
Oleh Abdul Hakim
Pengajar Studi Perbandingan Politik
STISNU Nusantara Tangerang
Dalam denyut sejarah Tiongkok modern, nama Deng Xiaoping berdiri seperti batu karang yang tenang namun menentukan arus. Ia bukan orator revolusioner seperti Mao, bukan pula simbol negara yang megah dalam tampilan seremonial, tetapi justru dari balik bayang-bayang kekuasaan formal, Deng menenun ulang takdir bangsanya dengan benang-benang pragmatisme dan strategi yang penuh perhitungan. Lewat kebijakan yang tak terduga namun terukur, ia menjadikan desa-desa sunyi sebagai awal gelombang reformasi, dan desa nelayan terpencil seperti Shenzhen sebagai mercusuar masa depan. Deng tak menulis puisi revolusi, tetapi membentuk realitas baru yang memadukan ekonomi pasar dengan tangan besi politik. Dialah seniman kekuasaan yang memahami bahwa untuk membangun peradaban, kadang yang dibutuhkan bukan ledakan, melainkan ketukan perlahan pada pintu sejarah.
Pada akhir 1978, Deng Xiaoping muncul sebagai tokoh sentral dalam lanskap politik Tiongkok pasca-Mao. Meskipun tidak pernah secara resmi menjabat sebagai ketua partai atau kepala negara, Deng memainkan peran dominan melalui pengaruh informal yang dibangun dari reputasi revolusionernya, kemampuannya merangkul berbagai faksi dalam Partai Komunis Tiongkok (PKT), serta kepekaan terhadap dinamika politik global dan domestik. Gaya kepemimpinannya mencerminkan seorang ‘seniman politik’, di mana kuasa tidak selalu ditunjukkan secara formalistik, tetapi lewat arah kebijakan yang strategis dan kalkulatif.
Salah satu prinsip mendasarnya adalah ‘socialism with Chinese characteristics’—sebuah konsep yang membingkai transformasi ekonomi pasar dalam batas-batas ideologi sosialis. Deng tidak melihat sosialisme sebagai bentuk statis yang menolak pasar, tetapi sebagai proyek yang harus realistis terhadap kondisi historis dan kebutuhan praktis masyarakat. Hal ini ditunjukkan dalam semboyan terkenalnya, “tidak peduli kucing hitam atau kucing putih, yang penting bisa menangkap tikus”, yang menyimbolkan pendekatan pragmatis dalam tata kelola: keberhasilan kebijakan diukur dari efektivitas, bukan ideologinya.
Deng juga memperkenalkan mekanisme desentralisasi ekonomi secara bertahap, yang menciptakan ruang bagi inovasi kebijakan di tingkat lokal. Ini terlihat pada peluncuran program “experimentation under hierarchy”, di mana pemerintah pusat memberikan otonomi kepada pemerintah daerah untuk menguji kebijakan baru dalam pengelolaan ekonomi, termasuk sistem insentif dalam unit usaha negara (SOEs), kebijakan fiskal lokal, dan pembukaan diri terhadap investasi asing. Provinsi-provinsi seperti Guangdong dan Fujian diberi keleluasaan untuk menjalin hubungan dagang lintas batas dan menarik modal dari diaspora Tionghoa di Asia Tenggara dan Hong Kong.
Secara empirik, pengaruh Deng dalam seni memerintah dapat dilihat dari keputusan Komite Sentral PKT pada Sidang Pleno Ketiga tahun 1978, yang secara resmi menggeser orientasi pembangunan dari “perjuangan kelas” ke “pembangunan ekonomi”. Dalam pidatonya saat itu, Deng menekankan bahwa pembangunan adalah tugas utama, bukan lagi revolusi permanen seperti yang dikhotbahkan oleh Mao. Peristiwa ini menandai titik balik dalam sejarah Tiongkok modern: sebuah negara otoriter-komunis yang mulai membuka pintunya untuk mekanisme pasar dan investasi global, tanpa melepaskan kendali politik pusat.
