
Oleh : Artinus Hulu
Bangsa Indonesia saat ini berada pada persimpangan jalan yang menentukan, dimana tumpukan krisis multidimensi tidak hanya menggerogoti fondasi ekonomi, tetapi juga meluluhlantakkan kepercayaan publik sebagai aset terpenting suatu negara.
Kebuntuan yang kita hadapi bukanlah fenomena sesaat, melainkan akumulasi dari penyakit struktural yang dibiarkan berkepanjangan : Korupsi yang menggurita, ketimpangan sosial-ekonomi yang melebar, kondisi politik yang serba dinamis, serta kualitas sumber daya manusia yang tertinggal.
Jika tidak dipecahkan dengan langkah-langkah strategis dan revolusioner, bangsa ini akan terus berputar-putar dalam labarin krisis yang sama tanpa menemukan pintu keluar. Kepercayaan publik yang merupakan modal sosial untuk membangun telah berada pada titik nadir dan memulihkannya adalah tugas bersama yang tidak bisa ditunda lagi.
KORUPSI
Korupsi masih menjadi kanker ganas yang menghambat dan menggerogoti sel-sel pembangunan serta merusak tatanan sosial kita. Data Transparency International pada tahun 2024 menunjukkan, “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia” dengan skor 37 dari 100 dan peringkat 99 dari 180 negara, (https://ti.or.id/indeks persepsi korupsi 2024).
Skor ini bukan sekedar angka, tetapi cerminan nyata dari persepi dunia terhadap praktik korupsi di negeri kita yang belum sepenuhnya memberikan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi warga negaranya. Misalnya kasus korupsi di BUMN pertamina, korupsi di kemensos, BTS, PT. Timah, Asabri, Sawit CPO dan masih banyak lainnya yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah.
Agency theory, menjelaskan bagaimana hubungan Principal (masyarakat) dan Agent (penyelenggara negara), konflik terjadi ketika agent bertindak tidak sesuai kepentingan principal, misalnya menyalahgunakan wewenang untuk keuntungan pribadi (korupsi). Ini adalah contoh nyata bagaimana moral hazard dan lemahnya tata kelola dapat mengguncang kepercayaan inverstor dan kepercayaan publik terhadap pemerintah kita.
KETAHANAN PANGAN
Ketahanan pangan nasional kita masih rapuh dengan ketergantungan impor yang tinggi. Untuk komoditas strategis seperti kedelai, beras dan daging, pemerintah terus dihadapkan pada pilihan yang sulit antara memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui impor atau berjuang untuk swasembada pangan dan peternakan. Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Nasional tahun 2025, mencapai 73,00% terdiri dari aspek; keterjangkauan pangan (82,70%), pemanfaatan pangan (74,99%) dan komponen ketersediaan pangan merupakan skor terendah (61,47%), hal ini mengisyaratkan, bahwa kerentanan pangan kita masih ada dan rentan.
Peta ketahanan dan kerentanan pangan (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA) tahun 2025 menunjukkan, bahwa 81 kabupaten/kota (15,76% ) tergolong rentan rawan pangan, (badanpangan.go.id). Oleh karena itu, prioritas pembangunan pangan kedepan perlu diintegrasikan untuk mendukung daerah terpencil, khususnya daerah bagian wilayah timur Indonesia.
PENDIDIKAN PILAR UTAMA KEMAJUAN BANGSA
Nyaris tidak ada satupun negara maju di dunia ini tanpa pendidikan yang berkualitas. Negara kita masih mengalami kesulitan dalam hal pemerataan kualitas pendidikan di hampir semua daerah. Pemerintah memang fokus pada revitalisasi sekolah, pembangunan sekolah unggul/sekolah rakyat dan digitalisasi pembelajaran. Namun, komitmen ini dihadapkan pada realitas lapangan, bahwa masih banyak sekolah yang belum mendapatkan alokasi anggaran untuk perbaikan sarana dan prasarana (sarpras) selama beberapa tahun terakhir, serta masalah kekurangan guru yang akut, terutama di daerah terpencil dan wilayah Indonesia bagian timur (https://www.kemenkopmk.go.id).
Disparitas ini memperlebar kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah dan melahirkan generasi yang tidak kompetitif berdaya saing.
JURANG: KESENJANGAN EKONOMI
Pada kuartal I tahun 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87% (year on year), diiringi pelemahan nilai tukar rupiah yang menyentuh Rp. 16.600 per USD dan kuartal II yakni 5, 12%. Target pemerintah pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,3% – 6,5%. Realitas pertumbuhan ekonomi hari ini, menguji ketahanan Indonesia dalam dinamika ekonomi global.
