
Garry Vebrian
Dosen Universitas Yatsi Madani Tangerang
Membaca Deng Xiaoping dalam Lintas Kultur dan Ideologi; Sebuah Catatan Perjalanan Intelektual dan Aktivisme Deng di Prancis.
Tepat satu tahun setelah Deng Xiaoping lahir, sistem ujian kekaisaran resmi ditutup. Artinya imajinasi tentang posisi jabatan di sebuah pemerintahan kekaisaran tiongkok yang didambakan oleh keluarga Xiaoping sebagai tradisi cita-cita luhur Dinasti Deng di Desa Paifang runtuh. Pun persis setelah Xiaoping berumur tujuh tahun, kekaisaran tiongkok juga menemui keruntuhannya, masyarakat Tiongkok bersiap menyambut bentuk dan pemerintahan baru, melupakan sejenak dinasti-dinasti kekaisaran tiongkok yang megah selama ribuan tahun. Saya membayangkan situasi dan psikologi beberapa masyarakat tiongkok pada saat itu dengan mengingat salah satu tesis filsafat sejarah (theses on the philosophy of history) dari seorang filsuf Jerman, Walter Benjamin (Illuminations, 1968, h. 225), dalam karyanya Illuminations yang mengatakan bahwa “masa lalu hanya dapat ditangkap sebagai citraan yang bersinar seketika dan kemudian lenyap”.
Dihapusnya ujian kekaisaran dan dilanjutkan dengan runtuhnya dinasti kekaisaran tiongkok, memang secara psikologis kita bisa menduga situasi pemikiran sebagian para orang tua di tiongkok pada saat itu tentang pendidikan anak-anak mereka, termasuk Deng Wenming yang merupakan ayah dari Deng Xiaoping. Kebingungan itu tentu berkaitan dengan jenis pendidikan apa yang paling baik mempersiapkan seorang anak untuk masa depan. Seperti halnya anak-anak tiongkok pada masa itu, pendidikan awal mereka dimulai dengan tradisi pendidikan konfusianisme, Deng sendiri memulai Pendidikan paling dasarnya pada usia lima tahun dengan pelatihan Konfusian standar di rumah seorang kerabat terpelajar di Paifang, darisana Deng mengenal Etika, Bahasa, Sastra dan Kebudayaan Tiongkok.
Memasuki usia remaja, Deng bukan remaja seperti imajinasi Seno Gumira Ajidarma di dalam cerpennya Manusia Kamar, remaja yang sinis terhadap perubahan sosial dan realitas dunianya. Justru Deng memahami betul situasi dunianya dan keadaaan negerinya, berkali-kali Deng mengintip, dan menyimpan ingatannya dengan rapih di dalam pikirannya, dari balik jendela kecil asramanya di Chongqing tentang bayangan Republik Tiongkok yang baru saja lahir dari kejatuhan dinasti, bahkan ia dengan berani turun dari asramanya hanya untuk merasakan tanah gersang yang ditinggalkan perang dan ketidakpastian. Kita tahu bahwa masa remaja Deng adalah masa transisi, dari sistem kekaisaran menuju sistem negara-bangsa modern. Pertikaian politik dan arena pertarungan perebutan kekuasaan yang didominasi oleh para jenderal tidak dapat dihindari, itu sebabnya era transisi itu disebut dengan “Era Panglima Perang”, situasinya bahkan sampai pada perang antar saudara pun terjadi.
Tulisan ini mencoba merefleksikan sekaligus memotret pembentukan pandangan-hidup (worldview) Deng Xiaoping di Prancis sebagai buruh, intelektual dan aktivis pergerakan. Setiap tokoh besar dalam sejarah tidak terlepas dari narasi pembentukan subjek dan proses panjang di mana pengalaman, ruang, dan teks membentuk pandangan dunia (worldview). Deng Xiaoping, arsitek utama modernisasi Tiongkok pasca-Mao, bukanlah pengecualian. Namun, pembacaan terhadap Deng selama ini sering kali terfokus pada praktik politik dan kebijakan ekonominya, mengabaikan aspek pembentukan kesadaran ideologis dan worldview-nya yang dibentuk dalam masa mudanya, terutama ketika ia tinggal di Prancis antara tahun 1920 hingga 1925. Tulisan ini tidak membaca Deng semata sebagai seorang teknokrat atau ideolog, melainkan sebagai subjek dalam wacana sastra-ideologis: tokoh dalam jejaring tanda, waktu, dan pengalaman interkultural. Melalui pendekatan sastra politik, semiotika eksil, dan ideologi, kita menelusuri bagaimana pengalaman Deng di Prancis menjadi proses pembentukan worldview yang berakar pada dialektika antara Timur dan Barat, teori dan praktik, teks dan tubuh.
