendekatan Qur’ani, makanan diposisikan bukan hanya sebagai sumber energi, tetapi sebagai sesuatu yang thayyib—baik, sehat, dan tidak membahayakan. Dalam tafsir klasik seperti Ibnu Katsir, istilah thayyib yang berkaitan dengan makanan mengandung makna ganda: makanan yang tidak membahayakan tubuh secara fisik, serta tidak mencemari pikiran dan jiwa secara emosional. Di sinilah letak pentingnya membedakan antara yang halal (secara hukum syariat) dan yang thayyib (secara ilmiah dan ekologis). Makanan halal-thayyib adalah makanan yang selaras dengan tubuh, bergizi, menentramkan, dan mendukung kejernihan berpikir. Makanan yang hanya halal namun tidak thayyib (seperti makanan tinggi gula, tepung, dan karbohidrat olahan) tetap berisiko menimbulkan kerusakan tubuh dalam jangka panjang, seperti inflamasi kronis dan gangguan metabolik.
Kedua, Suluk Tho’am menjadi motor penting dalam Gerakan Selamatkan Pangan (GSP), yakni upaya sadar dalam merespons fenomena food waste yang kian masif. Ayat “fal yanzhur al-insān ilā ṭa‘āmih” (QS. ‘Abasa: 24) mengajak manusia merenungi asal-usul dan nasib akhir dari makanannya—sebuah ajakan untuk mengembangkan kesadaran ekologis dalam setiap suapan. Limbah makanan yang terjadi di tingkat rumah tangga, industri, dan pemerintahan bukan hanya masalah etika konsumsi, tetapi juga krisis peradaban. Dengan mempraktikkan Suluk Tho’am, seseorang tidak hanya memperbaiki hubungan dengan tubuhnya, tetapi juga dengan bumi yang menopang kehidupan.
Ketiga, prinsip moderasi dalam makan menjadi bagian tak terpisahkan dari etika ini. Firman Tuhan “wa kulū wa isyrabū wa lā tusrifū” (QS. Al-A’raf: 31) bukan hanya seruan moral, melainkan dasar biologis yang kini dibuktikan oleh ilmu kedokteran dan gizi. Konsumsi berlebihan terbukti mempercepat kerusakan organ tubuh, mengganggu sistem pencernaan, serta memicu penyakit kronis seperti diabetes, jantung, asam urat, dan GERD. Tubuh manusia tidak dirancang untuk menampung limpahan makanan tanpa kontrol. Maka disiplin makan dalam Suluk Tho’am bukan hanya tentang “puasa” atau “diet”, melainkan tentang pengendalian diri sebagai bentuk perawatan diri yang berkelanjutan.
Keempat, larangan “jangan memakan makanan yang bathil” (QS. Al-Baqarah: 188) mendapat dimensi baru dalam tradisi ilmu gizi kontemporer. Bathil dalam konteks ini tidak hanya bermakna hukum atau moral, tetapi juga makanan yang tidak memberikan nilai bagi tubuh, bahkan merusaknya. Misalnya, makanan dengan kandungan gula tinggi (seperti minuman manis), karbohidrat olahan dengan indeks glikemik tinggi (seperti nasi putih), atau makanan berbahan dasar tepung rendah nutrisi. Semua itu dikategorikan sebagai makanan bathil karena tidak memberikan energi berkelanjutan, melemahkan sistem kekebalan tubuh, menurunkan ketajaman berpikir, dan mengganggu ketenangan psikologis (nafs muthmainnah). Dalam jangka panjang, konsumsi makanan jenis ini justru mengantarkan tubuh pada resistensi insulin, obesitas, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya.
Dengan demikian, Suluk Tho’am menghadirkan pendekatan baru dalam memahami makanan: bahwa makan bukan hanya soal kenyang, tetapi juga soal kebaikan, keutuhan, dan keberlanjutan. Ia adalah jalan ilmu yang menghubungkan wahyu, akal, dan pengalaman tubuh; menyatukan sains, spiritualitas, dan ekologi. Melalui laku makan yang jernih dan bertanggung jawab, manusia diajak kembali mendengarkan tubuhnya sebagai teks spiritual, bukan hanya sebagai mesin konsumsi. Dan dalam proses itulah, tubuh yang tenang, jiwa yang jernih, dan bumi yang lestari menjadi tujuan bersama dari perjalanan suluk ini.
