
Masalah serius yang dihadapi oleh para kader sekarang ini bukan hanya sekedar komitmen, kesadaran, malas membaca. Tapi, lebih dari itu. Kebanyakan kader hari ini tidak dapat mengidentifikasi dirinya. Sebagai kader yang dilatih untuk menjadi pemimpin yang mampu menyelesaikan dan berkontribusi terhadap masalah yang dialami oleh masyarakat. Seharusnya para kader sudah tau peran mereka, dan apa yang harus mereka lakukan.
Pertanyaan nya adalah.
- Bagaimana kader bisa mengatasi berkomitmen secara maksimal?
- Bagaimana kader mampu tersadar atas peran, tanggung jawab, dan fungsi mereka ditengah masyarakat?
- Bagaimana kader tidak malas membaca?
Penulis menyadari bahwa manusia seharusnya maksimal menjadi dirinya. Maksudnya apa? Umpama nya jika ia Seorang penjahat yang maksimal ia tidak akan besar mulut dan akan mengakui bahwa ia adalah seorang penjahat. Dia selesai dengan komitmen nya sebagai penjahat sehingga bertanggung jawab atas kejahatannya.
Seperti yang diketahui kader adalah individu yang dipersiapkan secara khusus untuk menjadi pemimpin atau aktivis yang memiliki kemampuan dan kesadaran tinggi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial. Menurut Kartini Kartono, kader adalah “seseorang yang memiliki kemampuan dan keahlian tertentu yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin” (Kartono, 2002). Bagaimana bisa menjadi pemimpin jikalau membaca saja tidak pernah, ditanya tidak tau, dinasehati tidak mau, apakah ide “kesempurnaan pendidikan” itu hanyalah utopis belaka.
Yang katanya profil kader yang ideal dalam mengatasi masalah ada didalam Landasan Filosofisnya yaitu : Muslim, Cendikia, dan Pemimpin. Sudah berapa banyak kaderisasi dijalankan? Berapa presentase keberhasilannya? Untuk menjadi pelopor pergerakan dalam menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat. Kebanyakan kader belum mampu menjadi pemimpin yang memberikan contoh positif dan menginspirasi pelajar. Belum memiliki kemampuan komunikasi yang baik untuk mendekati dan berinteraksi dengan berbagai pihak, termasuk para pelajar umum. Belum memiliki keberanian moral untuk mengambil sikap tegas dalam mengedepankan nilai-nilai moral dan agama. Belum mampu menjadi mediator yang efektif dalam menyelesaikan konflik di antara pelajar. Belum mempunyai komitmen terhadap pendidikan dalam mengutamakan pentingnya pendidikan dan pengembangan karakter sebagai jalan keluar dari perilaku yang menyimpang.
Kader yang ideal memiliki peran dan tanggung jawab dalam mengatasi masalah-masalah internal dan eksternal. Penulis percaya bahwa pengkaderan akan berhasil ketika menggunakan pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai moral, pendidikan, dan dialog secara inklusif. “Pendekatan yang digunakan adalah dialog interaktif yang melibatkan semua pihak terkait, sehingga akar masalah dapat ditemukan dan solusi yang tepat dapat diterapkan” (Wijayanti, 2019).
Penulis menyarankan para kader refleksi diri, membaca buku setidaknya ada 1 role model dalam bacaan seorang kader, dan sadar akan tupoksinya sebagai kader.
Referensi
Kartono, K. (2002). Pengantar Ilmu Sosial: Dalam Pendidikan Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta.
Wijayanti, D. (2019). Peran Mediasi dalam Penyelesaian Konflik Pelajar Studi Kasus di Yogyakarta. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 24(2), 112-123.
PII, P. I. (2020). Pedoman Kaderisasi Pelajar Islam Indonesia. Jakarta: PII Press.