
Pengajar Studi Perbandingan Politik STISNU Nusantara Tangerang, Abdul Hakim. | Foto: Pribadi.
TANGERANG, PUSATBERITA – Poster bertuliskan sertifikat penghargaan kepada Sachrudin – Maryono bertebaran diberbagai titik sentral di Kota Tangerang seperti halte, kampus hingga kawasan Pusat Pemerintahan pada Minggu, 1 Juni 2025.
Sertifikat tersebut tertanda berasal dari Suara Sipil untuk mengkritik kinerja pemerintah Kota Tangerang dalam 100 hari menjabat Sachrudin – Maryono sejak dilantiknya 20 Februari 2025.
Menanggapi hal tersebut, Pengajar Studi Perbandingan Politik STISNU Nusantara Tangerang, Abdul Hakim berpendapat bahwa poster yang menyebar di Kota Tangerang, mengkritik kinerja Sachrudin-Maryono, menarik dilihat melalui lensa ‘new social movement’.
“Gerakan sosial baru tidak lagi berfokus pada isu ekonomi klasik seperti upah buruh, melainkan pada kritik terhadap ‘governance’, identitas kultural, dan partisipasi publik,” ucap Abdul Hakim saat diwawancarai, Minggu (1/6) 2025.
Terlihat poster tertempel pada tiang listrik di wilayah kecamatan Tangerang. | Foto: istimewa.
Menurut Hakim, poster ini mendekonstruksi legitimasi kekuasaan, sambil menyoroti isu non-material seperti kebudayaan yang terabaikan dan pembodohan publik melalui program ‘on-the-job training’.
Kritik ini tidak hanya menuntut kebijakan yang lebih substantif, kata Hakim, tetapi juga menantang gaya kepemimpinan yang dianggap terjebak dalam formalitas tanpa solusi konkret.
Hakim meneruskan bahwa poster yang menyebar di Kota Tangerang yang menyematkan ‘penghargaan’ ironis seperti ‘Juara 1 Pemimpin Gemar Seremonial’—bukan sekadar satire, melainkan cermin kekecewaan warga terhadap janji kampanye yang belum terartikulasi dalam 100 hari pertama kepemimpinan Sachrudin-Maryono.
“Gerakan sipil di balik kritik ini sesungguhnya sedang melakukan ‘accountability tracking’: mengingatkan publik bahwa program 3G (Gampang Kerja, Gampang Sekolah, Gampang Sembako) yang dijanjikan dalam kampanye justru menuai tiga masalah: ketimpangan akses, minimnya inovasi, dan pendekatan yang teknokratik tanpa empati sosial,” tambahnya
Abdul Hakim juga menyoroti pada masa kampanye, duet (Sachrudin-Maryono) ini menjanjikan efisiensi birokrasi dan pemerataan layanan, tetapi poster menyoroti bagaimana ‘Gampang Sekolah’ justru mengabaikan kesejahteraan guru, sementara ‘Gampang Sembako’ tidak menyentuh akar mahalnya harga pangan.
“Kritik terhadap ‘on-the-job training’ yang disebut proyek pembodohan publik juga menarik: program ini dianggap sekadar lip service, alih-alih solusi struktural untuk pengangguran. Gerakan sipil di sini bertindak sebagai ‘watchdog’ yang memaksa pemerintah mengingat bahwa janji kampanye bukanlah slogan, melainkan kontrak sosial,” tegas Hakim ketika menguliti janji kampanye Sachrudin-Maryono.m
Selanjutnya, Hakim mengingatkan yakni poster ini adalah alarm, yang artinya jika pemerintah hanya berpuas diri dengan seremonial dan jargon, sementara masalah warga diabaikan, gerakan sipil tidak akan berhenti pada selebaran—ia bisa berkembang menjadi resistensi yang lebih masif. Tantangan bagi Sachrudin-Maryono bukanlah menghapus poster, melainkan membuktikan bahwa 3G bukanlah tiga huruf kosong.
Artikel Lain: Bau Busuk Akibat Tumpukan Sampah di Trotoar JLS Cilegon