
Keberadaan grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah”—yang kemudian berganti nama menjadi “Suka Duka”—mengundang kecaman luas dari masyarakat. Grup ini diketahui memuat konten berisi fantasi seksual terhadap anggota keluarga sendiri, sebuah bentuk penyimpangan ekstrem yang tidak hanya melanggar norma sosial dan agama, tetapi juga menabrak batas hukum yang berlaku. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis moral serius di ruang digital yang semakin tak terkendali.
Pengamat digital Ginanjar Putro Wicaksono mengungkapkan bahwa eksistensi grup tersebut bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan mencerminkan pembiaran terhadap perilaku menyimpang yang berbahaya. Menurutnya, konten seperti ini berpotensi membentuk opini sosial yang destruktif jika tidak segera ditangani secara tegas. Ia menekankan pentingnya tanggung jawab kolektif untuk menjaga ruang digital tetap sehat dan aman bagi semua kalangan.
“Ini bukan semata konten menyimpang, tapi perlawanan terhadap nilai kemanusiaan yang kita junjung. Jika dibiarkan, kita sedang menyemai bibit kekerasan seksual dalam ruang yang mestinya aman, ruang ‘keluarga’,” ujar Ginanjar, menyoroti bahaya tersembunyi di balik narasi yang tampaknya tidak serius namun sangat merusak.
Ginanjar juga menyoroti lemahnya peran Meta/Facebook dalam melakukan pengawasan terhadap konten dan komunitas yang menyimpang. Ia menilai bahwa algoritma Facebook lebih responsif terhadap kebutuhan iklan daripada mengidentifikasi ancaman moral yang nyata. Kelemahan dalam moderasi ini dianggap sebagai bentuk kelalaian yang membahayakan pengguna, terutama kelompok rentan.
“Saat algoritma lebih cepat membaca iklan ketimbang ancaman moral, maka sudah saatnya kita bertanya, siapa yang mengendalikan etika di dunia digital?” tegasnya. Pernyataan ini menggambarkan kekecewaan yang dalam terhadap sistem moderasi konten yang tidak mampu memfilter konten berbahaya secara efektif, khususnya di Indonesia.
Dari sudut pandang hak asasi manusia, Ginanjar menekankan bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh menjadi dalih untuk membiarkan narasi yang merusak nilai perlindungan terhadap anak dan perempuan. Ia menolak keras segala bentuk konten yang menyamarkan kekerasan seksual sebagai bagian dari fantasi atau kebebasan pribadi. Menurutnya, perlindungan terhadap korban jauh lebih penting dibandingkan toleransi terhadap ekspresi yang membahayakan.
“HAM tidak boleh jadi tameng untuk membiarkan narasi yang membahayakan hak anak, perempuan, dan seluruh individu yang berhak atas perlindungan dari kekerasan seksual,” katanya. Ginanjar menegaskan bahwa prinsip HAM harus ditempatkan pada keberpihakan terhadap korban, bukan pelaku kekerasan yang bersembunyi di balik dalih kebebasan digital.
Ia juga menggarisbawahi dampak psikososial dari keberadaan grup-grup seperti ini, terutama terhadap mereka yang pernah mengalami trauma kekerasan seksual atau inses. Eksistensi komunitas semacam itu bisa memicu luka lama, menciptakan rasa tidak aman, serta merusak persepsi masyarakat terhadap makna relasi keluarga. Trauma psikologis ini tidak bisa dianggap remeh dalam konteks kesehatan mental masyarakat luas.
Merespons situasi ini, Ginanjar menyerukan langkah konkret dari berbagai pemangku kepentingan. Ia menuntut agar Facebook Indonesia segera menutup grup “Fantasi Sedarah” dan akun-akun serupa yang menyebarkan konten menyimpang. Selain itu, ia mendorong Kementerian Komunikasi Digital (Kemenkomdigi) untuk melakukan investigasi digital dan menindak tegas pelaku yang terlibat dalam produksi maupun penyebaran konten tersebut.
Tidak hanya itu, ia juga mengajak lembaga pendidikan, tokoh agama, serta masyarakat sipil untuk aktif membangun kesadaran kolektif melalui edukasi seksual yang berbasis nilai dan literasi digital yang etis. Menurutnya, tanggung jawab ini tidak bisa hanya dibebankan pada negara atau platform digital semata, tetapi menjadi tugas bersama untuk menjaga arah moral di era digital.
Ginanjar menegaskan bahwa fenomena ini bukan sekadar soal satu grup Facebook, melainkan sinyal keras bahwa ruang digital kita sedang mengalami krisis nilai. Jika dibiarkan tanpa intervensi, penyimpangan bukan hanya akan dinormalisasi, tetapi juga diwariskan lintas generasi. Hal ini menjadi tantangan besar bagi bangsa dalam menjaga moralitas publik di tengah perkembangan teknologi.
“Tugas kita bukan sekadar melawan grupnya, tapi membentengi masyarakat dari ideologi menyimpang yang menggerogoti dari dalam,” pungkasnya. Pernyataan ini menjadi penutup sekaligus peringatan bahwa perjuangan menjaga etika digital tidak boleh berhenti hanya pada satu kasus, tetapi harus menjadi gerakan berkelanjutan demi masa depan yang sehat dan beradab.