Oleh Abdul Hakim | Pengajar Studi Perbandingan Politik STISNU Kota Tangerang
Di jalan-jalan Bangkok, Seoul, hingga Jakarta, wajah anak muda dengan sejumlah poster kemarahan dan ponsel di tangan telah menjadi pemandangan politik baru. Generasi Z, anak zaman digital yang tumbuh bersama algoritma dan krisis, sedang menggelar perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap menua, congkak, dan kehilangan relevansi.
Mereka tidak membaca manifesto politik konvensional, melainkan membuat meme, menggalang petisi daring, dan memviralkan ketidakpuasan. Gelombang protes di Asia, Eropa, dan Amerika Latin menunjukkan gejala yang sama: kelelahan terhadap politik lama dan kemarahan terhadap elit yang hidup di menara gading.
Inilah paradoks zaman ini: di tengah puncak demokrasi elektoral, banyak orang merasa tidak lagi diwakili. Di sinilah muncul poros politik baru yang membelah dunia, bukan lagi antara kiri dan kanan, melainkan antara ‘establishment’ dan ‘anti-establishment’, antara mereka yang menikmati sistem dan mereka yang ingin meruntuhkannya.
Lelah dengan Sistem
Generasi Z tumbuh dalam tatanan global yang menjanjikan kemajuan tanpa batas, namun kemudian dihantam krisis beruntun, mulai dari resesi global 2008, pandemi COVID-19, hingga inflasi yang melambung dan krisis iklim yang memburuk.
Di banyak negara, mereka menyaksikan bagaimana elit politik berbicara tentang keadilan sosial sambil menumpuk kekayaan; bagaimana partai lama berganti wajah, tapi tidak berganti watak. Di Asia, fenomena ini tampak jelas. Di Korea Selatan, protes mahasiswa terhadap korupsi dan nepotisme meluas menjadi kritik terhadap ketimpangan struktural.
Di Indonesia, aksi-aksi mahasiswa menolak kebijakan pemerintah yang dianggap pro-oligarki menunjukkan semangat yang sama: perlawanan terhadap sistem yang dinilai hanya melayani kepentingan segelintir orang. Di Thailand, gerakan ‘Milk Tea Alliance’ yang dipimpin kaum muda menentang dominasi militer dan monarki konservatif.
Dari New Delhi hingga New York, generasi ini bersuara dengan bahasa yang sama: ketidakpercayaan. Mereka menyadari bahwa pemilu yang rutin tidak otomatis menghadirkan pemerintahan yang peduli. Politik elektoral yang terjebak dalam ritual prosedural telah kehilangan substansi moralnya.
Melampaui Kubu Ideologis
Politik klasik terbiasa membelah dunia dalam dua kubu ideologis: kiri dan kanan. Namun pembelahan itu kini terasa usang. Isu-isu besar abad ke-21 seperti korupsi, krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan monopoli digital tidak bisa lagi dijelaskan dengan dikotomi tersebut. Yang muncul justru garis baru: antara “atas” dan “bawah”, antara mereka yang berada di jantung sistem dan mereka yang menolak tunduk pada aturannya.
Dalam konteks ini, ‘establishment’ bukan hanya pemerintah, tetapi seluruh jaringan kekuasaan: partai lama, korporasi besar; media arus utama, bahkan lembaga internasional yang mengatur ekonomi global.
Sebaliknya, ‘anti-establishment’ mencakup spektrum luas: aktivis lingkungan, gerakan aktivisme digital, kelompok religius populis, hingga partai ekstrem kanan yang anti-imigrasi. Ironisnya, dua kubu yang secara moral dan ideologis bertentangan kini berbagi amarah yang sama terhadap sistem.
Maka, kita menyaksikan gejala paradoks: kemarahan rakyat menjadi komoditas politik baru. Di tangan politisi yang lihai, retorika “anti-sistem” ia bisa berubah menjadi kendaraan menuju kekuasaan itu sendiri.
