
Ilustrasi: pinterest.
Oleh Garry Vebrian |Dosen Universitas Yatsi Madani (UYM) Tangerang.
Sore itu di tengah hujan yang cukup deras tapi syahdu, ditemani dengan hot americano yang jelas biji kopinya -saya yakini dengan pasti- ditanam oleh petani: bijinya dipanen tangan-tangan kasar para petani di lereng pegunungan, disortir secara manual, lalu dijemur di bawah matahari yang sama yang hari ini perlahan tenggelam diantara derasnya hujan. Memang kami sedang berada di sebuah kafe yang bergaya Skandinavian tapi ada rasa yang tidak bisa ditemukan di kafe hampir semua di perkotaan -bukan hanya soal cita rasa, tapi tentang proses hidup yang menghidupkan. Uap harum kopi arabika yang baru diseduh seakan mengembalikan kami pada tanah dan tangan yang menumbuhkannya -sebuah jeda dari hiruk pikuk kota dan kerja. Di tengah obrolan ringan kami soal pekerjaan, politik, dan kesibukan yang tak kunjung reda serta keresahan tentang hidup yang terasa semakin terasing, terselip kegelisahan diam-diam tentang makna dari semua aktivitas yang kami jalani. Di balik butir kopi yang kami teguk, tersirat kedalaman vita activa yang pernah dibahas Hannah Arendt -bahwa kerja, karya, dan tindakan adalah tiga dimensi eksistensi manusia yang saling terkait. Apa yang tampak sederhana -secangkir kopi hasil kerja petani- ternyata adalah cermin dari dunia bersama yang sedang mereka perjuangkan: dunia yang belum tentu dipahami oleh mereka yang telah lama tercerabut dari tanah.
Salah satu sahabat sekaligus juga guru kami, Kyai Abdul Hakim, tetiba menunjukkan sebuah esai pendek yang pernah ditulis oleh raksasa filsuf eropa: sebuah esai Martin Heidegger, Why Do I Stay in the Provinces? Seperti biasa dengan senyumannya yang khas ia mengangguk pelan sambil berkata, “Kalian harus baca ini. Ada yang penting dari memilih tetap di sini,” ujar Kyai Abdul Hakim. Saya terdiam sejenak, merenungkan makna dari ungkapan “di sini” yang ia sampaikan. Tampaknya, yang dimaksud bukan sekadar lokasi fisik geografis, melainkan suatu sikap eksistensial: sebuah ajakan untuk tidak larut dalam gaya hidup pragmatis dengan mengeksploitasi ruang-ruang publik oleh kekuatan ekonomi-politik, tanpa perjuangan untuk publik, dan berpindah-pindah tanpa arah nilai. Dalam kerangka ini, “di sini” adalah ruang keterlibatan; tempat di mana seseorang hadir secara aktif dalam dunia dan membangun interaksi yang bermakna dengan sesama. Pesan tersebut kembali menegaskan gagasan Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958) tentang vita activa—kehidupan aktif yang mengakar pada tindakan, kerja, dan relasi antarmanusia. Dengan berkhidmat pada ilmu dan perjuangan publik, manusia tidak hanya hadir sebagai individu yang hidup, tetapi juga sebagai subjek politis yang turut serta membentuk dunia bersama. Percakapan pun berubah arah, dari rutinitas menuju kontemplasi (vita contemplativa) tentang kerja, tempat tinggal (desa), ketimpangan, dan kehidupan itu sendiri. Esai pendek yang ditulis Heidegger pada tahun 1934 membawa imajinasi saya tentang dinamika kelas elit Indonesia, berbondong-bondong ke pusat—baik Jakarta maupun pusat kekuasaan lainnya—bukan untuk menyepi, melainkan untuk menguasai distribusi sumber daya nasional.
