
Abdul Hakim/Dok. Pribadi.
Oleh Abdul Hakim | Pengajar Perbandingan Politik STISNU Kota Tangerang
Beberapa waktu lalu, layar kaca kita kembali riuh oleh sebuah tayangan dari salah satu stasiun televisi nasional—sebut saja Trans7—yang dengan enteng menampilkan sosok “kyai” dan “pesantren” dalam bingkai yang dangkal dan stereotip murahan. Sang “kyai” digambarkan sebagai figur kolot, bahkan manipulatif; pesantren dihadirkan seolah ruang gelap penuh kekuasaan spiritual yang menakutkan.
Tak ada yang salah dengan liputan itu, tentu saja—selama ia disertai pengetahuan. Tapi seperti biasa, di negeri yang terlalu sering bingung membedakan antara kritik sosial dan candaan receh, yang muncul justru bukan kritik, melainkan pengulangan prasangka lama: bahwa pesantren adalah institusi feodal berbaju agama, dan kiai hanyalah versi halus dari bangsawan lama yang menuntut ketaatan buta dari pengikutnya.
Ironinya, tayangan itu justru mengungkap ketidaktahuan mendasar tentang apa itu pesantren. Ketika kamera menyorot “kyai” sebagai penguasa kecil yang menakutkan, antropologi tersenyum getir. Sebab di balik panggung itu, ada realitas sosial yang jauh lebih kompleks dan lebih mulia: pesantren bukan ruang tirani, melainkan sistem nilai yang telah berabad-abad membentuk karakter moral masyarakat Indonesia.
Pesantren adalah laboratorium sosial yang melatih disiplin, solidaritas, dan spiritualitas; tempat di mana penghormatan lahir dari cinta, bukan dari ketakutan. Maka ketika industri hiburan memotongnya menjadi parodi, kita tidak hanya sedang menonton kebodohan yang dibungkus dengan tayangan investigasi—kita sedang menyaksikan bagaimana budaya populer sering gagal memahami kebijaksanaan tradisi.
Itulah mengapa perlu dijelaskan kembali, dengan pendekatan antropologi budaya, bahwa sistem pesantren dan sistem feodal berdiri di dua kutub yang berlawanan secara moral dan epistemologis. Pesantren mengajarkan ilmu dan adab, feodalisme menanamkan kekuasaan dan ketundukan.
Satu membentuk manusia yang merdeka secara spiritual, satu lagi membentuk manusia yang patuh secara struktural.
Untuk memahami perbedaan itu, mari kita lepaskan sejenak kacamata sinetron dan iklan sabun, lalu melihat pesantren sebagaimana adanya—melalui lensa budaya, tradisi, dan spiritualitas Timur yang dalam.
Pesantren dan Feodalisme: Sistem Nilai, Kekuasaan, dan Spiritualitas
Dalam antropologi budaya, lembaga pendidikan tidak hanya dilihat sebagai tempat mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai arena pembentukan makna, nilai, dan struktur sosial. Dalam konteks Indonesia, sistem pesantren memegang posisi unik karena memadukan fungsi pendidikan, pembinaan moral, dan reproduksi tradisi Islam Nusantara.
Feodalisme dan pesantren adalah dua sistem sosial yang pada permukaannya sama-sama memiliki hierarki, tetapi secara substansial berakar pada nilai dan tujuan yang sangat berbeda. Sistem pesantren berlandaskan nilai agama, adab, dan spiritualitas, sedangkan feodalisme bertumpu pada kekuasaan dan status sosial. Jika dibaca dengan kacamata antropologi budaya, keduanya mewakili refleksi atas dua cara pandang tentang manusia, kekuasaan, dan hubungan sosial di dunia Timur.
Pesantren, dalam sejarah antropologi Islam Nusantara, bukan hanya lembaga pendidikan keagamaan, tetapi juga representasi dari sistem nilai komunal yang berakar dalam budaya agraris dan sufistik. Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) mengamati bahwa pesantren memainkan peran sentral dalam menjaga moralitas kolektif masyarakat Jawa dan menjadi penghubung antara dunia spiritual dan dunia sosial.
Dalam istilah antropologi, pesantren dapat disebut sebagai moral community—sebuah komunitas yang dibangun atas dasar nilai spiritual bersama yang menuntun perilaku sosial para anggotanya. Hubungan antara kiai dan santri dalam pesantren bukan hubungan hierarkis dalam arti kekuasaan, melainkan hubungan karismatik-pedagogis yang berakar pada penghormatan terhadap ilmu dan akhlak.
