
Forum Dialektika Sinusa (FODIS) bertempat di Bengkel Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Nahdlatul Ulama | Foto: Topan Bagaskara
PUSATBERITA – Seni sebagai penciptaan karya manusia akan abadi apabila tidak hanya “bertujuan” pada kemanusiaan saja, tetapi juga “caranya” kemanusiaan dicerminkan. Inilah makna mendalam dari Pancasila sebagai landas demokrasi yang secara prinsip kita perjuangkan.
Sebetulnya kita sama-sama sudah mengenal keseniaan, akan tetapi tidak semua orang dapat memahami kenaoa kita harus berkesenian. Itulah esensi yang harus kita cari dan perjuangan bersama, sehingga kesadaran hal-ihwal kehidupan tidak terlepas bahkan berkelindan pada apa yang dinamakan kesenian.
Jika ada pertanyaan apa gunanya puisi pada dunia yang telah dikepung dengan pariwisata teknologi ini? Tentu pertanyaan ini tidak cukup terjawab hanya dengan spekulasi dogmatis belaka.
Sebagai seorang yang berkesenian, tentu ada kalanya kita berkonfrontasi dengan kuriositas ‘ada-ketidakadanya’ kolerasi antara puisi dan kehidupan. Pada situasi tersebut, kita perlu memaksakan kehendak pikiran untuk menyelam lebih jeluk dan mencari tahu keterletakan kedua variabel itu.
Jika alasannya yakni keberadaan puisi adalah juru rawat kewarasan, itu berarti kita menemukan sebuah hipotesis bahwa puisi adalah energi purba yang diciptakan oleh peradaban ketika situasi manusia sudah tak lagi mampu menerangkan sesuatu rasa dalam dirinya.
Sebagian banyak mengatakan bahwa puisi adalah sesuatu yang kurang penting dan mempelajari puisi adalah mempelajari sesuatu yang kurang menghasilkan.
Memang, puisi tidak menjanjikan kesuksesan di dalamnya. Kehedonisan dalam puisi bukan menjadi tujuan. Dalam berkehidupan puisi juga tidak menawarkan ilmu praktis di dalamnya.
Puisi berupaya sebagai representasi jiwa manusia untuk memahami jiwa lain dan mengajak otak dan hati untuk terus berbicara. Ialah puisi yang menawarkan ilmu kebudiluhuran, ilmu humaniora, dan ilmu tentang kemanusiaan. Dengan begitu, puisi memang memiliki jalan sendiri dalam hal fungsinya sebagai karya yang estetis dan tidak berbicara tentang roman picisan.
Bahkan puisi, ketika asal-usul dan perhatiannya agak filosofis — ia tidak bertujuan untuk menetapkan kebenaran berbagai cara berpikir tentang diri atau waktu atau dunia, melainkan untuk menghuni cara pandang yang berbeda terhadapnya, atau menciptakan dimensi baru yang terkadang terkandung nilai utopia.
Dalam ranah interaksi sosial, puisi adalah pakaian hari-hari untuk membedakan manusia dengan binatang, dan kehidupan bagaikan buku yang berkisah tentang hal-ihwal manifesto kebudayaan.
Berbicara kebudayaan, saya meminjam perkataan dari Wiratmo Soekito mengenai kebudayaan, kebudayaan sebagai pernyataan hidup manusia mempunyai tendensi-tendensi ‘universal’ dalam arti bahwa kebudayaan itu bukan hanya untuk satu bangsa saja tetapi untuk semua bangsa dan di samping itu bukan hanya untuk satu angkatan saja tetapi untuk semua angkatan.
kita upayakan penyadaran bahwa puisi dan kehidupan memiliki kedekatan yang pasti. Dan puisi ialah hidup dan tumbuh di wilayah sastra. Sastra yang sudah membuktikan sejarahnya dengan menjelma sebagai alat dialog —yang adalah jiwa demokrasi. Sebuah pertentangan keterkaitan ideologis atau yang lainnya dapat diselesaikan dengan berdialog.
Artikel Lain : SINUSA buat Pagelaran Kesenian Harus Terus Ditumbuhkan