
Kondisi Pemukiman warga Kampung Dadap Sawa di belakang Masjid Fathur Rohman | Dokumentasi: Devis Mamesah
Jalan sempit dua arah yang ditemani sungai keruh tempat mencuci dan terkadang buang air, mereka adalah sebagian masyarakat yang selamat dari pengusuran untuk pelebaran Jalan Raya Perimeter Utara, mencari nafkah dengan membangun usaha warung kopi dan makanan ringan.
Semua tampak biasa saja bagi karyawan yang lalu-lalang masuk ke “gerbang Indonesia” – Bandara Sukarno-Hatta (Sutta), tampak biasa juga di mata pemuda-pemudi yang bekerja sebagai buruh di kawasan pabrik Kosambi-Dadap. Mungkin jadi kehidupan yang tidak biasa jika digeser ke kawasan elit Pantai Indah Kapuk 2 (PIK) disepanjang pesisir pantai Tangerang Utara.
Hanya dua kecamatan Teluknaga dan Kosambi, namun serasa punya kas bahasa sendiri oleh masyarakat Kota Tangerang dan Jakarta Barat di batas Timur. Air bersih yang sulit jadi sumber penghasilan bagi beberapa masyarakat, sebagian berhenti akibat kekeringan yang melanda (2017-2023).
Tambak pemancingan yang terbentang sepanjang Jalan Pipa Kosambi, kini menjadi gedung-gedung apartemen, hotel, rumah mewah, dan jalan besar, sekarang daerah itu oleh warga sekitar disebut “Tokyo”. Disana terdapat patung Sukarno dan Hatta, berdiri diatas lahan yang dulunya kosong – tak bermanfaat, sehingga jadi alasan untuk ditukarkan paksa dengan masyarakat.
Dua Kecamatan itu terhampit juga dengan kemegahan Bandara Sutta, mulai dirancang tahun 1975 oleh arsitek Prancis, Paul Andreu, perancang yang sama untuk Bandara Charles de Gaulle (bandara utama Prancis) di Paris. Bandara Sutta pun mulai beroperasi pada 1 Mei 1985.
Begitu strategis Pemerintahan era Soeharto yang dibantu Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) memilih daerah Cengkareng dekat Muara Kali Dadap sebagai bandara, dengan pertimbangan “perluasan daerah Jakarta” jika diperlukan.
PIK 2: Tambak Pemancingan jadi Metropolitan
Sebelum kesana, kita bersihkan dulu dari tumpang tindih informasi yang beredar. Empang yang diubah menjadi kawasan urban ini, meski izin perencanaan diklaim sudah ada sejak 2009, pengurukannya baru dimulai akhir tahun 2019 dan masih hingga saat ini.
Namun, banyak yang “tidak melihat” tindakan premanisme terjadi sejak 2014 yang merampas empang-empang masyarakat. Dilakukan dengan “pagar seng bertuliskan ‘tanah ini dikuasai Hercules’ mengelilingi empang-empang dan dipaksa untuk dijual – saat itu kita bertanya dijual pada siapa?” ungkap Noni [nama disamarkan], seorang ibu pemilik warung es dipinggiran Desa Lemo berbatasan dengan PIK, (15/1).
Banyak pejabat yang seakan tutup mata pada persoalan ini, termasuk Ketua DPD Partai Golkar Provinsi DKI Jakarta, Ahmed Zaki Iskandar yang saat itu menjabat Bupati Tangerang [2013-2023], dan Ketua DPRD Kabupaten Tangerang [2019-2024] dari fraksi PDIP, Kholid Ismail.
Para ormas (organisasi masyarakat) dan pemuda bukan tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi lebih memilih mengorbankan kesetiaan kepada masyarakat demi “uang sepeser” hasil pungli (pungutan liar). Tanpa diberitahu bakal sebesar apa PIK itu nanti, tanpa tahu untuk apa kawasan mewah itu dipayungi Pemerintahan Jokowi dengan “Proyek Strategis Nasional” (PSN).
