
Oleh: Garry Vebrian | Dosen Universitas Yatsi Madani Tangerang
Seekor Burung Manyar dengan setia menyusun ranting demi ranting untuk membangun sarangnya. Namun, tak lama setelah sarang itu terbentuk, ia membongkarnya kembali dan memulai dari awal ketika betina tak berhasil masuk ke sarangnya. Dari pengembaraan pikiran Manyar, ada satu hal yang terlintas, bahwa kefanaan adalah niscaya itu sebabnya ia terus mendekonstruksi sarangnya. Fenomena ini, yang tampak sederhana, justru menyimpan refleksi filosofis yang mendalam. Di tengah dunia modern yang gelisah, Manyar menghadirkan narasi lain tentang kefanaan dan kebijaksanaan eksistensial. Tulisan ini mencoba menyelami makna tindakan Manyar dalam kerangka pemikiran Peter L. Berger, Søren Kierkegaard, al-Ghazali, dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Tujuannya adalah untuk membaca ulang makna “homeless mind” dalam terang kesadaran akan kefanaan dan makna ilmu yang abadi.
Peter L. Berger (seorang sosiolog penerus Max Weber) dalam karyanya The Homeless Mind (1973) menjelaskan bagaimana modernisasi menyebabkan individu tercerabut dari nilai-nilai tradisional dan religius, menciptakan kecemasan dan kebingungan eksistensial. Menurut Berger, “modernisasi menyebabkan keterputusan antara individu dan dunia simboliknya”. Kecemasan dan kebingungan dari pikiran mengembara masyarakat modern yang ditawarkan oleh Berger sebetulnya -kalau kita perhatikan- adalah buah dari pengembangan Filsuf Denmark Søren A Kierkegaard. Hanya saja Kierkegaard menekankan akan kesadaran eksistensi seseorang itu hendaknya akan pengetahuan tentang Yang Abadi (Allah, Kristus, Being atau Wujud, jiwa, substansi atau apapun yang sifatnya transenden) yang merupakan unsur yang mutlak bagi seseorang, karena kalau tidak, kecemasan (anxiety) dan kebingungan akan terus menghantui si anak manusia modern. Namun, Manyar bukan manusia modern yang tercerabut. Ia bukan subjek yang kebingungan karena kehilangan pusat. Ia justru mewujudkan bentuk paling utuh dari kesadaran akan kefanaan. Pengembaraan Manyar bukanlah gejala keterasingan, melainkan manifestasi kesadaran mendalam akan kefanaan. Tidak ada kegelisahan atau keterputusan, hanya penerimaan bahwa segala sesuatu yang fisik bersifat sementara.
Sikap Manyar kalau dibaca dalam kerangka eksistensialisme Søren Kierkegaard di dalam karyanya The Concept of Anxiety (1844), Kierkegaard menekankan bahwa kecemasan adalah pintu menuju kesadaran akan keberadaan dan Yang Abadi. Maka, kecemasan manusia yang tidak disandarkan pada yang transenden akan menghasilkan kebingungan. Namun jika dihayati, ia membuka jalan menuju makna yang lebih tinggi. Manyar menunjukkan bahwa pemahaman akan kefanaan justru mengantar pada kebebasan: ia tidak melekat pada hasil karya, karena sadar bahwa semua akan binasa. Bila kita mengandaikan Manyar memiliki kesadaran seperti manusia, maka ia adalah eksistensialis paripurna. Ia tak berpegang pada struktur, melainkan pada makna. Sarangnya tak lebih dari perpanjangan dari kesadaran akan kefanaan. Søren Kierkegaard, dalam The Sickness Unto Death (1849), menyatakan bahwa: “Despair is the sickness of the self, the disconnection from the Eternal” (Keputusasaan adalah penyakit dari diri, yakni keterputusan dari Yang Abadi). Namun Manyar tidak terputus. Justru dari kefanaan sarangnya ia menemukan ketenangan. Ia tidak terjebak dalam keputusasaan, sebab ia telah menerima bahwa semua yang terlahir akan binasa.