Gaya kepemimpinan Deng juga ditandai oleh fleksibilitas ideologis namun ketegasan politik. Ia mengakomodasi masukan dari para teknokrat dan ekonom muda seperti Zhao Ziyang dan Hu Yaobang, namun tetap menunjukkan ketegasannya ketika garis politik partai terancam. Contoh paling jelas dari hal ini adalah insiden Gerakan Demokratik 1986 dan akhirnya Tragedi Tiananmen 1989, di mana Deng, meskipun telah pensiun secara formal, memegang kendali dalam keputusan untuk meredam gerakan tersebut dengan kekuatan militer. Ini menunjukkan bahwa keterbukaan ekonomi tidak otomatis diiringi dengan keterbukaan politik—sebuah garis batas yang dengan sadar dijaga oleh Deng demi stabilitas nasional.
Dengan demikian, seni memerintah ala Deng Xiaoping adalah gabungan antara pragmatisme ekonomi, fleksibilitas kebijakan, eksperimentasi lokal, dan otoritarianisme politik. Ia membentuk kerangka bagi model pemerintahan Tiongkok modern—di mana pertumbuhan ekonomi dikejar secara agresif, namun kendali politik tetap berada dalam tangan segelintir elite partai. Model inilah yang kemudian diwarisi dan dimodifikasi oleh generasi pemimpin setelahnya, dari Jiang Zemin hingga Xi Jinping.
Setelah Sidang Pleno Ketiga tahun 1978 menetapkan orientasi baru pembangunan ekonomi, Deng Xiaoping segera mengidentifikasi wilayah pesisir Tiongkok sebagai ujung tombak reformasi. Guangdong dan Fujian, dua provinsi yang secara geografis dekat dengan Hong Kong, Makau, dan Taiwan, dipilih menjadi ‘laboratorium ekonomi’ untuk menguji pendekatan baru: ekonomi pasar terbatas dalam bingkai kontrol negara. Langkah ini bukan semata keputusan geografis, tetapi juga politis—provinsi ini memiliki sejarah hubungan ekonomi dan sosial yang kuat dengan komunitas diaspora Tionghoa yang makmur di Asia Tenggara dan sekitarnya. Deng melihat potensi besar dalam mengundang kembali modal dan keahlian dari jaringan diaspora tersebut untuk membangun perekonomian Tiongkok.
Pada tahun 1980, Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zones / SEZs) pertama kali diluncurkan di empat wilayah: Shenzhen, Zhuhai, dan Shantou di Guangdong, serta Xiamen di Fujian. Shenzhen, yang saat itu hanya sebuah desa nelayan kecil dengan populasi sekitar 30.000 jiwa, dipilih karena kedekatannya dengan Hong Kong. Dalam waktu kurang dari satu dekade, kota ini mengalami transformasi luar biasa. Menurut data Bank Dunia dan laporan Komite Pembangunan Nasional dan Reformasi Tiongkok, Produk Domestik Bruto (PDB) Shenzhen tumbuh rata-rata 40% per tahun sepanjang awal 1980-an. Pada 1984, populasi Shenzhen melonjak menjadi lebih dari 300.000 jiwa, dan terus berkembang menjadi simbol keberhasilan reformasi ekonomi.
Zona-zona ini bukan hanya diberikan insentif fiskal seperti pembebasan pajak dan kemudahan bea masuk, tetapi juga otonomi yang lebih besar dalam mengelola investasi asing langsung (FDI). Misalnya, pada tahun 1981, sekitar 75% dari total investasi asing langsung di Tiongkok terkonsentrasi di empat SEZ tersebut. Eksperimen ini menunjukkan kepada Beijing bahwa keterbukaan ekonomi dapat berjalan paralel dengan kendali politik, selama kontrol administratif dan garis partai tetap dipertahankan secara ketat. Pemerintah pusat tetap mengawasi prosesnya melalui sistem birokrasi dan partai, memastikan bahwa keterbukaan ekonomi tidak berkembang menjadi pembangkangan politik.
