
Berbicara mengenai seorang aktivis, kita tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang mereka pegang. Biasanya, nilai-nilai ini berwujud gagasan atau ide yang kuat. Aktivis sering terlibat dalam kegiatan membaca, berdiskusi, advokasi, hingga demonstrasi untuk memperjuangkan gagasan mereka. Namun, fenomena saat ini menunjukkan bahwa beberapa individu telah menyalahgunakan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat, justru diperdagangkan demi keuntungan materi.
Sebagai contoh, basis massa yang dimiliki oleh seorang aktivis bisa saja dimanfaatkan untuk tujuan komersial yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa mereka lebih memilih untuk memenuhi kepentingan pribadi daripada memperjuangkan kepentingan kolektif. Menurut Taufik Abdullah dalam “Sejarah Ideologi dan Pergerakan Sosial di Indonesia”, nilai-nilai perjuangan yang menyimpang dari esensinya dapat menjadi bumerang bagi aktivis dan organisasi yang mereka jalankan, karena pada akhirnya akan merusak kepercayaan masyarakat (Abdullah, 2012).
Pada dasarnya, organisasi ada untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Organisasi dibentuk sebagai wadah kolaborasi dan aksi nyata dalam menangani isu-isu sosial, ekonomi, dan politik. Ketika nilai-nilai dalam organisasi mulai diperdagangkan untuk keuntungan pribadi, organisasi tersebut kehilangan esensi dan tujuannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Bachtiar Rifai dalam bukunya “Organisasi dan Perubahan Sosial”, organisasi yang tidak mampu menjaga integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai aslinya akan kehilangan relevansi dan fungsi utamanya sebagai agen perubahan sosial (Rifai, 2014).
Sangat penting bagi setiap anggota organisasi untuk terus menjaga integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai asli yang diperjuangkan. Dengan demikian, organisasi dapat berfungsi sebagai alat yang efektif untuk perubahan positif di masyarakat.
Terutama bagi organisasi yang masih berusaha mempertahankan idealismenya, mereka harus menjadi solusi bagi berbagai persoalan zaman ini, mulai dari pendidikan, kesenjangan sosial, hingga ekonomi. Namun, kenyataannya, banyak organisasi saat ini kehilangan integritas dan nilai-nilai yang dulu mereka junjung tinggi. Kemana sekarang? Mochtar Naim dalam “Organisasi dan Perjuangan Nilai”, mengingatkan bahwa kehilangan landasan ideologis bisa menyebabkan organisasi tergelincir dalam tujuan komersial yang tidak sesuai dengan misi awalnya (Naim, 2015).
Banyak dari mereka yang telah mengabaikan landasan ideologis mereka, mengabaikan filosofi yang seharusnya menjadi panduan, bahkan melangkahi konstitusi yang mereka bentuk sendiri. Lebih parah lagi, mereka tidak memahami landasan operasional yang seharusnya menjadi acuan dalam setiap tindakan mereka. Akibatnya, keterbelakangan dinormalisasi, kebodohan dipelihara, dan mereka lupa akan identitas mereka sebagai kader umat Islam.
Idealnya, sebuah organisasi harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang menjadi landasan pendiriannya. Mereka harus menjadi agen perubahan yang nyata dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Namun, ketika prinsip-prinsip ini diabaikan dan organisasi lebih fokus pada kepentingan pribadi atau komersial, esensi organisasi tersebut hilang. Ini menjadi tantangan besar bagi organisasi untuk kembali ke jalur yang benar, mempertahankan idealisme, dan benar-benar berkontribusi bagi masyarakat.
Mempertahankan integritas, menghormati landasan ideologis, filosofis, konstitusi, dan operasional adalah kunci agar organisasi tetap relevan dan berdaya guna. Hanya dengan demikian, mereka dapat mengatasi tantangan yang ada di era ini dan menjalankan peran mereka sebagai pelopor perubahan yang sejati, sekaligus tetap setia dan bangga pada identitas mereka sebagai kader umat Islam. Sebagaimana ditegaskan oleh Syamsuddin Haris dalam “Masa Depan Organisasi Sosial di Indonesia”, integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai dasar adalah syarat utama bagi organisasi sosial untuk terus berfungsi secara efektif dalam jangka panjang (Haris, 2017).
Pengurus Besar gagal mendidik Pengurus Wilayah untuk berpikir strategis, Pengurus Wilayah gagal mendidik Pengurus Daerah untuk berpikir taktis, Pengurus Daerah gagal mendidik Pengurus Komisariat untuk berpikir teknis, dan Pengurus Komisariat gagal menyelesaikan masalah di lingkungannya. Dengan adanya degradasi nilai seperti ini, apakah masih perlu organisasi tersebut tetap berdiri?
Kaderisasi yang tidak utuh dan sumber daya yang terbuang sia-sia menyebabkan organisasi lebih fokus menjadi “tim pemenang” daripada memperjuangkan tujuan yang seharusnya. Ini menunjukkan betapa rendahnya harga diri mereka. Degradasi nilai tidak harus menjadi akhir dari sebuah organisasi. Sebaliknya, ini bisa menjadi peluang untuk tumbuh dan memperbaiki diri. Ini adalah opini pribadi saya, dan jika ada kesalahan, semuanya datang dari saya. Kebenaran hanyalah milik Tuhan.
Referensi
- Abdullah, T. (2012). Sejarah Ideologi dan Pergerakan Sosial di Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar.
- Rifai, B. (2014). Organisasi dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: LKiS.
- Naim, M. (2015). Organisasi dan Perjuangan Nilai. Bandung: Mizan.
- Haris, S. (2017). Masa Depan Organisasi Sosial di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Ya sebab itu seorang aktivis harus punya pekerjaan lain (sumber penghasilan untuk kebutuhan hidupnya) bukan berharap hidup dari wadah organisasi. Dengan demikian idealisme seorang aktivis dapat lebih terjaga. Menurut saya kegiatan aktivis ini ada pengabdian, bukan untuk kepentingan pribadi (komersil/ popularitas, dsb). Solusinya budayakan nilai kaderisasi yg baik, tetapkan hati untuk mengabdi sesuai ideologi organisasi (mengharap pahala untuk mengabdi pada Tuhan YME), dekatkan diri dan belajar agama.