Perbedaan ini menegaskan bahwa dasar hubungan dalam sistem pesantren adalah nilai agama dan adab, bukan kekuasaan dan status sosial. Dalam budaya pesantren, penghormatan kepada kiai muncul dari keikhlasan dan keyakinan bahwa ilmu adalah pancaran berkah ilahi.
Hal ini berbeda secara fundamental dengan sistem feodal, di mana kedudukan sosial didasarkan pada warisan dan kepemilikan. Antropolog akan menyebut pesantren sebagai sistem berbasis ascribed charisma—karisma yang diakui karena kualitas spiritual dan moral seseorang, bukan karena keturunan atau kekayaan.
Feodalisme dan Struktur Kekuasaan Tradisional
Sementara itu, feodalisme sebagai sistem sosial-politik berakar pada struktur hierarkis yang menekankan kepatuhan vertikal dan stabilitas status sosial. Dalam sistem ini, otoritas ditentukan oleh warisan, dan hubungan sosial diatur melalui rasa takut atau keterpaksaan.
Dari kacamata antropologi politik, feodalisme berfungsi mempertahankan tatanan sosial yang statis dan menjustifikasi ketimpangan melalui simbol-simbol budaya seperti gelar, pakaian, dan ritual penghormatan kepada penguasa.
Feodalisme Jepang (zaman Tokugawa), misalnya, menampilkan pola serupa dengan sistem feodal Eropa, di mana kesetiaan dan ketertiban dipertahankan melalui ketakutan dan loyalitas kepada tuan tanah atau daimyo. Perbandingan dengan pesantren memperlihatkan perbedaan epistemologis: feodalisme berpusat pada penguasaan manusia atas manusia, sedangkan pesantren berpusat pada pembimbingan manusia menuju Tuhan.
Dalam feodalisme, kepatuhan adalah alat kontrol; dalam pesantren, ketaatan adalah bentuk kesadaran spiritual. Ini adalah pergeseran paradigma yang mendasar dalam antropologi nilai—dari struktur dominasi menuju struktur pembinaan moral.
Kiai dalam sistem pesantren dan tuan dalam sistem feodal sama-sama menempati posisi tertinggi dalam hierarki sosial. Namun, sumber otoritas mereka sangat berbeda. Dalam antropologi agama, kiai memperoleh legitimasi melalui ilmu (’ilm), barakah, dan keteladanan moral, sedangkan tuan feodal memperoleh legitimasi melalui kekuasaan ekonomi dan keturunan.
Hal ini sejalan dengan tipologi otoritas Weberian—otoritas karismatik dalam pesantren versus otoritas tradisional dalam feodalisme. Kiai dihormati karena ia dianggap sebagai penjaga ilmu dan moralitas, bukan karena kekuasaan material. Dalam praktiknya, banyak kiai hidup sederhana dan menolak kultus individu yang berlebihan. Otoritasnya tumbuh dari pengakuan masyarakat terhadap ilmu dan kesalehannya.
Ini mengingatkan pada tradisi gurukula di India kuno, di mana murid-murid tinggal bersama guru dalam kehidupan yang asketis dan penuh pengabdian, bukan karena paksaan, tetapi karena dorongan spiritual untuk memperoleh jnana (pengetahuan sejati). Pola serupa juga ditemukan dalam tradisi monastik Buddhis, di mana biksu senior dihormati karena kebijaksanaan dan kedalaman meditasi, bukan karena kekuasaan sosial.
Ketaatan sebagai Kesadaran Spiritual
Salah satu aspek paling menarik dari perbandingan ini adalah perbedaan landasan ketaatan. Dalam pesantren, ketaatan didasari oleh keikhlasan dan kesadaran spiritual, sedangkan dalam feodalisme didasari oleh rasa takut atau keterpaksaan.
Antropologi moral menilai bahwa dalam masyarakat pesantren, ketaatan bukan sekadar mekanisme disiplin sosial, melainkan praktik etis yang mencerminkan hubungan antara manusia dan Tuhan (’ubudiyyah). Ketaatan santri kepada kiai adalah cermin dari ketaatan kepada Allah, karena kiai dipandang sebagai perantara ilmu ilahi. Dalam terminologi sufisme, hubungan ini disebut rabithah, yaitu keterikatan hati antara murid dan guru yang menuntun kepada penyucian jiwa.