Yang menarik, eksperimen di Guangdong dan Fujian juga menunjukkan munculnya dinamika baru antara pemerintah pusat dan daerah. Para pemimpin lokal seperti Xi Zhongxun (ayah dari Xi Jinping), yang menjabat sebagai sekretaris Partai di Guangdong, memainkan peran kunci dalam mendorong reformasi dan menghadapi resistensi dari pusat. Hubungan vertikal ini memberikan pelajaran penting bagi desain kebijakan reformasi Tiongkok: inovasi harus dibangun dari bawah ke atas, namun tetap dalam koridor garis besar kebijakan nasional. Inilah cikal bakal apa yang kemudian dikenal sebagai model “crossing the river by feeling the stones”—sebuah metafora Deng untuk pendekatan eksperimental dan bertahap dalam reformasi.
Dengan demikian, eksperimen di Guangdong dan Fujian antara 1979 hingga 1984 bukan hanya keberhasilan ekonomi regional, tetapi fondasi arsitektur kebijakan nasional yang menyatukan pasar dan negara, pertumbuhan dan kontrol. Model ini kemudian diperluas ke kota-kota pesisir lain seperti Shanghai dan Tianjin, dan menjadi cetak biru kebangkitan ekonomi Tiongkok dalam dekade-dekade selanjutnya.
Ketika Deng Xiaoping memulai agenda reformasi ekonomi pada akhir 1978, langkah pertama yang ia ambil bukanlah di sektor industri atau keuangan, melainkan di pedesaan—sebuah pilihan strategis yang mencerminkan kepekaan politik dan ekonominya. Pasca kegagalan sistem komune rakyat (people’s commune) selama masa Mao, terutama selama bencana ‘Great Leap Forward’ dan Revolusi Kebudayaan, desa-desa Tiongkok menghadapi stagnasi produktivitas dan kelaparan struktural. Untuk mengatasi masalah ini, Deng mendorong reformasi agraria berbasis sistem ‘household responsibility system’ (sistem tanggung jawab keluarga), di mana tanah tetap dimiliki negara, namun hak guna dan pengelolaan diberikan kepada keluarga petani secara individu.
Langkah ini dimulai secara diam-diam di desa Xiaogang, Anhui, pada tahun 1978, ketika 18 kepala keluarga secara ilegal membagi lahan kolektif dan menandatangani perjanjian rahasia untuk mengelola tanah secara mandiri. Eksperimen bawah tanah ini—yang pada awalnya bisa berujung hukuman berat—ternyata menghasilkan peningkatan produksi pertanian yang signifikan. Produksi panen nasional melonjak dari sekitar 305 juta ton pada 1978 menjadi lebih dari 400 juta ton pada 1984, menurut data dari China Statistical Yearbook. Pendapatan petani juga meningkat drastis: antara 1978 hingga 1984, rata-rata pendapatan per kapita penduduk desa naik hampir dua kali lipat.
Kebijakan ini secara resmi dilegalkan dan diperluas ke seluruh negeri pada awal 1980-an, dan dikenal luas sebagai contoh keberhasilan reformasi bertahap (gradualism). Sistem ini tidak hanya menghidupkan kembali sektor pertanian, tetapi juga menciptakan surplus ekonomi yang memungkinkan munculnya usaha-usaha kecil dan menengah di pedesaan, dikenal sebagai ‘township and village enterprises’ (TVEs). TVEs memainkan peran penting dalam industrialisasi pedesaan Tiongkok, membuka lapangan kerja, dan mendiversifikasi ekonomi lokal tanpa mengganggu dominasi negara dalam sektor-sektor strategis.