Suluk Tho’am dalam Arus Budaya Wellness
Konstruksi epistemologis Suluk Tho’am yang telah dijabarkan sebelumnya semestinya meneguhkan keyakinan bahwa praktik ini bukanlah hasil dari perenungan spekulatif atau romantisme spiritual belaka. Sebaliknya, Suluk Tho’am berdiri di atas fondasi ilmu pengetahuan yang kokoh—berakar dalam tradisi tekstual Islam, diperkaya dengan pemahaman sufistik, dan diperkuat oleh temuan-temuan mutakhir dalam ilmu kesehatan dan gizi. Ia merupakan bagian integral dari gerakan budaya wellness kontemporer, namun tidak larut dalam banalitasnya. Suluk Tho’am tidak sekadar mengikuti tren, melainkan menawarkannya jalan pulang yang lebih dalam: kembali pada tubuh, jiwa, dan hakikat manusia sebagai khalifah yang penuh kesadaran.
Dalam perspektif sufisme, Suluk Tho’am mencerminkan relasi indeksial antara tubuh dan suara Ilahi, baik secara temporal (berkaitan dengan waktu) maupun spasial (berkaitan dengan ruang). Tubuh manusia bukan hanya jasad biologis, melainkan medium spiritual yang harus dijaga kesakralannya. Perut—yang kerap menjadi simbol syahwat dan kerakusan dalam banyak teks sufi—diangkat martabatnya melalui Suluk Tho’am. Ia diberikan haibah, kehormatan di hadapan Tuhan, ketika seseorang mampu menjadikannya sebagai pusat kendali spiritual, bukan sekadar ruang konsumsi.
Dengan demikian, ketiga lapisan kebertubuhan manusia—jasmani (body), pikiran (mind), dan ruhani (soul)—diaktivasi secara bersamaan dalam proses Suluk Tho’am. Inilah yang dalam kerangka pemikiran Michel Foucault disebut sebagai technology of the self, yakni praktik-praktik yang memungkinkan individu membentuk, mengasah, dan mengarahkan dirinya secara sadar menuju kehidupan yang lebih bernilai. Makanan, dalam konteks ini, tidak lagi dilihat sebagai objek yang dikonsumsi secara otomatis, tetapi sebagai sarana untuk membimbing tubuh menuju kesadaran yang lebih tinggi—kesadaran ilahiah yang dipenuhi kasih sayang, keagungan, dan pelayanan terhadap sesama.
Lebih jauh, Suluk Tho’am tidak berhenti pada dimensi personal atau spiritual. Ia memiliki konsekuensi sosial yang signifikan. Tubuh yang dijaga dengan makanan yang baik akan menghasilkan energi yang prima, vibrasi emosional yang positif, dan kapasitas keberlanjutan dalam perjuangan sosial. Tubuh yang sehat bukanlah tujuan akhir, melainkan modal penting untuk pengabdian publik—terutama dalam zaman ketika keletihan mental, gangguan metabolik, dan disfungsi sosial semakin menjadi tantangan besar umat manusia.
Sebagai sebuah gerakan yang berakar pada tradisi sufistik namun relevan dengan tantangan kontemporer, Suluk Tho’am menawarkan sebuah paradigma integratif yang menjembatani dimensi spiritual, biologis, dan sosial. Melalui pendekatan meta-pragmatik, gerakan ini tidak hanya mendekonstruksi narasi-narasi esensialis dalam studi agama, tetapi juga memberikan respons ilmiah terhadap krisis kesehatan modern, khususnya yang berkaitan dengan pola makan dan gaya hidup urban. Analisis mendalam terhadap kerangka tiga tingkat (al-marḥalah al-ūlā, al-wusṭā, al-‘ulyā) serta dasar-dasar epistemologisnya memperlihatkan bagaimana Suluk Tho’am berhasil mensinergikan kebijaksanaan klasik Islam dengan temuan medis mutakhir, sekaligus menegaskan posisinya sebagai sebuah disiplin yang rigor dan terukur.
Lebih dari sekadar praktik individual, gerakan ini memiliki implikasi sosial yang luas, mulai dari pengurangan food waste hingga pembentukan kesadaran ekologis, sehingga memperkuat relevansinya dalam konteks peradaban yang berkelanjutan. Dengan demikian, Suluk Tho’am tidak hanya layak dikaji sebagai fenomena keagamaan atau kesehatan, tetapi juga sebagai sebuah model epistemik yang mampu menjawab kompleksitas zaman tanpa mengorbankan kedalaman spiritual dan integritas ilmiah. Ke depan, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi dampak praktis gerakan ini dalam skala yang lebih luas, sekaligus menguji konsistensi teoritisnya dalam menghadapi dinamika masyarakat yang terus berubah. Pada akhirnya, Suluk Tho’am mengajak kita untuk tidak hanya memandang makanan sebagai kebutuhan jasmani, tetapi juga sebagai medium transformasi diri yang menghubungkan manusia dengan dirinya, sesama, dan Sang Pencipta dalam sebuah relasi yang harmonis dan penuh makna.
Editor: Topan Bagaskara