
Mukafi Solihin (Kiri) dan Muhammad Rois Rinaldi (Kanan)
TANGERANG, PUSATBERITA – Aktivis kebudayaan menyebut sektor Budaya belum menjadi prioritas dalam masa 100 hari kerja Pemerintahan Sachrudin-Maryono.
Demikian dikatakan salah seorang aktivis kebudayaan di Kota Tangerang, Mukafi Solihin. Ia turut mempertanyakan sejauh mana Sachrudin-Maryono fokus pada penerapan Perda Pemajuan Kebudayaan.
“Penilaian 100 hari kinerja Wali Kota Tangerang pada bidang budaya ini dengan indikator, bagaimana Perda Pemajuan Kebudayaan menjadi ruh dalam setiap kebijakan yg di ambil dalam 100 hari kerja ini?” Tanya Munafik Solihin yang akrab di panggil Miing, kepada Pemkot Tangerang.
Miing menegaskan, sebenarnya Pemkot Tangerang tinggal mengimplementasikan Perda Pemajuan Kebudayaan yang sudah di sahkan oleh DPRD. Untuk konsep maupun idenya itu ada pada keramahan pelakunya saja, dalam hal ini Sachrudin-Maryono sebagai Pemimpinnya.
“Tugas pemerintah adalah bagaimana mengelaborasi, memfasilitasi, membuat kebijakan agar setiap ide dan konsep yang berserakan di masyarakat bisa berjalan dengan baik,” tegas Miing.
Misalnya, lanjut dia, yang paling mudah dan bisa cepat dilaksanakan adalah bagaimana setiap dinas di pemerintahan membaca ulang Perda Pemajuan Kebudayaan, lalu menyelaraskan seluruh program pembangunannya dengan setiap pasal yang ada.
“Misal bagaimana dinas PU dan PERKIM merencanakan pembangunan, apakah setiap bangunan atau apapun itu sudah selaras dengan budaya kita, atau bagaimana dinas pendidikan bisa memasukkan kelokalan dalam program perencanaan pendidikan di sekolahnya,” terang Miing.
Selain soal fokus pada Perda Pemajuan Kebudayaan, Miing juga turut mengomentari perayaan Pehcun yang setiap tahunnya tidak pernah ketinggalan untuk digelar.
Miing berpendapat bahwa gelaran Pehcun selama ini belum merepresentasikan kebudayaan di Kota Tangerang. Pasalnya, pesta budaya Tionghoa itu merupakan inisiatif warga.
“Maka sudut pandang yang dipakai untuk menilai apakah keberpihakan Pemkot sudah tinggi terhadap kebudayaan terletak pada kebijakan yang diambil, bukan pada potongan-potongan ceremony baik festival-festival atau yang lainnya,” tutur Miing.
Sementara, pendapat dikemukakan juga oleh Sastrawan Indonesia, Muhammad Rois Rinaldi, memandang nilai dan semangat kebudayaan jauh lebih mendalam.
“Cara berpikir kebudayaan, kalau orang fokus ke prodak kebudayaan, selebrasi budaya, itu tidak akan bisa membangun manusia yang berbudaya. Itu hanya membangun panggung-panggung yang tidak cukup punya daya untuk mengelola konstruksi pikiran budaya suatu kota,” kata Rois.
Rois melanjutkan, dalam kaitannya dengan pemerintahan, penting untuk disadari bahwa tidak semua nilai dalam masyarakat bersumber dari semangat luhur sebagaimana yang dipikirkan secara ideal.
“Dalam realitas budaya dan tatanan sosial, nilai acap kali dibentuk oleh dinamika kekuasaan di mana ada nilai-nilai patronase atau sekurang-kurangnya tekanan kekuasaan, kepentingan ekonomi dalam narasi perdagangan yang membentuk nilai tertentu, atau bahkan bias budaya yang telah berlangsung lama semisal tradisi-tradisi yang tidak konstruktif terhadap semangat zaman,” urai Rois.
Artikel Lain: Pemkot Tangerang Laksanakan Upacara Peringati Harlah Pancasila 2025 di Alun-alun Ahmad Yani