Namun, keberhasilan reformasi pedesaan juga diiringi oleh kebutuhan untuk menata kembali makroekonomi nasional. Setelah fase awal liberalisasi ekonomi yang penuh semangat, muncul tanda-tanda ketidakseimbangan struktural: inflasi mulai meningkat, pertumbuhan terlalu terfokus pada sektor konsumsi, dan defisit fiskal membengkak. Untuk itu, Deng memperkenalkan program ‘economic readjustment’ pada 1981–1982. Program ini meliputi pengendalian inflasi melalui pengetatan kredit, pengendalian harga, penataan ulang sektor industri berat yang tidak efisien, serta reformasi fiskal guna memperkuat keuangan negara. Fokus dikembalikan dari “kecepatan” ke “keseimbangan”—suatu koreksi arah yang penting untuk menjamin kesinambungan jangka panjang.
Dalam pidatonya pada tahun 1981, Deng menekankan pentingnya “melangkah dengan kaki kiri dan kanan secara seimbang”—sebuah metafora untuk menggambarkan perlunya pertumbuhan dan stabilitas berjalan beriringan. Penyesuaian ekonomi ini memperlihatkan bahwa bagi Deng, reformasi bukanlah proses linear atau ideologis, melainkan upaya adaptif dan eksperimental yang dipandu oleh prinsip pragmatisme dan kontrol negara. Pendekatan inilah yang membedakan reformasi Tiongkok dari liberalisasi radikal di negara-negara lain pada era yang sama, seperti Uni Soviet di bawah Gorbachev.
Dengan demikian, periode 1978–1982 menjadi fondasi krusial bagi kebangkitan ekonomi Tiongkok: dimulai dari desa, dibimbing oleh eksperimen mikro, dan disempurnakan melalui penyesuaian makro yang hati-hati. Deng Xiaoping tidak hanya menciptakan kebijakan ekonomi, tetapi membentuk sebuah filosofi pemerintahan yang fleksibel namun terstruktur, membuka jalan bagi reformasi tahap berikutnya yang lebih luas dan ambisius.
Memasuki pertengahan dekade 1980-an, Deng Xiaoping memanfaatkan momentum keberhasilan reformasi awal untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi dan keterbukaan ke dunia luar. Ini bukan sekadar kelanjutan, tetapi percepatan dari agenda modernisasi nasional yang lebih berani dan sistematis. Dalam Kongres Partai Komunis Tiongkok ke-12 tahun 1982, Deng secara eksplisit mengumumkan bahwa pembangunan ekonomi adalah “tugas utama Partai”, dan bahwa keterlibatan Tiongkok dalam ekonomi global bukan sebuah kompromi ideologis, melainkan strategi rasional untuk mengangkat standar hidup rakyat.
Salah satu indikator paling mencolok dari fase ini adalah lonjakan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI). Jika pada 1979 nilai FDI hanya sekitar USD 400 juta, maka angka ini melonjak menjadi lebih dari USD 3 miliar pada 1984, dan mencapai sekitar USD 11,3 miliar pada 1990 menurut data China Statistical Yearbook. Lonjakan ini didorong oleh kebijakan insentif fiskal dan regulasi yang lebih ramah investor, terutama di Zona Ekonomi Khusus (SEZs) seperti Shenzhen, Zhuhai, dan Xiamen, yang tidak hanya menarik investasi dari Hong Kong dan Taiwan, tetapi juga dari Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa Barat. SEZs menjadi etalase keterbukaan: kawasan dengan pajak rendah, sistem perburuhan yang fleksibel, dan fasilitas infrastruktur yang dikembangkan pesat.
Pemerintah juga mulai mendorong sektor swasta domestik—walau tetap dalam batas pengawasan negara. Undang-undang Perusahaan Swasta (Private Enterprise Law) yang disahkan pada tahun 1988 merupakan tonggak penting, karena untuk pertama kalinya pengusaha swasta mendapat pengakuan hukum yang lebih kuat meskipun dengan pembatasan ukuran dan ruang gerak. Seiring waktu, perusahaan-perusahaan swasta kecil dan menengah (UKM) mulai bermunculan dan menyumbang pada penciptaan lapangan kerja serta pertumbuhan produk domestik bruto non-negara.