Tindakan membongkar dan membangun kembali itu pada sikap Manyar, bila kita cermati, adalah bentuk dzikir eksistensial. Ia membangun bukan karena tujuan semata, tetapi karena panggilan keberadaan. Dalam perenungan ini, kita teringat pada Imam Al-Ghazali, yang dalam kisah hidupnya pernah dirampok dan kehilangan buku-bukunya. Di saat itulah ia sadar: ilmu bukan benda yang dicatat, melainkan sesuatu yang bersemayam dalam jiwa. Kata al-Ghazali: “Ilmu sejati adalah yang tidak bisa dicuri.” Dahulu kala, Imam Ghazali pernah diingatkan oleh Allah melalui segerombolan perampok akan kesementaraan sesuatu hal. Sang perampok memaksa ingin mengambil semua yang dibawa Imam Ghazali, termasuk catatan-catatan ilmu yang ada di buku catatannya (semacam binder yang khas dimiliki oleh mahasiswa sekarang ini), al-Ghazali memohon dan meminta agar yang satu itu tidak diambil. Dengan nada dan bergaya Gengster Amerika, si perampok memaksa mengambil semuanya. Dengan segala khidmat Imam Ghazali menyadari satu hal, bahwa ilmu-ilmu tak harus diasosiasikan dengan kebendaan (dalam hal ini buku catatannya yang dirampok) melainkan disimpan di dalam sanubari dan jiwa, maka kehilangan tidak akan pernah ada (adam) karena ilmu kembali menyatu dengan Yang Abadi. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam kerangka epistemologinya menyatakan bahwa ilmu bukan sekadar informasi, melainkan makna yang dihadirkan pada jiwa. Dalam pandangannya, ilmu harus mengarah pada pengenalan terhadap Yang Abadi. Oleh karena itu, ilmu bukan benda yang dapat hilang karena dirampas, melainkan cahaya yang menerangi jiwa. Pengalaman Manyar dan al-Ghazali menguatkan pandangan ini: bahwa hakikat pengetahuan terletak pada integrasinya dengan kesadaran eksistensial, bukan pada bentuk materialnya. Begitu pula Manyar, ia tidak menyimpan sarangnya sebagai simbol kesuksesan. Ia membongkarnya karena tahu: yang penting bukanlah sarang itu sendiri, tetapi kesadaran akan batasnya, Manyar dengan insting alaminya, tampak telah memahami kebenaran ini.
Manyar, dalam kesederhanaannya, menjadi guru eksistensial. Ia mengajarkan bahwa hidup adalah proses melepaskan dan memahami keterbatasan. Di tengah dunia yang memuja keabadian benda dan pencapaian, Manyar hadir sebagai kritik hidup terhadap ilusi tersebut. Ia membimbing kita untuk kembali merenungi kefanaan, menyadari Yang Abadi, dan menghadirkan ilmu sebagai pencerahan jiwa. Dengan demikian, alam bukan hanya latar hidup, melainkan sumber refleksi yang tak pernah habis bagi manusia yang ingin memahami dirinya. Manyar, dalam keheningan geraknya, mengingatkan kita bahwa hidup ini adalah proses melepaskan. Melepaskan ego, melepaskan kelekatan, dan memahami bahwa semua yang kita genggam erat akan hancur oleh waktu. Rumah yang kita bangun, nama yang kita ukir, pencapaian yang kita banggakan—semuanya adalah sarang sementara yang akan hancur ditiup angin waktu. Maka jangan terlalu lama menyembah apa yang akan lapuk. Kini Manyar terbang lagi, mencari ranting baru, mungkin juga mencari tempat baru. Tapi ia tak pernah lupa bahwa rumah bukanlah tujuan, hanya perantara. Sama seperti kita yang mengembara di dunia ini, terus mencari makna di tengah kefanaan. Ia tidak meninggalkan warisan, tapi meninggalkan pengingat: bahwa yang penting bukan apa yang kita bangun, tapi bagaimana kita sadar bahwa semua akan runtuh—dan justru di situlah letak kebijaksanaan. Manyar, terimakasih kau telah menghadirkan lamunan yang berarti. Kembali terbang, sampaikan salam ku untuk alam, terbanglah tinggi dan ajarkan manusia bahwa makna tidak selalu ada di dalam apa yang tampak, tetapi sering kali tersembunyi dalam apa yang rela kita lepas. Kirimkan pada angin bisikan kecil tentang kefanaan ini, agar kami, yang terlalu lama terjebak dalam benda, bisa kembali menyadari bahwa yang sejati adalah Yang Abadi.
Editor: Topan Bagaskara
Artikel Lain: Introduction to Deng Xiaoping