Tulisan ini merupakan sebuah upaya menelusuri pemikiran Martin Heidegger dalam esainya Why Do I Stay in the Provinces? Untuk dipertemukan dengan gagasan Hannah Arendt dan Thomas Piketty. Dorongan untuk menulis ini juga muncul dari penghargaan saya kepada Kyai Abdul Hakim—sosok yang memperkenalkan esai langka tersebut dan “santapan pembuka” pemikiran Arendt dan Piketty. Melalui Heidegger, saya mencoba membaca ulang gejala sosial-politik di Indonesia dan menganalisis fenomena elit di Indonesia sebagai entitas yang tumbuh dari kehidupan yang tercerabut dari keheningan, dari tempat, dan dari dunia yang bermakna. Di tengah hiruk-pikuk pembangunan, elit Indonesia terus mereproduksi kekuasaan melalui pelarian dari keterhubungan otentik dengan rakyat dan tanahnya. Dengan mengaitkan pemikiran Heidegger tentang ruang, kerja, dan keheningan dengan data ketimpangan dan gejala oligarki kontemporer, esai ini menawarkan pembacaan eksistensial terhadap krisis representasi dan moralitas dalam kepemimpinan Indonesia hari ini.
Why Do I Stay in the Provinces? Adalah esai kontemplatif yang ditulis Heidegger pada tahun 1934, di dalam esai tersebut Heidegger memilih tinggal di sebuah desa di dalam pondok yang kecil juga sederhana, tepatnya di pegunungan Todtnauberg, Hutan Hitam sebelah selatan Jerman. Keberadaan Heidegger di desa itu bukan karena menghindari dunia, tapi karena di situlah pikiran bisa hidup, diam bisa berbicara, dan kerja menjadi nyata. Di sana, ia menyatu dengan ritme alam dan kerja petani; bukan sebagai observasi estetis, tapi sebagai keberadaan yang tertambat pada dunia. Sebaliknya, para elit Indonesia justru berlomba-lomba tinggal dan bertarung di pusat—secara harfiah dan simbolik. Mereka tidak tinggal di “desa”, baik secara geografis, sosial, maupun eksistensial. Pertanyaan yang muncul adalah: apa yang bisa dikritik dari perilaku elit Indonesia jika kita meminjam cara berpikir Heidegger?
Dalam pemikiran Martin Heidegger, keberadaan manusia tidak pernah netral; ia selalu berada di dalam dunia—di antara orang lain, tempat, dan waktu yang membentuk makna hidupnya. Namun, para elite di Indonesia tampak hidup dalam dimensi lain: dunia representasi, bukan dunia keberadaan. Mereka hadir bukan dalam keseharian rakyat, melainkan dalam bayang-bayang kamera, infografis yang dibentuk konsultan, dan retorika publik yang dikalkulasi demi citra. Kehidupan politik dan kepemimpinan mereka dibangun lebih oleh logika pencitraan daripada oleh pengalaman konkret bersama masyarakat. Mereka memotret diri sedang menanam pohon, menyapa nelayan, atau minum kopi di warung rakyat—namun semua itu lebih merupakan performa daripada keterlibatan yang sejati. Pencitraan ini menciptakan jarak yang halus namun mendalam: elite terlihat hadir, tapi sejatinya absen. Mereka hadir sebagai gambar di layar, bukan sebagai ada yang hidup bersama rakyat. Dalam kacamata Heidegger, ini adalah bentuk keterasingan eksistensial—karena mereka tak lagi tinggal di dunia, melainkan mengambang di atasnya. Dunia mereka adalah ruang konferensi, angka statistik, dan algoritma media sosial. Sementara itu, suara petani, penderitaan buruh, dan keluhan masyarakat desa tak sungguh-sungguh diindahkan, karena tak cukup “fotogenik” untuk disisipkan dalam narasi pencitraan.
