
Abdul Hakim/Dok. Pribadi.
Oleh Abdul Hakim | Pengajar Perbandingan Politik STISNU Kota Tangerang
Perlawanan rakyat terhadap negara tidak lagi bisa dipandang sebagai bentuk deviasi atau pelanggaran, tetapi sebagai ekspresi sah dari ketegangan antara kekuasaan dan keadilan.
Apa yang tengah berlangsung di Kabupaten Pati—di mana Bupati Sudewo dengan pongah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan hingga 250%, dan dengan congkaknya menantang puluhan ribu rakyat yang hendak memprotes—merupakan bukti bahwa relasi kuasa di republik ini telah mengalami kerusakan mendalam.
Keadilan sebagai prinsip normatif telah dikerdilkan menjadi sekadar angka dalam dokumen APBD, sedangkan rakyat dijadikan sapi perah yang harus patuh tanpa tanya. Dalam kondisi semacam ini, perlawanan bukan saja dapat dimengerti, tapi juga harus didukung sebagai bentuk pembelaan terhadap prinsip moral tertinggi dalam demokrasi: bahwa kekuasaan berasal dari rakyat, dan harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Gerakan Masyarakat Pati Bersatu yang kini mengorganisir diri untuk melawan kebijakan ini patut dipahami bukan sebagai fenomena insidental, melainkan sebagai gejala dari kegagalan struktural dalam tata kelola demokrasi lokal. Kehadiran ambulans dan tumpukan kardus air mineral di posko mereka bukan sekadar logistik aksi, tetapi simbol kuat solidaritas horizontal di tengah runtuhnya vertikalitas kepercayaan terhadap pemerintah.
Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru tampil sebagai predator fiskal. Seperti yang dicatat oleh David Graeber dalam The Utopia of Rules, birokrasi modern seringkali bekerja bukan untuk mempermudah hidup rakyat, tetapi untuk mengaburkan relasi kekuasaan dan melanggengkan kepentingan elite. Kenaikan PBB yang tidak masuk akal ini adalah contoh konkret bagaimana logika administratif telah memutus ikatan etis antara warga dan pemerintahannya.
Perlawanan warga Pati mengingatkan kita pada banyak gerakan serupa di berbagai belahan dunia, yang lahir dari ketimpangan fiskal dan arogansi kekuasaan. Di Prancis, gerakan Gilets Jaunes (Rompi Kuning) meledak pada akhir 2018 setelah Presiden Emmanuel Macron menaikkan pajak bahan bakar atas nama transisi energi.
Warga pedesaan dan kelas pekerja yang merasa diperas dan tidak didengar membalas dengan aksi massa besar-besaran yang mengguncang pusat kekuasaan di Paris. Mereka bukan anti-lingkungan, tetapi anti-ketidakadilan distribusi beban. Sama seperti di Pati, rakyat bertanya: mengapa kami yang harus menanggung kegagalan kalian dalam mengelola ekonomi?
Begitu pula di Chili, pada 2019, kenaikan tarif metro sebesar 30 peso menjadi pemantik demonstrasi masif yang akhirnya menggulingkan konstitusi lama peninggalan rezim militer Pinochet. Di balik “sekadar” kenaikan harga tiket kereta, ada rasa muak rakyat terhadap negara yang terus menuntut pengorbanan dari bawah tanpa pernah menyentuh privilese di atas.
Rakyat Chili membuktikan bahwa ketika suara rakyat ditekan dalam waktu lama, ia akan meledak dalam gelombang tuntutan perubahan yang tak bisa dibendung. Ini resonan dengan perlawanan rakyat Pati: bahwa setiap pemerasan fiskal yang tidak adil akan melahirkan pembangkangan etis yang meluas.
Kembali ke konteks Indonesia, langkah represif Satpol PP dan manuver Plt Sekda yang merazia donasi rakyat bukan hanya menunjukkan sikap anti-demokrasi, tetapi memperlihatkan betapa para pejabat kita telah melupakan esensi pelayanan publik.
Seperti ditunjukkan oleh Michel Foucault—kekuasaan tidak hanya bekerja dalam ruang formal seperti kantor pemerintah, tetapi juga menyusup ke dalam praktik sehari-hari: siapa yang boleh bicara, siapa yang ditertibkan, siapa yang diberi hak menentukan ruang, dan siapa yang dibungkam. Ketika penggalangan dana warga diserbu aparat, itu bukan sekadar pembubaran administratif, tetapi pembungkaman simbolik atas partisipasi rakyat dalam ruang publik.
Apa yang terjadi di Pati juga menyiratkan betapa negara telah kehilangan imajinasi keadilan. Negara lebih mudah memilih memungut pajak daripada memberantas korupsi. Lebih cepat menaikkan beban rakyat daripada memangkas kemewahan birokrasi. Ketika kekurangan anggaran dijawab dengan menaikkan pajak, bukan efisiensi anggaran, maka yang rusak bukan hanya manajemen fiskal, tetapi legitimasi moral dari pemerintahan itu sendiri.
Negara, dalam kondisi ini, berubah dari pelayan publik menjadi preman yang berseragam. Namun sejarah menunjukkan bahwa ketika rakyat melawan dengan keyakinan, perubahan selalu mungkin. Gerakan Masyarakat Pati Bersatu tidak boleh dilihat sebagai gangguan, tapi sebagai bentuk civil repair—upaya warga memperbaiki masyarakat ketika negara gagal menjalankan fungsinya.
Dalam The Politics of the Governed, Partha Chatterjee menyatakan bahwa rakyat biasa tidak diam ketika negara mengecewakan. Mereka menciptakan ruang-ruang baru untuk menjadi subjek politik, bukan sekadar objek pembangunan. Dan itulah yang kini tengah berlangsung di Pati.
Karena itu, simpati dan solidaritas kepada rakyat Pati bukan soal keberpihakan politik, tetapi keberpihakan moral pada prinsip keadilan. Bahwa dalam negara demokratis, pemerintah yang tidak mampu meringankan beban rakyat seharusnya diberi peringatan keras. Bahwa pejabat yang mengancam, menggertak, dan memalak rakyatnya sendiri harus tahu bahwa mereka tidak sedang memerintah budak, tapi warga negara yang merdeka. Dan bahwa rakyat yang berani melawan—dengan sopan, dengan solidaritas, dan dengan keyakinan—adalah penjaga terakhir dari demokrasi yang semakin rapuh ini.
Rakyat Pati sedang menunjukkan jalan itu. Dan kita semua, dari berbagai pelosok negeri, punya tanggung jawab untuk menyuarakan bahwa negara ini bukan milik pejabat yang gemar menaikkan pajak dan menggusur hak. Negara ini milik rakyat. Dan kalau suara rakyat tak lagi didengar, maka perlawanan menjadi bahasa terakhir dari cinta pada republik.