Dengan teropong utama karya Ezra F. Vogel, Deng Xiaoping and The Transformation of China (2011), menyajikan Deng sebagai tokoh transformatif modernisasi Tiongkok pasca-era Mao Zedong. Ideology and Ideological State Apparatuses karya Louis Althusser (1971) tentang subjek dalam diri Deng tidak lahir secara netral, tetapi dibentuk oleh ideologi melalui proses pemanggilan (interpellation). Lalu The Location of Culture (1994) karya Homi K. Bhabha mengajukan konsep ruang ketiga sebagai tempat terbentuknya subjektivitas baru di dalam diri Deng melalui proses hibridisasi, dan terakhir teropong Edward Said, Reflections on Exile and Other Essays (2000) mengulas pengalaman Deng di Prancis sebagai bagian dari narasi eksistensial yang juga bersifat sastra—mengalami keterpisahan untuk membentuk ulang diri. Sehingga tulisan ini secara kritis melihat pembentukan seorang pemimpin besar, bahwa tokoh besar tidak muncul seperti dewa yang jatuh dari langit, tidak lahir dari ruang hampa, dan tidak diciptakan oleh takdir yang kebetulan, lelaki kecil bertubuh pendek namun berjiwa raksasa itu adalah buah dari zaman yang keras, aktivisme politik yang luhur, luka-luka revolusi, dan cita-cita yang tak pernah selesai. Secara umum Deng memulai aktivismenya dari Barat, Perancis, sebagai buruh sekaligus mahasiswa, pulang ke Tiongkok sebagai pejuang revolusi, hingga akhirnya menjadi Pemimpin Tertinggi Republik Rakyat Tiongkok sebagai arsitek transformasi ekonomi tiongkok.
Prancis not In Love, but In Searching Identitiy to Build Modern of China
Di tengah pergolakan sosial-politik Eropa pasca Perang Dunia I menjadi berkah tersendiri bagi para pemuda Tiongkok, ketika banyak pemuda Prancis pergi berperang, terjadi kekurangan tenaga kerja yang parah di pabrik-pabrik Prancis, dan puluhan ribu pekerja Tiongkok direkrut untuk bekerja di sana. Di dalam catatan Ezra F. Vogel (Deng Xiaoping and The Transformation of China, 2011, h.19-23), elit reformis Tiongkok awal abad ke-20 dari Sichuan yang pernah belajar di Prancis, menggagas program kerja dan belajar (travail-études) pada tahun 1920–1925 di Eropa dengan memberikan beasiswa bagi pemuda Tiongkok yang lulus ujian masuk program tersebut sebagai bagian dari proyek modernisasi, Deng adalah salah satu pemuda Tiongkok yang lulus ujian masuk program tersebut. Deng berangkat ke Prancis pada usia 16 tahun, dan perjalanan itu bukan hanya perpindahan geografis, melainkan juga perpindahan kultural dan eksistensial, Deng bekerja di pabrik Renault di Paris, menghadapi eksploitasi, diskriminasi, dan keterasingan budaya. Pengalaman ini sangat berpengaruh pada pandangan Deng Xiaoping tentang ras, kekuasaan, dan ketidakadilan sosial. Deng melihat perlakuan diskriminatif terhadap orang Tiongkok dan pekerja lokal lainnya membangkitkan rasa kesadaran akan ketidakadilan yang lebih luas di belahan dunia lainnya, yang akhirnya akan memengaruhi pandangannya dan komitmennya terhadap perjuangan untuk keadilan dan kemerdekaan Tiongkok di masa depan. Pengalaman ini juga menjadi bagian penting dari pembentukan identitasnya sebagai seorang patriot yang bertekad untuk mengubah nasib bangsanya. Dalam kerangka poskolonial, melalui pendekatan pemikiran Edward Said (Reflections on Exile and Other Essays, 200, h. 173-175), tubuh Asia milik Deng membuka ruang pertemuan antara tubuh Asia dan semesta Eropa yang sedang dilanda keresahan ideologis pasca perang sebagai the other, namun juga sebagai saksi dari kontradiksi modernitas Eropa: antara rasionalitas dan kekerasan industri, antara demokrasi dan kolonialisme. Deng menyaksikan langsung struktur kapitalisme industri dan ketimpangan sosial yang menjadi latar tumbuhnya komunisme. Di sinilah liminalitas dan identitas hibrida terjadi dalam pemikiran Homi K. Bhabha (The Location of Culture, 1994, h. 4-6), di ruang inilah terjadi negosiasi identitas dan muncul bentuk-bentuk budaya baru; di mana ia tidak sepenuhnya ‘Cina lama’, namun juga belum sepenuhnya menjadi ‘Eropa modern’. Dalam dislokasi makna itulah worldview-nya mulai terbentuk: bukan melalui dogma, melainkan dari perjumpaan eksistensial dengan dunia yang asing dan menindas. Narasi hidup Deng dapat dibaca dalam kerangka Bildungsroman, yaitu perkembangan subjektivitas melalui krisis dan pembelajaran ideologis di tanah asing (lihat Franco Moretti, The Way of the World: The Bildungsroman in European Culture, 1987), dimana pengalaman Deng di Prancis merupakan babak pembentukan identitas melalui penderitaan, refleksi, dan penemuan ideologi.
