
Imaduddin Al Fanani/Ekonom muda, entrepreneur, dan mahasiswa Ekonomi Islam. (Dok. Pribadi).
Oleh Imaduddin Al Fanani / Ekonom muda, entrepreneur, dan mahasiswa Ekonomi Islam
Emas adalah simbol ketahanan, tetapi di Indonesia, emas selama ini hanya diam di tempat—disimpan rapi di rumah, menjadi mahar pernikahan atau sekadar warisan turun-temurun. Padahal, emas bisa lebih dari itu: ia bisa bergerak, berputar, dan memberdayakan. Inilah yang coba dibawa oleh kehadiran Bank Bullion, sebuah model perbankan baru yang menghimpun dan menyalurkan emas sebagai bagian dari sistem keuangan formal.
Pada 26 Februari 2025 lalu, Presiden meresmikan operasional Bank Bullion pertama di Indonesia melalui Bank Syariah Indonesia (BSI). Ini bukan sekadar seremoni, melainkan bagian dari transformasi besar sektor keuangan nasional. UU No. 4 Tahun 2023 tentang P2SK dan POJK No. 17 Tahun 2024 sudah menjadi dasar hukum kegiatan usaha bullion, yang mencakup simpanan, pembiayaan, perdagangan, dan penitipan emas.
Namun, sebagai mahasiswa Ekonomi Islam dan pelaku usaha, saya melihat bahwa fondasi regulasi belum cukup. Ada kekosongan serius dalam hal penjaminan simpanan emas. Emas yang disimpan dalam bentuk unallocated account belum dijamin oleh LPS sebagaimana deposito uang. Padahal, menurut KH Ma’ruf Amin, emas kini sudah menjadi komoditas, bukan alat tukar. Maka wajar jika diperjualbelikan, tapi tetap harus dijamin demi menjaga maslahat publik.
KH Ma’ruf Amin pernah menekankan, sistem muamalah zaman dahulu adalah sahibul māl—yang punya harta bisa bermitra dengan pengelola yang tidak punya modal. Dulu sistem ini berjalan alami, kini fiqih muamalah hanya dibaca dalam buku, tidak hidup dalam praktik. Bank Bullion adalah upaya menghidupkan kembali sistem itu, memberi ruang bagi masyarakat untuk menyimpan emas, dan bagi perbankan untuk mengelolanya secara produktif dan syar’i. Beliau juga menambahkan bahwa “menghalalkan yang haram” bisa terjadi bila prosesnya dibenarkan syariat—seperti pernikahan yang menghalalkan hubungan dua lawan jenis. Maka, pengelolaan emas pun bisa jadi sah jika memenuhi prinsip kehati-hatian, kejelasan akad, dan bebas dari spekulasi yang berbahaya.
Menurut Abdul Hakam Naja, peneliti CSED-INDEF, Bank Bullion di Indonesia punya dasar kuat di Pasal 130 UU P2SK—sebuah capaian yang bahkan belum banyak negara miliki. Tapi ia juga mengingatkan soal tantangan besar: resiko kredit, fluktuasi harga emas (resiko pasar), dan likuiditas. Bank harus sanggup menjual emas kapan saja dan di mana saja. Jika tidak, sistem akan rentan. Ironisnya, Bank Indonesia sudah tujuh tahun tak membeli emas, hanya menyimpan sekitar 7,8 ton. Artinya, integrasi pasar emas dalam sistem moneter nasional masih jauh dari ideal.
Hal lain yang patut jadi perhatian adalah kenapa OJK mensyaratkan modal minimum Rp15 triliun bagi bank yang ingin menyelenggarakan layanan bullion? Menurut Hakam, langkah ini penting agar bukan hanya BSI dan Pegadaian (yang asetnya Rp400 triliun dan Rp120 triliun), tetapi juga bank swasta nasional bisa ikut masuk. Dengan begitu, ekosistem emas dalam sistem keuangan akan semakin inklusif dan merata.
Dari sisi keuangan syariah, Bank Bullion bukan hanya peluang bisnis. Ini adalah momentum besar untuk mengembalikan emas sebagai alat peradaban ekonomi Islam. Skema gold-to-gold financing memungkinkan UMKM mendapat modal tanpa menjual aset. Inovasi digital seperti e-wallet emas, tokenisasi emas, hingga tabungan emas syariah bisa menjangkau generasi muda dan komunitas unbanked dengan lebih baik.
Memang, infrastrukturnya belum sempurna. Pemurnian emas lokal masih rendah. Literasi publik tentang emas pun belum merata. Tapi bila langkah ini konsisten didorong, emas tidak lagi hanya sekadar pajangan atau investasi pasif, melainkan benar-benar menjadi bagian dari sistem keuangan yang berdaya, berkeadilan, dan berorientasi jangka panjang.
Editor: Topan Bagaskara