
Ilustrasi | Oleh: GeoTimes.id/Afthon Ilman Huda
Salah satu tujuan dari revolusi kemerdekaan Indonesia ialah untuk membebaskan rakyat Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru semakin berkembang dalam diri dan masyarakat Indonesia.
Kini kita juga rajin minta restu dari pembesar atau penguasa untuk segala rupa kegiatan. Seolah-olah kerestuan ini adalah tugas dan kewajibannya sebagai hadiah kebaikan dan kemurahan hati dari pembesar kepada rakyat.
Pemakaian kata “restu” saja sudah sangat merusak pengertian kita yang wajar mengenai hubungan antara penguasa dan rakyat dalam masyarakat demokratis yang hendak kita jalani. Dalam pemakaian bahasa Indonesia kini tercermin keengganan dan rasa takut untuk menghadapi kenyataan secara terbuka.
Hal ini kita sudah patuh pada kondisi feodal yang tidak mampu menaikkan harga diri kita sebagai rakyat, malah keadaan ini kita lebih pasrah untuk menyesuaikan harga terhadap kondisi iklim feodal. Maka dari itu, minta restu. Menyedihkan.
Kondisi ini membuat orang belajar mengatakan “tidak” dengan cara lain, sehingga kata kata tersebut diselimuti berbagai ungkapan halus yang mengubur makna sesungguhnya.
Demikian pula dengan sikap tidak setuju, atau sikap mengkritik dan mencela, semuanya diselubungi dirumuskan secara lain. Semuanya didasari oleh ketakutan dan keengganan atas masa depan dirinya dan berhentinya transaksi isi amplop.
Sikap ini juga telah mendorong terjadinya pengkhianatan intelektual di negeri kita. Banyak orang yang seharusnya bersuara justru memilih diam dan bahkan berpihak pada sistem yang tidak mereka yakini, demi mempertahankan posisi.
Artikel Lain : Gerakan Intelektual Merah Putih Desak Presiden RI Copot Erick Tohir dan Penjarakan Kroni-Kroninya