
Oleh Dede Rengifuryaan| Ketua Umum Komisariat SEMMI Cendekia
Indonesia boleh saja mencatat pertumbuhan ekonomi positif, tetapi Kota Tual di Maluku masih bertahan sebagai salah satu kota termiskin di Indonesia pada 2025, Kota Tual, Maluku, menempati posisi pertama dengan tingkat kemiskinan dengan persentase 20,68% Angka ini bukan sekadar statistik; ia mencerminkan kegagalan kebijakan pembangunan yang seharusnya mengurangi ketimpangan. Wali Kota Ahmad Yani Renuat, sebagai pemimpin tertinggi, tak bisa lepas dari tanggung jawab.
Visi Tidak Berjalan Seiring Aksi
Sejak awal, Pak Ahmad Yani Renuat mengusung visi “Tual Sejahtera dan Mandiri Berbasis Maritim.” Namun, implementasi program tidak terlihat mampu menekan kemiskinan secara signifikan. Perekonomian Tual masih sangat bergantung pada perikanan tangkap tradisional. Tanpa diversifikasi, pendapatan masyarakat tetap rentan fluktuasi harga ikan dan cuaca buruk.
Infrastruktur Tertinggal
Kondisi geografis Tual yang berupa kepulauan menuntut akses transportasi laut dan digital yang memadai. Faktanya, dermaga rakyat terbatas, logistik antar-pulau belum terintegrasi, dan jaringan internet di pulau-pulau kecil kerap terputus. Ini membuat UMKM kesulitan memperluas pasar dan pariwisata bahari gagal berkembang. Proyek pelabuhan perikanan modern yang dijanjikan belum menunjukkan kemajuan jelas, menimbulkan pertanyaan soal prioritas anggaran dan koordinasi pemerintah kota dengan pusat.
Program Sosial yang Kurang Memberdayakan
Pemkot Tual rutin menyalurkan bantuan sosial dan sembako, tetapi program tersebut lebih bersifat karitatif ketimbang pemberdayaan ekonomi berkelanjutan. Minim pelatihan wirausaha, akses permodalan UMKM, dan pendidikan vokasi membuat masyarakat sulit mandiri. Tanpa transformasi kebijakan, kemiskinan hanya dipindahkan dari satu periode ke periode berikutnya.
Transparansi dan Partisipasi Rendah
Sejumlah pengamat lokal menyoroti rendahnya forum dialog terbuka antara pemkot, nelayan, dan pelaku usaha kecil, sementara laporan rinci APBD serta evaluasi program kemiskinan sulit diakses publik. Ketika transparansi lemah, pengawasan masyarakat berkurang, dan kebijakan rentan tidak tepat sasaran.
Rekomendasi kongkrit
Kritik ini tidak sekadar menyalahkan, tetapi menawarkan langkah nyata:
Diversifikasi Ekonomi Maritim: membangun pusat pengolahan hasil laut, cold storage, dan industri bernilai tambah agar nelayan tidak hanya menjual ikan mentah.
Percepatan Infrastruktur,mengupayakan dermaga antar-pulau, transportasi laut reguler, dan jaringan internet serat optik dengan dukungan pemerintah pusat dan BUMN.
Pendidikan dan Pelatihan: mengembangkan sekolah vokasi maritim dan pelatihan digital untuk mendorong wirausaha muda.
Transparansi Anggaran,membuka data APBD dan menggelar evaluasi publik tahunan agar masyarakat bisa menilai kinerja pemerintah.
Wali Kota Ahmad Yani Renuat dipilih untuk membawa Kota Tual keluar dari ketimpangan. Namun hingga 2025, kemiskinan tetap tinggi dan inovasi kebijakan belum terasa. Jika pola pembangunan tidak bergeser dari seremonial ke strategis, Tual berisiko terus menjadi simbol kemiskinan di Indonesia. Kritik ini adalah ajakan mendesak agar pemerintah kota berani melakukan terobosan demi masa depan warganya