Bahaya Populisme
Populisme adalah wajah paling populer dari politik ‘anti-establishment’. Populisme selalu datang dengan janji sederhana: mengembalikan kekuasaan kepada rakyat. Ia memikat karena berbicara dengan bahasa emosi, bukan teori. Dalam sejarah, populisme kadang menjadi vitamin bagi demokrasi; ia mengguncang kenyamanan elit, menuntut akuntabilitas, dan memaksa sistem mendengar kembali suara rakyat.
Di sisi lain, populisme juga mengandung racun yang sama kuatnya dengan daya hidupnya. Di banyak negara, setelah memenangkan pemilu, pemimpin populis kerap berubah menjadi penjaga baru sistem yang lebih tertutup. Viktor Orbán di Hungaria, Recep Tayyip Erdoğan di Turki, dan Donald Trump di Amerika adalah contoh klasik.
Pemimpin populis telah terbukti menunggangi gelombang kemarahan terhadap elit, lalu memusatkan kekuasaan atas nama rakyat. Populisme adalah cermin retak demokrasi modern: ia memantulkan wajah rakyat yang marah, tetapi sering kali merusak institusi yang membuat demokrasi bekerja.
Ada tiga alasan mengapa politik ‘anti-establishment’ hari ini begitu menggoda. Pertama, kegagalan representasi. Partai-partai besar di banyak negara lebih sibuk menjaga aliansi oligarki daripada memperjuangkan aspirasi pemilih. Politik menjadi ritual formal, bukan ruang perdebatan ide. Ketika saluran aspirasi tersumbat, jalanan menjadi tempat baru bagi politik.
Kedua, krisis kepercayaan terhadap institusi. Survei Edelman Trust Barometer 2024 menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah dan media anjlok di lebih dari 20 negara. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang alternatif, justru memperkuat ‘echo chamber’, menumbuhkan sikap sinis terhadap fakta, dan memicu polarisasi.
Ketiga, ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan struktural. Dunia kini dihadapkan pada kesenjangan yang mencolok: 1% populasi global menguasai lebih dari separuh kekayaan dunia. Ketika janji meritokrasi berubah menjadi fiksi, wajar jika muncul generasi yang merasa sistem ekonomi dan politik hanyalah mesin reproduksi ketidakadilan.
Semua faktor ini melahirkan energi sosial yang luar biasa, yaitu energi yang bisa mendorong inovasi politik, tetapi juga bisa menghancurkan fondasi demokrasi.
Dilema Baru Demokrasi
Demokrasi modern menghadapi dilema eksistensial. Di satu sisi, ia membutuhkan partisipasi rakyat untuk tetap hidup; di sisi lain, partisipasi yang meledak tanpa mekanisme penyaluran yang sehat bisa berubah menjadi anarki politik. Ketika “anti-sistem” menjadi satu-satunya narasi yang dipercaya, demokrasi justru kehilangan jiwanya.
Kita telah melihat bagaimana energi protes bisa berubah menjadi kekuasaan yang lebih keras. Revolusi yang berangkat dari semangat kebebasan sering kali berakhir dengan rezim yang menindas atas nama rakyat. Di Amerika Latin, beberapa gerakan kiri yang dulu ‘anti-establishment’ kini berjuang mempertahankan kekuasaan dengan gaya yang sama otoriternya.
Demokrasi, singkatnya, sedang digempur dari dua arah: dari luar oleh otoritarianisme, dan dari dalam oleh populisme yang memakai wajah demokratis.
Namun ada sisi lain yang lebih optimistis. Gerakan-gerakan baru yang dipimpin generasi muda sering kali tidak hanya memprotes, tetapi juga berinovasi. Mereka memanfaatkan teknologi untuk transparansi, membangun solidaritas lintas batas, dan mendobrak tabu politik.
Kita menyaksikan aktivis digital di Filipina dan Indonesia mengembangkan sistem pemantauan pemilu berbasis ‘crowdsourcing’. Di Korea Selatan, platform daring untuk menyuarakan aspirasi politik generasi muda berhasil menekan parlemen agar mengesahkan undang-undang kesetaraan gender. Di Chile, gerakan mahasiswa yang dimulai dari protes biaya pendidikan melahirkan konstitusi baru yang lebih inklusif.