Di Prancis, Deng terhubung dengan kelompok studi Marxis Cina yang dipimpin oleh Zhou Enlai dan Cai Hesen. Kelompok ini tidak hanya mendiskusikan teori revolusi, tetapi juga menerjemahkannya dalam tindakan politik melalui pembentukan sel-sel bawah tanah. Deng membaca karya-karya Marx, Engels, Lenin, dan bahkan sedikit literatur Prancis progresif, meski pemahamannya lebih dipraktikkan dalam konteks kolektif ketimbang individual. Dalam kerangka sastra politik, ini adalah momen ketika teks (dalam arti ideologi) tidak hanya dibaca, tetapi dihidupi. Pembacaan Deng terhadap Marxisme adalah pembacaan performatif—teks dihidupi dalam praksis. Seperti dalam teori Louis Althusser (Ideology and Ideological State Apparatuses, 1971, h. 174-176) tentang interpellation, Deng di-‘panggil’ oleh ideologi Marxis bukan sebagai pembaca pasif, tetapi sebagai subjek ideologis aktif yang kemudian akan membentuk sejarahnya sendiri. Yang menarik dalam perjalanan Deng adalah keterbukaannya terhadap rasionalitas Barat tanpa kehilangan akar realisme Timur. Ia menyerap semangat revolusioner dan teknologi dari Eropa, namun juga tetap sadar akan konteks sosial-budaya Cina. Hal ini menjelaskan mengapa kelak Deng mampu merekonsiliasi sosialisme dengan pasar bebas—sebuah sintesis unik antara kolektivisme Marxis dan efisiensi kapitalistik. Di kemudian hari, ketika ia merumuskan kebijakan reformasi dan keterbukaan, ia menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan antara kontrol negara ala Marxisme dan logika pasar kapitalistik. Hal ini hanya mungkin terjadi karena worldview-nya dibentuk dalam konteks pertarungan ideologis di Prancis, namun juga dalam kesadaran sejarah panjang bangsa Tiongkok. Pernyataan Deng yang terkenal, seperti dikutip oleh Ezra F. Vogel (Deng Xiaoping and The Transformation of China, 2011, h.71) dalam pidatonya tahun 1984, “Tidak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting ia menangkap tikus”. Ungkapan ini merupakan refleksi worldview yang berakar pada pragmatisme, namun dipupuk dalam tanah ideologis Prancis. Melalui lensa teori hibriditas Homi K. Bhabha (The Location of Culture, 1994, h. 5), Deng hadir dalam third space—sebuah ruang pertemuan di mana identitas dan ideologi dinegosiasikan secara aktif. Dalam ruang ini, worldview tidak bersifat tunggal dan tetap, melainkan cair, dinamis, dan reflektif terhadap realitas global.
Sebagai penutup, esai ini menunjukkan bahwa perjalanan dan keberadaan Deng Xiaoping di Prancis adalah momen konstitutif dalam pembentukan worldview-nya sebagai pemimpin revolusioner dan arsitek modernisasi Cina. Lewat pendekatan sastra politik, pengalaman Deng dapat dibaca sebagai narasi transformasi subjek dalam lanskap ideologis transnasional. Ia bukan hanya belajar tentang dunia, tapi juga menulis ulang dunia dalam kerangka politiknya sendiri. Dengan demikian, Prancis bukan hanya latar geografis, melainkan medan semiotik pembentukan makna dan tindakan.
Editor: Topan Bagaskara