Sebaliknya, ketaatan dalam feodalisme berfungsi menjaga tatanan sosial yang hierarkis dan eksploitatif. Dalam sistem seperti ini, manusia patuh bukan karena cinta atau hormat, tetapi karena takut kehilangan posisi, harta, atau keselamatan. Antropologi kekuasaan memandang feodalisme sebagai sistem yang memproduksi hegemonic obedience—ketaatan yang lahir dari internalisasi ketakutan.
Dalam pesantren, yang muncul adalah devotional obedience—ketaatan yang lahir dari cinta dan kesadaran. Ini adalah dua bentuk relasi kekuasaan yang sama sekali berbeda dalam dasar moral dan fungsi sosialnya.
Gotong Royong dan Solidaritas Komunal
Bagian selanjutnya kita dapat juga menyoroti perbedaan dalam kegiatan sosial. Dalam pesantren, gotong royong dilakukan secara sukarela dan mendidik, sedangkan dalam feodalisme, kerja dilakukan untuk kepentingan penguasa. Perspektif antropologi ekonomi moral (moral economy) ala James C. Scott menjelaskan bahwa gotong royong dalam pesantren merepresentasikan sistem ekonomi berbasis solidaritas (solidarity economy), bukan eksploitasi.
Santri bekerja bersama bukan demi keuntungan material, tetapi untuk menanamkan nilai kebersamaan dan tanggung jawab moral. Prinsip ini memiliki kesamaan dengan tradisi Buddhis di Asia Timur, di mana kerja kolektif di vihara dipandang sebagai bentuk meditasi sosial—menyapu halaman kuil atau memasak bersama menjadi praktik spiritual untuk melatih kesadaran dan kerendahan hati.
Dalam pesantren, kerja sosial seperti membersihkan halaman, membantu masyarakat sekitar, atau memperbaiki fasilitas umum, dianggap bagian dari ibadah. Nilai yang lahir adalah kesetaraan dan kesadaran kolektif bahwa setiap individu berkontribusi untuk kebaikan bersama. Ini berbeda secara fundamental dari kerja dalam sistem feodal yang berorientasi pada keuntungan penguasa.
Mobilitas Sosial dan Demokratisasi Pengetahuan
Aspek mobilitas sosial dalam perbandingan ini juga sangat penting. Dalam pesantren, santri biasa dapat menjadi kiai besar, sedangkan dalam feodalisme, status sosial ditentukan oleh keturunan. Antropologi pendidikan memandang hal ini sebagai bentuk demokratisasi spiritual dan intelektual. Pesantren membuka ruang meritokrasi berbasis ilmu dan akhlak. Seorang santri yang tekun, meskipun berasal dari keluarga miskin, dapat naik derajat melalui proses belajar, pengabdian, dan kesalehan.
Fenomena ini memiliki paralel kuat dengan tradisi Konfusianisme di Tiongkok, di mana sistem ujian kenegaraan (keju) memberi kesempatan kepada siapa pun untuk menjadi pejabat berdasarkan kemampuan, bukan asal-usul keluarga. Pesantren dan sistem Konfusian ini sama-sama menolak feodalisme dalam bentuk paling dasarnya: penentuan status berdasarkan darah.
Keduanya menegaskan nilai moral dan pengetahuan sebagai sumber legitimasi sosial. Namun, pesantren menambahkan dimensi spiritual—bahwa ilmu tidak hanya alat untuk kemajuan sosial, tetapi juga jalan menuju ridha Allah.
Perbedaan lain yang dapat ditegaskan adalah soal perbedaan pendapat. Dalam sistem pesantren, perbedaan diterima dan dibahas dalam forum ilmiah seperti bahtsul masail. Tradisi ini menunjukkan bahwa pesantren mengandung unsur deliberatif dan intelektual yang tinggi. Antropologi pengetahuan akan menyebutnya sebagai epistemic pluralism—pengakuan terhadap keberagaman cara berpikir dalam bingkai keilmuan Islam.
Forum bahtsul masail mencerminkan semangat ijtihad kolektif, di mana argumentasi didasarkan pada nash, logika, dan etika. Ini berbeda jauh dari sistem feodal yang menolak perbedaan pendapat demi stabilitas kekuasaan.