Dalam kerangka industrialisasi, kebijakan transfer teknologi dan ‘joint venture’ menjadi tulang punggung. Perusahaan-perusahaan asing yang ingin masuk ke pasar Tiongkok diwajibkan bekerja sama dengan perusahaan lokal dalam bentuk usaha patungan (joint venture), memberikan peluang bagi transfer keahlian teknis dan manajerial. Contoh penting dari kebijakan ini adalah pendirian Shanghai Volkswagen pada 1984, kerja sama antara perusahaan Jerman dengan perusahaan otomotif Tiongkok. Skema semacam ini mempercepat modernisasi industri dalam negeri, terutama di sektor manufaktur, elektronik, dan otomotif.
Namun, sistem perencanaan ekonomi tidak dihapuskan begitu saja. Alih-alih meninggalkannya secara radikal, Deng memperlunak struktur perencanaan sentral dengan memberi ruang bagi mekanisme pasar. Ini dikenal sebagai sistem “ekonomi pasar sosialis”—sebuah sintesis yang tampaknya kontradiktif, namun dalam praktiknya menandakan bahwa perencanaan tetap dilakukan oleh negara, tetapi semakin responsif terhadap sinyal pasar. Perusahaan milik negara (SOEs) didorong untuk mencari laba, meningkatkan efisiensi, dan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada subsidi pusat. Reformasi SOEs ini dikenal sebagai sistem ‘contract responsibility’ dan ‘profit retention’, yang mengizinkan perusahaan untuk menyimpan sebagian laba mereka dan menggunakannya untuk reinvestasi.
Dalam laporan tahun 1987, Perdana Menteri Zhao Ziyang menekankan bahwa sistem perencanaan harus “mengakomodasi kebutuhan pasar, bukan mengendalikannya secara kaku”. Ini menjadi landasan bagi pendekatan “dual-track system”, di mana harga barang ditetapkan sebagian oleh pasar dan sebagian oleh negara—sebuah sistem transisi yang memungkinkan adaptasi bertahap tanpa guncangan drastis seperti yang dialami Uni Soviet saat liberalisasi ekonomi secara tiba-tiba.
Secara keseluruhan, periode 1982–1989 mencerminkan wajah baru ekonomi Tiongkok: lebih dinamis, lebih terbuka, dan semakin terintegrasi dengan pasar global, namun tetap dalam kerangka politik yang dikontrol ketat oleh negara. Deng Xiaoping, dengan gaya kepemimpinannya yang pragmatis, berhasil menavigasi antara reformasi ekonomi yang progresif dan konservatisme politik yang ketat—menciptakan model pembangunan yang unik, yang kemudian dikenal sebagai “the China model”.
Deng Xiaoping menunjukkan bahwa transformasi besar tidak selalu lahir dari gemuruh revolusi, melainkan dari langkah-langkah senyap yang penuh kalkulasi dan keberanian menabrak dogma lama. Di tangan seorang pemimpin yang piawai membaca realitas, ideologi bisa menjadi alat, bukan belenggu. Kini, saatnya Indonesia, di bawah kepemimpinan Prabowo, memasuki era baru. Kisah Deng ini menawarkan cermin sekaligus peringatan: pembangunan tanpa demokratisasi sejati berisiko melahirkan pertumbuhan tanpa keadilan, kemajuan tanpa kebebasan. Dalam gairah mengejar kemakmuran, jangan sampai kita menukar kritik publik dengan loyalitas semu, atau menggantikan keberpihakan rakyat dengan sentralisasi kuasa yang dibungkus jargon nasionalisme. Negeri ini membutuhkan pemimpin yang berani menyandingkan kekuatan rakyat dan visi strategis—tanpa mengkhianati cita-cita reformasi.
Editor: Topan Bagaskara