Di tengah narasi pembangunan yang bergema lantang dari ruang-ruang kekuasaan Jakarta, pedesaan di Indonesia semakin tersingkir dari perhatian filosofis dan politik. Kebijakan hilirisasi sumber daya alam, yang diklaim sebagai langkah strategis demi kemandirian ekonomi, justru menghadirkan paradoks: tanah-tanah adat digusur, masyarakat akar kehilangan tempat hidupnya, dan desa tak lagi menjadi ruang tinggal yang bermakna. Dalam konteks ini, pemikiran Martin Heidegger dalam esainya Why Do I Stay in the Provinces? (1934) menawarkan kritik eksistensial yang relevan. Heidegger menolak logika pusat-kota dan memilih tinggal di pegunungan Todtnauberg demi mempertahankan keheningan, keterhubungan dengan alam, dan keotentikan eksistensi. Kritik ini diperkuat oleh pemikiran Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958) yang membedakan antara kerja (labor), membuat (work), dan bertindak (action). Ketiganya menunjukkan bagaimana ruang publik dan privat mengalami disorientasi dalam masyarakat modern. Bila ditarik ke Indonesia kontemporer, terutama dalam praktik hilirisasi yang eksploitatif, kita melihat bahwa desa menjadi korban logika kerja yang dipisahkan dari makna tinggal (dwelling) dan tindakan politik. Ditambah dengan temuan Thomas Piketty tentang ketimpangan global akibat konsentrasi kapital, maka artikulasi Heidegger dan Arendt menemukan konteks konkret untuk dikritik: Indonesia sedang mengalami pengasingan kolektif dari desa. Heidegger menolak tinggal di kota besar dan memilih menetap di desa karena di sanalah, menurutnya, terdapat “kedekatan terhadap hal-hal” dan “kesunyian” yang memungkinkan berpikir secara otentik. Baginya, tinggal (dwelling) bukan sekadar menghuni ruang, melainkan sebuah cara mengada. Dalam kalimatnya yang terkenal: “Hanya kerja yang membuka ruang bagi realitas yang adalah gunung-gunung ini” (Heidegger, 1934). Tempat, dalam hal ini desa, bukan sekadar lokasi, melainkan ruang eksistensial yang memungkinkan hubungan tak terputus antara manusia, alam, dan makna. Namun dalam kebijakan hilirisasi di Indonesia, makna tinggal (dwelling) ini digusur. Desa tidak lagi dipahami sebagai ruang hidup, melainkan sebagai lokasi eksploitasi sumber daya. Proyek pembangunan smelter, perluasan tambang, dan industrialisasi yang tidak berpijak pada aspirasi masyarakat lokal telah mereduksi desa menjadi obyek ekonomi semata. Dalam bahasa Heidegger, ini adalah kemenangan “kota” atas “desa” — sebuah bentuk penguasaan yang mengasingkan manusia dari asalnya. Dalam The Human Condition, Hannah Arendt mengurai tiga aktivitas dasar manusia: labor (kerja untuk mempertahankan hidup biologis), work (karya yang menciptakan dunia buatan seperti rumah atau lembaga), dan action (tindakan politik untuk menegakkan makna bersama). Hilirisasi yang terjadi di Indonesia tampak dikuasai oleh logika labor: kerja yang terus-menerus namun tak memberi ruang bagi tindakan reflektif atau pembentukan dunia. Ketika masyarakat pedesaan hanya dipandang sebagai tenaga kerja murah atau obyek kebijakan, mereka dicabut dari kemampuan bertindak. Proyek-proyek besar sering dihadirkan tanpa konsultasi mendalam dengan masyarakat lokal. Hal ini sejalan dengan kritik Arendt bahwa modernitas sering menghilangkan ruang publik yang autentik — tempat orang bertemu sebagai subjek politik. Dalam kondisi seperti itu, desa hanya menjadi latar belakang, bukan partisipan.
