
Ervin Suryono, Sekretaris Poros Intelektual Muda(Dok/Pribadi)
TANGERANG, PUSATBERITA – Setiap tahun berturut-turut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat temuan yang sama pada Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Kota Tangerang: pelaksanaan proyek bangunan gedung dan fasilitas publik tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak.
berulangnya temuan ini bukan lagi sekadar kesalahan teknis, tetapi indikasi kuat adanya masalah sistemik dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Temuan yang Berulang, Bukti yang Berulang, Kesalahan yang Sama
Setiap tahun, laporan BPK berbicara dalam bahasa yang sama: kualitas pekerjaan buruk, volume tidak sesuai, hingga perhitungan biaya yang melenceng dari kontrak.
Pertanyaannya, mengapa hal yang sama terus terjadi tanpa perubahan berarti?
Apakah pengawasan internal Dinas Perkim benar-benar bekerja?
Atau justru ada pembiaran terstruktur yang sudah dianggap sebagai “kebiasaan anggaran”?
Padahal, menurut Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2004, pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi BPK paling lambat 60 hari setelah laporan diterima. Namun dalam praktiknya, tindak lanjut itu sering kali hanya sebatas pengembalian kerugian, tanpa ada perubahan sistemik di dalam tubuh dinas.
Rekomendasi BPK Bukan Sekadar “Bayar Balik” Perlu digarisbawahi: rekomendasi BPK bukan alat penagihan, tetapi instrumen reformasi tata kelola keuangan publik. Sayangnya, di Dinas Perkim Kota Tangerang, rekomendasi itu sering diperlakukan seperti tagihan kas kecil, bukan peringatan keras untuk memperbaiki sistem.
Sudah saatnya Walikota dan Sekda tidak lagi menutup mata. Pengawasan internal (APIP) harus diberi ruang dan keberanian untuk bertindak, bukan hanya menulis laporan. Setiap pelanggaran spesifikasi kontrak harus diikuti dengan evaluasi pejabat pelaksana, pembenahan mekanisme lelang, dan pengawasan lapangan yang ketat.
Kerugian yang Tidak Selalu Terlihat di Neraca Yang paling berbahaya dari penyimpangan proyek publik bukan hanya kerugian anggaran, tetapi kerusakan kepercayaan publik.
Bangunan yang cepat rusak, semuanya menambah beban sosial bagi warga.
Di tengah keterbatasan APBD, setiap rupiah yang diselewengkan berarti hak masyarakat yang dirampas.
Tanggung Jawab Pejabat Tidak Bisa Dielakkan BPK sudah berulang kali menegaskan: penyimpangan dalam pelaksanaan proyek adalah bentuk kelalaian atau penyalahgunaan wewenang.
Pasal 3 UU Tipikor menyebut jelas bahwa setiap pejabat yang menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara dapat dipidana.
Artinya, laporan BPK bukan hanya bahan diskusi — tetapi alarm hukum.
Jika temuan berulang, namun pelaku tetap di tempat yang sama, publik berhak curiga: Apakah sistem pengawasan diabaikan, atau justru ada “perlindungan internal” terhadap kesalahan yang sama?
Langkah Nyata yang Harus Dilakukan
Sudah saatnya Pemerintah Kota Tangerang mengambil langkah nyata, bukan lagi sekadar formalitas: Audit kinerja menyeluruh terhadap proyek fisik Dinas Perkim lima tahun terakhir.
Rotasi dan evaluasi jabatan bagi pejabat pelaksana yang terlibat dalam proyek bermasalah. Keterbukaan publik terhadap hasil tindak lanjut rekomendasi BPK.
Kolaborasi dengan DPRD, Kejaksaan, dan Masyarakat untuk mengawal reformasi birokrasi sektor perumahan dan permukiman.
Temuan berulang BPK adalah cermin kegagalan manajerial dan lemahnya komitmen antikorupsi.
Selama pemerintah hanya memandang laporan BPK sebagai beban administratif, bukan sinyal bahaya, maka pembangunan akan terus bocor, dan rakyatlah yang menanggung akibatnya.
Belum lagi desas-desus titip menitip proyek, menjadi rentetan raport merah Dinas Perkim dalam pelaksanaan dan pengelolaan uang yang bertujuan untuk kesejahteraan Masyarakat Kota Tangerang. Kota Tangerang tidak butuh alasan lagi — yang dibutuhkan sekarang adalah tindakan.