Ketergantungan terhadap ekspor komoditas, seperti batu bara dan CPO, membuat perekonomian sangan rentan terhadap fluktuasi harga global dan kebijakan proteksionisme negara maju.
Teori Simon kuznets peraih nobel di bidang ekonomi (1971) menyatakan, bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi kesenjangan pendapatan akan meningkat. Kesenjangan ini akan menurun seiring pemerataan pembangunan dan kebijakan redistribusi yang tepat. Artinya adalah tanpa intervensi ekonomi dari pemerintah, kesenjangan akan memicu konflik sosial, pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan kepercayaan publik kepada pemerintah menurun.
Jika struktur ekonomi tidak berubah akan memperdalam ketimpangan pendapatan dimana segelintir orang menikmati pertumbuhan, sementara sebagian besar masyarakat kita hanya menjadi penonton. Ketimpangan ini adalah bensin di masa depan yang siap memicu disintegrasi sosial.
SUMBER DAYA MANUSIA DAN PERSAINGAN GLOBAL
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), tercermin dari masalah kesehatan dasar, seperti stunting dan gizi. Badan Pangan Nasional (2025) secara tegas menyatakan, bahwa FSVA dan IKP menjadi rujukan dalam menetapkan target intervensi program penurunan stunting.
Hal ini mengindikasikan masalah serius yang berkaitan erat dengan kerawanan pangan.
Buruknya asupan gizi akibat ketidamampuan kalangan masyarakat kita membeli pangan yang bergizi (skor keterjangkauan pangan 82, 70%) merupakan mata rantai yang tidak terputus dari kemiskinan, gizi buruk menuju rendahnya kualitas generasi penerus bangsa. Walaupun pemerintah melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG), mencoba menggenjot penurunan angka stuting (19,8%) dan gizi buruk di indonesia masih belum memberikan dampak yang signifikan.
AKUMULASI KRISIS INI MENUJU KRISIS KEPERCAYAAN PUBLIK
Yang paling berbahaya adalah krisis kepercayaan publik. Masyarakat mulai mempertanyakan kapasitas dan integritas negara dalam melayani mereka. Seperti yang terjadi pada pertamina pasca skandal korupsi, publik tidak segan untuk “memilih diam” dan beralih ke pihak lain (kompetitor pertamina) sebagai bentuk kekecewaan.
Dalam konteks negara, kekecewaan ini jika dibiarkan dapat meruntuhkan legitimasi pemerintah dan mengikis rasa nasionalisme serta kepercayaan (trust).
Teori disintegrasi bangsa soerjono soekanto (2012) menjelaskan, bahwa proses ini dimulai dari memudarnya norma dan nilai-nilai dalam masyarakat yang pada akhirnya memunculkan identitas kelompok yang menetapkan kelompok lain sebagai musuh, inilah yang harus diwaspadai.
LANTAS BAGAIMANA BANGSA INI BANGKIT?
Langkah pertama (1) dan terpenting adalah membangun kembali kepercayaan publik melalui good governance yang transparan dan akuntabel.
Dalam komunikasi krisis dan public relations menekankan, bahwa kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi masyarakat dan responsif dari pemerintah adalah pilar utama.
Pemerintah harus secara terbuka mengakui kelemahan dan dengan jelas menyampaikan langkah perbaikan, sebagaimana yang harus dilakukan.
Langkah kedua (2), memperkuat reformasi birokrasi dengan memberantas korupsi secara tegas dan masif, memperketat pengawasan internal, membangun budaya etika-moral, integritas dan mengambil tindakan tegas tanpa kompromi.
Langkah Ketiga (3), melakukan lompatan dalam membangun “Sumber Daya Manusia (SDM)”, dengan merealisasikan komitmen revitalisasi pendidikan dan kesehatan, termasuk menuntaskan problematika guru di daerah terpencil dan memastikan intervensi penurunan stunting tepat sasaran.
Langkah Keempat (4), mendorong transformasi ekonomi struktural dengan mengurangi ketergantungan pada komoditas melalui hilirisasi industri, memperkuat UMKM dan membangun ketahanan pangan berbasis inovasi, kemandirian dan sumber daya lokal.
MEMBONGKAR KEBUNTUAN BANGSA ADALAH TUGAS BERSAMA
Partisipatif publik memiliki peran krusial untuk membangun kepercayaan secara horizontal. Partisipasi aktif dalam pengawasan kebijkan pemerintah serta memberikan umpan balek yang konstruktif adalah bentuk kontribusi nyata.
Dengan semangat patrionisme yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kelompok dan pemerintah yang bersih serta pemerintah membuktikan komitmennya dengan kebijkan Pro-rakyat.
Akhirnya, kebangkitan Indonesia dimulai dari integritas setiap anak bangsanya.