
Koordinator Solidaritas Mahasiswa Demokrasi Tangerang Angkat Bicara Soal CSR ASG (Dok. Ist)
Oleh: Yanto [Koordinator Solidaritas Mahasiswa Demokrasi Tangerang]
TANGERANG, PUSATBERITA – Pemberian dana sebesar Rp6 miliar oleh PT. Agung Sedayu Group (ASG) kepada 60 Koperasi Desa Merah Putih di Kabupaten Tangerang beberapa waktu lalu menjadi sorotan publik. Di tengah semangat pembangunan ekonomi lokal, bantuan ini dinarasikan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Namun sebagai mahasiswa sekaligus bagian dari masyarakat sipil yang kritis terhadap dinamika pembangunan daerah, saya memandang penting untuk meninjau ulang arah dan substansi program ini.
CSR pada dasarnya bukan sekadar penyaluran dana atau aktivitas filantropi, melainkan komitmen jangka panjang perusahaan untuk berkontribusi terhadap pembangunan sosial, lingkungan, dan ekonomi secara berkelanjutan. Oleh karena itu, penggunaan dana CSR harus jelas, terencana, transparan, dan berdampak langsung pada masyarakat luas.
Minimnya Transparansi dan Orientasi Sosial
Hingga saat ini, tidak tersedia informasi yang cukup memadai kepada publik terkait mekanisme seleksi koperasi penerima, bentuk kegiatan yang akan dilakukan, serta parameter keberhasilan program. Tanpa kejelasan ini, sulit bagi masyarakat untuk menilai apakah program CSR tersebut memang sesuai dengan prinsip-prinsip akuntabilitas dan partisipatif.
Lebih jauh, apabila dana CSR dikelola oleh koperasi dengan orientasi utama pada aktivitas komersial, sementara keuntungan yang dihasilkan tidak dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk program sosial yang terukur, maka hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai CSR yang sahih secara substansi. CSR bukanlah dana modal usaha biasa, melainkan instrumen pemberdayaan publik yang berbasis nilai dan kebermanfaatan sosial.
Jejak Kontroversi dan Proyek PIK 2
Perlu diingat bahwa PT. Agung Sedayu Group merupakan pengembang yang terlibat dalam proyek besar Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 di kawasan pesisir Kabupaten Tangerang. Proyek ini dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan berbagai perdebatan di tengah masyarakat dan kalangan pemerhati lingkungan mulai dari isu reklamasi, kerentanan ekosistem pesisir, hingga dampak sosial terhadap masyarakat sekitar.
Situasi menjadi lebih kompleks ketika pada pertengahan tahun ini, pemerintah pusat mencabut status Proyek Strategis Nasional (PSN) dari kawasan Tropical Coastland di PIK 2. Pencabutan ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi ASG dalam melanjutkan proyek tersebut.
Dalam konteks ini, penyaluran dana CSR dalam skala besar kepada koperasi desa yang notabene berada di lingkup wilayah proyek memunculkan pertanyaan publik: apakah ini merupakan bagian dari strategi ASG untuk membangun citra sosial baru demi menjaga kesinambungan proyek yang tengah berjalan? Tentu ini masih bersifat spekulatif, namun merupakan isu yang wajar untuk dipertanyakan secara terbuka.
CSR Bukan Alat Politisasi
Sebagai mahasiswa yang aktif dalam gerakan sosial, saya percaya bahwa CSR adalah bentuk kolaborasi antara perusahaan dan masyarakat, bukan alat membangun pengaruh sosial-politik di tingkat lokal maupun nasional. Jika CSR digunakan sebagai pendekatan untuk “menyenangkan” aktor-aktor tertentu demi kelancaran proyek, maka itu justru mencederai esensi CSR itu sendiri.
Kami dari Solidaritas Mahasiswa Demokrasi Tangerang menyatakan bahwa:
1. CSR harus dikelola secara terbuka, partisipatif, dan mengutamakan kepentingan masyarakat banyak, bukan hanya kelompok terbatas.
2. Pemerintah daerah dan pihak terkait perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap penyaluran dan pelaporan dana CSR.
3. Koperasi penerima CSR sebaiknya melibatkan masyarakat secara luas dan menyediakan pelaporan yang dapat diakses publik, untuk menjaga kepercayaan dan integritas program.
Penutup: CSR Bukan Alat Barter
CSR bukan alat barter politik. Bukan juga bentuk suap terselubung untuk menutupi dosa-dosa korporasi yang merusak lingkungan dan mencederai hak masyarakat.
Sudah saatnya kita kritis terhadap praktik “filantropi semu” yang sejatinya hanyalah cara lain untuk membungkam suara publik, sekaligus membeli pengaruh dalam pemerintahan. Jangan biarkan CSR berubah makna menjadi “Cara Sedayu Rayu” alat diplomasi sosial korporasi yang menyimpang dari semangat keadilan sosial.
Kami percaya bahwa pembangunan yang berkeadilan hanya mungkin tercapai jika seluruh elemen masyarakat termasuk mahasiswa, media, dan pemerintah terus mengawal arah kebijakan dan praktik korporasi dengan sikap kritis namun konstruktif.