Selain merampas, pembangunan kawasan elit ini juga menuai banyak korban, seperti truk tanah liar melintar diluar jam operasi (20.00-05.00) dan membahayakan pemotor di sepanjang jalan raya yang “ingin mereka lalui”, dari Tangerang Selatan-Kota-Kabupaten. Belum lagi galian C ilegal di Bogor dan Karawang yang jadi sumber tanah untuk penimbunan empang hasil rampasan.
Mungkin cukup 5 menit Kholid Ismail melangkah kedepan jalan raya dari kediamannya, untuk melihat lalu-lalang truk tanah diluar jam operasi pada siang hari, melerai pungli pada malam hari, atau memperhatikan kemahiran pemotor menghindari jalan yang pecah dan berlubang – Kholid Ismail, sebagai Ketua DPRD saat itu punya kuasa lebih dari sekedar melihat dan memperhatikan.
Jalan Raya Kampung Melayu menjadi satu-satunya penghubung bagi 284 ribu penduduk di Teluknaga-Kosambi menuju Kota Tangerang, atau mungkin ratusan masyarakat dari 1.9 juta penduduk Kota Tangerang yang ingin rekreasi ke Pantai Tanjung Pasir, salah satu Desa di Teluknaga. Belum selesai sengketa tanah dan truk, muncul yang lain.

Pagar laut Pesisir Tangerang, oleh sejumlah masyarakat yang menamakan diri Jaringan Rakyat Pantura (JRP) menyatakan “pagar misterius” itu adalah buatan mereka. Lebih cocok disebut “bagan laut” daripada dipelitir dengan “pagar laut” oleh pemerintahan.
Bagan laut yang panjangnya sekitar 30.16 kilometer setara Jalan Raya Puncak Bogor-Cianjur atau 2/3 [dua per tiga] panjang Pulau Samosir. Selain dibuat dari bambu sebagai media budidaya kerang hijau, JRP mengakui bagan itu dapat menahan abrasi.
Berbeda pendapat dengan JRP, Muhamad Ali yang memang seorang pembudidaya kerang hijau di Kampung Baru, Dadap, mengaku “tidak tau kalo ada JRP,” dan menyatakan “tidak bisa air laut dangkal untuk pembudidayaan kerang hijau,” ujarnya. (15/1)
Bagan laut itu “tidak tau siapa yang melakukan, tetapi kalo nelayan yang membangun itu gak mungkin, kalo nelayan butuh berapa ratus juta, buat apa? – gak masuk akal. Bisa 500 juta untuk beli bambu saja,” sambung Ali, dengan asumsi 15.000 perbambu kali 30.16 ribu meter [452 juta], tidak termasuk biaya lain.
Usaha pembudidayaan kerang hijau Ali, sempat suruh di akhir tahun 2023 akibat tercemar limbah dari Muara Kali Dadap. Hingga sekarang, Ali dan tetangganya yang berprofesi serupa tidak mencemaskan pencemaran lagi, tetapi kemana mereka mencari kehidupan selain dilepas pantai Muara Kali Dadap jika mereka “dipindahkan”.

Tak hanya limbah yang mencemari, SD Negeri Dadap 1 yang berdiri sejak 1970an terpaksa tutup pada tahun 2016 karena selalu terkena banjir setiap air pasang – lebih buruk lagi – jika hujan deras disaat yang sama. Meski begitu masih ada sekitar 2.000 jiwa dan 663 keluarga yang bertahan dengan banjir bercampur limbah itu.
Nasip masyarakat betul-betul terpinggirkan dengan konflik Pemerintah Pusat dengan Aguan Cs yang memperebutkan kawasan potensial ini. Khalayak digital yang terpaku pada konten dan berita tentang sebagian penderitaan nelayan akibat pagar laut, dan melewatkan nasip dari 284 ribu penduduk di 20 Desa dan 3 Kelurahan di Kecamatan Teluknaga-Kosambi.
Ketimpangan serupa juga menghantui 418 ribu penduduk yang tersebar di 49 Desa serta 5 Kelurahan di Kecamatan Pakuhaji, Sukadiri, Mauk, Kemiri, dan Kronjo, berbatasan langsung dengan Kabupaten Serang yang memiliki 193 penduduk dari 42 Desa 4 Kecamatan, yaitu Tanara, Mekar Baru, Tirtayasa, sampai Pontang.