Kasus Raja Ampat, Papua Barat, yang baru baru ini riuh dan tenggelam juga akhirnya setelah dicabut Ijin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Pemerintah atau justru isu ini mereda karena permainan algoritma sosial dan media sosial yang dikonstruksi oleh kekuasaan, entahlah. Raja Ampat, salah satu lanskap alam yang paling menakjubkan yang dimiliki negeri ini dan dikenal dunia sebagai salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di planet ini. Dalam semangat Heidegger, pegunungan dan laut bukanlah sumber daya mati, melainkan bagian dari dunia yang memampukan manusia mengada secara utuh. Pemandangan karst di Raja Ampat bukan sekadar estetika, tapi bagian dari kesunyian dan tempat tinggal eksistensial masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan alam. Arendt akan menilai kehancuran lanskap ini sebagai kehancuran work dan world — karya dan dunia — tempat di mana manusia membangun arti hidup bersama. Tambang itu adalah contoh bagaimana hilirisasi bisa menjadi kekuatan desktruktif. Pemerintah pusat melihat tanah sebagai modal ekonomi, sedangkan masyarakat lokal melihatnya sebagai rumah, leluhur, dan dunia. Ketika pengetahuan lokal dipinggirkan, maka ruang tindakan musnah dan warga direduksi menjadi statistik.
Belum lagi soal ketimpangan, Ketimpangan bukan hanya tentang distribusi ekonomi, tapi keterputusan eksistensial antara yang bekerja dan yang memerintah. Angka kekayaan 0,1% elite Indonesia menunjukkan jarak struktural yang luas, sekaligus pemisahan makna hidup. Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century dan Capital and Ideology menunjukkan bagaimana konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elite menyebabkan ketimpangan yang makin akut. Di Indonesia, proses hilirisasi dan industrialisasi justru memperdalam ketimpangan antara pusat dan daerah. Data dari berbagai riset menunjukkan bahwa 1% penduduk terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 45% total kekayaan nasional (Oxfam, 2019). Piketty memperlihatkan bahwa ketimpangan ini bukan hanya bersifat ekonomi, tapi juga ideologis: siapa yang berhak tinggal di mana, siapa yang punya hak atas tanah, siapa yang boleh bersuara. Dalam banyak kasus, warga desa dan lokal dikonstruksi sebagai penghalang kemajuan. Padahal mereka justru menjadi penopang ekologi, budaya, dan pangan nasional. Dalam lanskap ketimpangan, penambangan dan penggusuran ini, keberpihakan pada desa bukan semata soal romantisme tradisional. Ini adalah soal etika, soal eksistensi, dan soal politik. Heidegger mengajarkan bahwa tempat bukan sekadar ruang, tetapi medan bagi pengungkapan makna. Arendt menegaskan bahwa dunia harus dicipta bersama, melalui tindakan dan perjumpaan. Dan Piketty mengingatkan kita bahwa distribusi kekayaan tanpa keadilan akan menciptakan kehampaan makna sosial. Maka, mempertahankan desa berarti mempertahankan dunia — bukan dunia abstrak yang dipetakan dari satelit, tetapi dunia yang dirasakan dari dalam: bau tanah, suara ayam, percakapan senyap di sudut warung kopi, do’a yang tak tercatat statistik.
Heidegger mendengar dunia, Arendt membela ruang publik, Piketty menantang struktur kapital. Esai ini menyerukan elite untuk kembali bekerja, berpikir, dan bertindak dalam dunia yang nyata. Kritik Heidegger atas kota dan pemujaan atas pusat menemukan gema dalam nasib desa di Indonesia. Hannah Arendt menambahkan bahwa tanpa ruang tindakan, manusia hanya akan menjadi makhluk kerja. Dan Piketty memperingatkan bahwa struktur ekonomi global menciptakan jurang yang tak hanya sosial, tetapi juga eksistensial. Dalam dunia yang semakin bising oleh jargon pembangunan, kita perlu kembali mendengarkan keheningan gunung dan desa — tempat makna dan eksistensi pernah tumbuh. Kita perlu bertanya lagi: untuk siapa sebenarnya pembangunan itu? Jika jawabannya bukan untuk mereka yang tinggal di desa, maka kita sedang membangun sesuatu yang tanpa dasar, tanpa rumah, tanpa dunia.
Editor: Topan Bagaskara