
Abdul Hakim/Dok. Pribadi.
Oleh Abdul Hakim | Pengajar Perbandingan Politik STISNU Kota Tangerang
Perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia menghadirkan ironi yang tak mudah diabaikan. Di tengah gegap gempita panggung kenegaraan, Gustika Jusuf Hatta—cucu proklamator sekaligus Wakil Presiden pertama RI, Mohammad Hatta—memilih hadir dalam kebaya hitam dan batik slobog, kain tradisional Jawa yang lazim dikenakan dalam prosesi pemakaman.
Dalam ritual tradisi, slobog melambangkan doa pelepasan dan kelapangan jalan bagi arwah; dalam ruang publik, ia hadir sebagai tanda duka. Dipindahkan ke momen perayaan kemerdekaan, kain itu bukan lagi sekadar busana: ia menjadi pernyataan politik yang menggunakan keheningan sebagai bahasa.
Gustika menyebutnya “protes diam,” dan di dalam diam itu terkandung kritik yang tidak samar—terhadap pelanggaran HAM yang tak kunjung diselesaikan, terhadap wajah negara yang kian militeristik, dan terhadap upaya merapikan sejarah agar tampak tanpa noda.
Bahkan pilihan diksi yang menyertai gestur itu tegas, menantang legitimasi moral penguasa.
Tetapi duka yang ditampilkan bukanlah bentuk keputusasaan. Ia justru dihadirkan sebagai wujud kasih pada republik—sebuah cara untuk menatap sejarah, merawat ingatan agar tak dibatalkan oleh euforia, dan menolak perayaan yang menutupi luka kolektif.
Janji Gustika untuk mempertahankan busana berkabung selama lima tahun mempertebal pesan ini: ada ritual yang ingin diciptakan, ritme ingatan yang diupayakan melawan ritme lupa. Kita menyaksikan paradoks yang kuat: ketika negara merayakan ulang tahun kemerdekaan, seorang keturunan pendiri bangsa memilih menandai hari itu dengan simbol pemakaman.
Kebaya hitam dan batik slobog pun berubah menjadi medium politik—pengingat bahwa cinta tanah air dapat tampil bukan sebagai sorak-sorai, melainkan sebagai kesediaan berkabung agar demokrasi tidak dikubur diam-diam oleh sejumlah siasat para elitenya.
Dalam perspektif perbandingan, aksi ini menautkan diri pada tradisi panjang perlawanan simbolik. Kita ingat lautan massa berpakaian hitam di Hong Kong pada 2019, ketika warna menjadi bahasa persatuan dan duka atas kebebasan yang dirasa menyempit.
Kita juga ingat revolusi tanpa pertumpahan darah di Portugal pada 1974, saat anyelir merah ditancapkan di laras senapan—bunga pasar yang sehari-hari berubah menjadi lambang transisi damai menuju demokrasi. Atau barisan sunyi dalam ‘Silent Parade 1917’ di New York, ketika komunitas Afrika-Amerika menolak rasisme melalui keheningan yang serempak.
Serupa dengan eksemplar tersebut, Gustika meminjam simbol yang akrab bagi kebudayaannya—kain pemakaman Jawa—lalu mengalihfungsikannya menjadi bahasa politik yang terbaca oleh khalayak luas.
Dimensi psikologis dari gestur semacam ini penting dicatat. Simbol bekerja karena ia berbicara kepada emosi sebelum menyentuh argumen. Hitam diterima sebagai tanda duka melampaui perdebatan; kain yang lazim hadir di ruang ritual keluarga, ketika tampil di panggung nasional, menyalakan empati sekaligus kegelisahan.
Keheningan pun memainkan peran: ketiadaan kata-kata memaksa publik bertanya, “Apa yang sedang dikabarkan?” Rasa ingin tahu itu menggeser protes dari sekadar pernyataan menuju perenungan; dari slogan menuju pengalaman afektif yang lebih dalam.
Pada titik ini, simbol menjadi alat yang sukar diberangus—bagaimana melarang duka? Bagaimana menertibkan keheningan?
Secara politis, simbol semacam itu mengganggu koreografi kekuasaan. Negara merayakan legitimasi melalui pertunjukan: parade, baliho, tata upacara yang megah. Simbol berkabung yang sederhana justru tampak lebih autentik, sehingga berpotensi merusak narasi resmi.
Ia menyusup ke memori kolektif sebagai citra yang mudah diingat—sehelai kain hitam di tengah ulang tahun merdeka. Namun di sinilah pula muncul risiko. Dalam ekologi media dan konsumsi, tanda-tanda mudah dipisahkan dari rujukannya. Simbol yang mula-mula mengirim kritik bisa berubah menjadi gaya, konten, atau tren; ia dibagikan, disukai, dilupakan—sementara persoalan yang memicunya tetap bergeming.