Jika dilihat secara komparatif, tradisi diskursif dalam pesantren memiliki kesamaan dengan debate culture dalam biara Buddhis Tibet, atau shastrartha dalam filsafat India kuno, di mana perdebatan intelektual dianggap sebagai bentuk ibadah intelektual. Semua tradisi ini memandang kebenaran sebagai sesuatu yang lahir dari dialog, bukan dogma kekuasaan.
Pesantren dengan demikian menampilkan wajah Islam Nusantara yang rasional sekaligus spiritual, terbuka terhadap perbedaan dalam bingkai adab.
Spiritualitas versus Kekuasaan
Di lain pihak, tujuan akhir kedua sistem sangat berbeda. Sistem pesantren bertujuan mencari keberkahan, ilmu, dan ridha Allah, sedangkan sistem feodal bertujuan mempertahankan kekuasaan dan hierarki sosial. Dalam perspektif antropologi simbolik, tujuan akhir ini menentukan seluruh struktur makna sistem sosial. Pesantren mengarahkan manusia ke transendensi, sementara feodalisme memenjarakannya dalam immanensi kekuasaan.
Tujuan spiritual ini menjadikan pesantren sebagai counter-culture terhadap logika feodal. Di tengah masyarakat yang masih mengenal patronase dan hierarki sosial, pesantren menjadi ruang alternatif bagi transformasi sosial berbasis nilai moral. Para antropolog menyebut hal ini sebagai moral resistance—perlawanan terhadap sistem dominasi melalui praktik etis dan pendidikan
Jika dilihat lebih luas, pesantren bukan entitas yang terisolasi. Ia merupakan bagian dari tradisi panjang lembaga pembelajaran spiritual di dunia Timur. Dari gurukula di India, vihara di Asia Timur, hingga madrasah di dunia Islam klasik, semuanya berbagi kesamaan dalam nilai-nilai dasar: penghormatan kepada guru, kehidupan sederhana, kedisiplinan spiritual, dan pencarian pengetahuan sejati.
Dunia Timur pada umumnya menempatkan guru sebagai figur moral yang membimbing murid dalam perjalanan eksistensial, bukan sekadar intelektual. Hubungan antara guru dan murid bukan hubungan kontraktual, melainkan relasi jiwa yang berlandaskan kasih dan keikhlasan.
Namun, pesantren memiliki kekhasan karena ia menggabungkan tiga lapis tradisi: sufisme Islam, budaya agraris Nusantara, dan etika komunal Asia. Dari sufisme, pesantren mewarisi konsep murshid-murid dan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Dari budaya agraris, ia menyerap semangat gotong royong dan egalitarianisme desa.
Dari etika Asia, ia mempertahankan penghormatan kepada guru dan tata krama sosial. Sintesis inilah yang membuat pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi sistem budaya yang hidup dan terus beradaptasi dengan perubahan zaman.
Dalam pandangan antropologi budaya, perbandingan antara sistem pesantren dan sistem feodal bukan hanya tentang siapa lebih baik, tetapi tentang dua paradigma kebudayaan yang berbeda dalam memahami manusia dan kekuasaan.
Feodalisme membangun tatanan sosial dengan memusatkan kekuasaan dan memenjarakan manusia dalam hierarki. Pesantren membangun tatanan sosial melalui pendidikan, spiritualitas, dan adab. Feodalisme menumbuhkan ketakutan, pesantren menumbuhkan kesadaran. Feodalisme melestarikan kekuasaan, pesantren menumbuhkan kebijaksanaan.
Dengan demikian, sistem pesantren dapat dibaca sebagai model peradaban moral di dunia Timur—sebuah sistem yang mengajarkan bahwa kekuasaan sejati bukanlah dominasi atas orang lain, tetapi penguasaan atas diri sendiri.
Dalam dunia yang semakin pragmatis dan materialistik, nilai-nilai pesantren menghadirkan alternatif etika: bahwa pengetahuan tanpa adab adalah kegelapan, dan ketaatan tanpa keikhlasan adalah kehampaan. Melalui pandangan antropologis, pesantren adalah cermin kebudayaan Timur yang menolak feodalisme bukan dengan revolusi kekerasan, tetapi dengan revolusi moral dan spiritual.
Editor: Topan Bagaskara