Sekretaris Umum PW PII Jawa Barat, Atqiya Fadhil Rahman
BANDUNG, PUSATBERITA – Pimpinan Wilayah (PW) Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat menyampaikan keprihatinan mendalam atas tragedi keracunan massal yang menimpa lebih dari 200 siswa dan guru di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, usai mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada Selasa, 29/10/2025.
Sekretaris Umum PW PII Jawa Barat, Atqiya Fadhil Rahman, menilai insiden tersebut bukan sekadar kecelakaan tunggal, melainkan puncak dari kegagalan sistemik dan pengabaian standar yang telah berlangsung lama. Menurutnya, temuan di lapangan menunjukkan adanya kejanggalan serius antara mandat regulasi program dengan implementasinya.
Berdasarkan analisis terhadap Keputusan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nomor 244 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Program MBG, serta laporan investigasi kasus keracunan di Lembang, PW PII Jawa Barat menemukan sejumlah kontradiksi fatal, di antaranya:
1. Kontradiksi Sertifikasi Higiene (SLHS)
Juknis MBG mewajibkan setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) sebagai syarat operasional. Namun, laporan investigasi mengungkap sebagian besar SPPG, termasuk di Kabupaten Bandung Barat, beroperasi tanpa sertifikat tersebut. Data nasional menunjukkan hanya sekitar 690 dari lebih 13.000 SPPG yang telah tersertifikasi.
2. Kontradiksi Keamanan Pangan (Waktu Masak)
Juknis menegaskan makanan yang telah dimasak harus dikonsumsi dalam waktu maksimal empat jam. Namun, di lapangan ditemukan adanya jeda 9–11 jam antara proses memasak dan penyajian, yang menyebabkan berkembangnya bakteri Salmonella dan Bacillus cereus—penyebab utama keracunan.
3. Kontradiksi Pengawasan (Kegagalan di Zona KLB)
Meskipun Juknis MBG memiliki bab khusus mengenai pemantauan dan sanksi, tragedi di Lembang justru terjadi di wilayah yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai zona Kejadian Luar Biasa (KLB). Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan dari BGN gagal berjalan.
“Ini bukan sekadar kecelakaan, ini adalah kelalaian sistemik yang membahayakan nyawa pelajar,” tegas Atqiya Fadhil Rahman.
“Aturan dalam SK 244 sudah jelas menuntut standar keamanan pangan, tapi ribuan dapur beroperasi tanpa sertifikasi laik higiene dan mengabaikan batas waktu aman konsumsi. Ini adalah kejanggalan fundamental.”
Program MBG yang sejatinya bertujuan mulia untuk meningkatkan gizi pelajar kini dinilai ternodai oleh implementasi yang serampangan dan lemahnya pengawasan. Tragedi di Lembang, serta kasus serupa di Cipongkor, Cihampelas, dan Cisarua, memperlihatkan bahwa pengawasan internal pemerintah tidak cukup.
PW PII Jawa Barat menyatakan tiga sikap tegas sebagai berikut:
1. Menuntut BGN dan Pemerintah Kabupaten Bandung Barat bertanggung jawab penuh atas kelalaian yang terjadi serta melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh SPPG.
2. Mendesak agar program MBG tidak hanya menekankan aspek kuantitas dan target distribusi, tetapi juga mengutamakan keamanan dan kualitas makanan bagi pelajar.
3. Menyerukan keterlibatan publik dan organisasi masyarakat sipil dalam mekanisme pengawasan dan evaluasi pelaksanaan MBG.
“Pelajar adalah penerima manfaat langsung dari program ini. Kami tidak bisa hanya menjadi objek pasif,” ujar Atqiya. “Kami menuntut ruang bagi organisasi pelajar seperti PII untuk terlibat aktif dalam pemantauan di lapangan. Kepercayaan publik, terutama dari orang tua dan siswa, hanya bisa dipulihkan melalui transparansi dan akuntabilitas nyata.”