Kerangka semiotika membantu menjelaskan tegangan ini. Dalam istilah Roland Barthes, batik slobog yang pada tingkat pertama menandai duka, diangkat oleh Gustika ke tingkat kedua sebagai ‘myth’—sebuah cerita ideologis tentang republik yang sedang berkabung atas hilangnya keadilan dan memori sejarah.
‘Myth’ tidak berdebat; ia menaturalisasi makna. Dengan tampil konsisten, busana berkabung mengukuhkan penjelasan dunia yang berbeda dari versi resmi: bukan republik yang merayakan kemajuan, melainkan republik yang wajib mengakui luka. Namun Jean Baudrillard mengingatkan sisi gelapnya: dalam sirkulasi citra, tanda dapat meluncur menjadi ‘simulacrum’, yakni representasi yang berputar tanpa lagi merujuk realitas.
Di sini kebaya hitam berisiko direduksi menjadi “gaya eksentrik cucu proklamator,” konten visual yang memutus hubungan dengan isu HAM dan manipulasi sejarah yang hendak disasar. Kekuatan mitologis bisa habis di permukaan, sementara kedalaman makna menguap.
Lanskap Indonesia pasca-Orde Baru kerap memperburuk risiko ini. Politik ingatan (memory politics) kita ditandai tarikan antara dorongan mengungkap kebenaran dan kecenderungan menormalkan pelupaan demi stabilitas. Narasi tunggal tentang peristiwa-peristiwa kelam, rehabilitasi simbolik tokoh-tokoh otoritarian, dan penataan ulang kurikulum atau peringatan resmi sering menciptakan jarak antara pengalaman korban dan perayaan negara.
Dalam konteks seperti itu, tindakan simbolik menjadi penting sebagai ‘counter-memory’—upaya mengembalikan ingatan yang ditekan. Namun tindakan simbolik juga rentan didomestikasi: ia dipeluk oleh bahasa persatuan yang abstrak, dijadikan dekorasi, lalu dinetralkan dari daya tangkapnya terhadap kekuasaan.
Paradoks protes simbolik terletak di sini: ia tampak rapuh, tetapi justru karena rapuh ia sulit ditekan tanpa mempermalukan rezim; ia sederhana, tetapi kesederhanaannya membuatnya mudah diserap budaya populer. Bila diserap sebagai gaya, ia kehilangan taji; bila dipertahankan sebagai mitos tandingan, ia memaksa publik merumuskan ulang apa makna merdeka.
Dengan kata lain, masa depan makna aksi Gustika bergantung pada apakah masyarakat—media, kampus, komunitas seni, keluarga korban, dan institusi negara—bersedia menambatkan simbol itu pada praksis: dokumentasi kebenaran, jalur hukum yang konsisten, kurikulum yang jujur, dan situs-situs memori yang dirawat. Ketika simbol bertemu institusi, mitos memperoleh tubuh; ketika tubuh itu bekerja, politik ingatan tidak lagi bergantung pada momen viral.
Di level etika publik, gestur Gustika mengajukan pertanyaan yang tak nyaman: “Atas ingatan siapa kita merayakan kemerdekaan?” Bila jawaban yang muncul hanya daftar seremoni, simbol berkabung akan tetap menghantui—sebagai pengingat bahwa perayaan tanpa kejujuran adalah bentuk lain dari penghapusan.
Namun bila masyarakat menjadikannya titik tolak untuk menata ulang cara mengingat—melalui arsip yang terbuka, pelajaran sejarah yang tidak selektif, peringatan yang berpihak pada korban, dan proses hukum yang tidak memalingkan wajah—maka kebaya hitam dan batik slobog akan melampaui statusnya sebagai citra. Ia menjadi poros yang menyambungkan estetika dengan etika, ingatan dengan kebijakan, cinta tanah air dengan keberanian menolak lupa.
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya tafsir atas satu gestur, melainkan arah moral republik. Di tengah pesta, selembar kain duka dapat mengembalikan kita pada pertanyaan mendasar: apakah kemerdekaan yang kita rayakan masih bertumpu pada penghormatan terhadap martabat manusia, atau sekadar pada kemampuan kita memproduksi pertunjukkan?
Jika simbol itu terus dibaca sebagai ‘myth’—bukan ‘simulacrum’—maka ia akan memaksa negara dan warganya untuk memilih: merayakan sambil mengingat, atau berpesta sambil melupakan.