Menaikan perlawanan untuk pembangunan PIK terlihat sia-sia hari ini, seperti banjir di Desa Tanjung Burung, Teluknaga, karena pengurukan tanah yang terlalu tinggi oleh PIK seperti “pengusiran paksa”, keadaan itu sudah tidak bisa diatasi selain membangun pemukiman baru disitu. Relokasi sepertinya sedang diupayakan Kementerian Perumahan dan Pemukiman.
Lalu bagi 91 Desa dan 8 Kelurahan dengan 896 ribu penduduk tersebut, bisa naik kualitas hidupnya yang memang punya keahlian bertani dan nelayan, dengan akses jual ke pasar moderen di PIK dan pasar tradisional untuk wilayah sekitar. Mengatasi ketimpangan itu bisa dilakukan dengan kerja sama Pemerintah Pusat dan Agung Sedayu, daripada berebut dengan rekayasa pro-kontra rakyat.
Kemegahan Bandara ‘Internasional’ Sutta
Sebelum pembangunan PIK, Bandara Sutta selalu menjadi simbol kontras dengan Teluknaga-Kosambi. Kemegahan lapangan terbang itu sering menjadi suguhan rekreasi dari luar pagar oleh masyarakat di sore hari yang mungkin belum pernah “naik pesawat”, mungkin juga belum pernah ke “Tokyo” – maksudnya PIK.
Jika melintas di Sepanjang Jalan Raya Kampung Melayu, mencuci baju di kali sudah menjadi kebiasaan dari dulu, meski sekarang airnya keruh dan kotor. Saat musim hujan dan Pintu Air Sepuluh di buka [tidak semua pintu], anak-anak berenang disungai itu untuk menemani ibunya mencuci – terkadang kotoran manusia yang mengambang hanya disambut dengan tawa.

Tak lebih dari 600 meter dari landasan pacu paling utara Bandara Sutta, ada pemukiman padat di Desa Rawa Rengas hingga Belimbing yang hampir setiap gang sempitnya punya jalan setapak yang hancur, sebagian besar masyarakat disana hanya berharap mendapat kompensasi yang layak jika akan digusur sewaktu-waktu oleh pihak Angkasa Pura.
Pemerintah daerah juga tidak pernah serius dalam mengupayakan fasilitas pengelolaan sampah, maka tak heran tanah kosong sebagai “tempat pembuangan tetap” sampai pemilik tanah membangun atau menaruh papan peringatan “dilarang buang sampah”, tak heran juga sampah di bantaran kali mengenang bersama aliran yang enggan bergerak.
Untuk menyeberang ke Barat ada empat titik “eretan” sebagai penyeberangan alternatif melewati Sungai Cisadane menggunakan perahu yang ditarik seseorang, dengan tarif Rp 2.000 bagi pengemudi dan motornya, dan Rp 1.000 bagi pejalan kaki. Eretan ini tidak berani digunakan saat debit air sungai tinggi akibat hujan.
Tentu kapal sederhana untuk menghemat waktu dan bahan bakar bagi sekitar 11 ribu penduduk di Desa Gaga Pakuhaji itu, tidak mungkin dibandingkan dengan kapal-kapal terbang di Terminal 1 sampai 4 di Bandara Sutta. Jadi tidak heran pembangunan merata hanya menjadi mimpi bagi daerah-daerah luar Jakarta.
· · ·
Ini hanya sebagian dari keadaan sulit yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Teluknaga-Kosambi, sungguh gelap masa depan mereka dari pemerintah yang tertutup dengan perancangan dan konsep tak jelas “Indonesia Emas”. Jika agenda nasional jadi rahasia demi keamanan dan kepentingan yang lebih strategis, adakah kalimat “kemakmuran masyarakat” dalam agenda itu?
Artikel Lain: Hujan Membanjiri Kota Tangerang, Masyarakat Diminta Hubungi Call Center 112
[starbox]
2 thoughts on “Antara PIK dan Sutta, Bagaimana Masa Depan Masyarakat Teluknaga-Kosambi?”