Generasi ini menolak politik yang hanya diisi jargon dan seremonial. Mereka menuntut pemerintahan yang otentik, transparan, dan berani berubah. Jika elit gagal membaca arah ini, mereka akan digantikan bukan oleh revolusi berdarah, melainkan oleh ‘clicks, hashtags, dan votes’.
Meski demikian, kaum ‘establishment’ tidak tinggal diam. Mereka beradaptasi dengan bahasa baru, meminjam istilah “reformasi”, “inovasi”, dan “digitalisasi” untuk mempertahankan legitimasi. Namun sering kali ini hanya kosmetik. Banyak pemerintahan membangun citra pro-rakyat sambil mempertahankan sistem ekonomi yang timpang dan struktur birokrasi yang korup.
Fenomena ini menciptakan kelelahan politik, di mana rakyat tahu bahwa semua partai berbicara tentang perubahan, tapi tak satu pun benar-benar berubah. Dalam situasi seperti ini, sinisme menjadi ideologi baru, dan demokrasi terancam mati bukan karena kudeta militer, melainkan karena kehilangan kepercayaan warganya.
Kebangkitan Anti-Sistem
Pertanyaan yang paling mendesak hari ini bukanlah apakah gerakan ‘anti-establishment’ itu baik atau buruk, melainkan bagaimana sistem politik bisa belajar darinya. Dalam arti tertentu, gelombang anti-sistem adalah bentuk vaksin bagi demokrasi, ia menyakitkan, tapi bisa menyelamatkan jika dosisnya tepat.
Gerakan ini memaksa negara meninjau kembali model representasi, mendesak transparansi, dan memperluas ruang partisipasi. Namun, bila ditolak mentah-mentah atau dimanipulasi oleh kekuatan otoriter, energi protes itu bisa berubah menjadi ledakan destruktif.
Kita tidak bisa menumpas kemarahan rakyat dengan pidato moral sebagaimana sering ditampilkan media mainstream; yang dibutuhkan adalah pembenahan institusional: partai yang lebih terbuka, kebijakan publik yang lebih adil, dan sistem ekonomi yang tidak hanya melayani segelintir elite.
Di tengah hiruk-pikuk ini, pertanyaan mendasar bagi setiap bangsa adalah: apakah demokrasi masih mampu memperbarui dirinya tanpa menghancurkan dirinya sendiri?
Demokrasi sejati bukanlah sistem yang sempurna, melainkan sistem yang bisa memperbaiki diri melalui kritik. Namun, jika kritik berubah menjadi sikap anti-institusi total, demokrasi kehilangan alat perbaikannya. Karena itu, tugas utama generasi sekarang , baik politisi, akademisi, maupun aktivis, adalah menemukan keseimbangan antara koreksi dan konstruksi, antara kemarahan dan harapan.
Kita membutuhkan politik yang berani mengakui kesalahan tanpa kehilangan kemampuan memimpin; pemimpin yang tidak takut dikritik, tetapi juga tidak menunggangi kemarahan rakyat untuk menindas lawan. Demokrasi bukan sekadar hak untuk protes, tetapi juga tanggung jawab untuk membangun.
Arah Baru Politik Gen Z
Mungkin sudah saatnya kita melampaui dikotomi “establishment versus anti-establishment”. Dunia butuh politik ‘post-system’, sebuah paradigma yang tidak lagi sekadar menolak sistem lama, tapi membangun sistem baru berbasis transparansi, solidaritas, dan kecerdasan kolektif.
Kini, generasi muda dengan kecakapan digital dan kesadaran global memiliki potensi besar untuk mewujudkannya. Mereka tidak memuja ideologi klasik, tapi mengutamakan nilai universal: keadilan, keseimbangan ekologis, dan partisipasi bermakna. Jika sistem lama gagal mengakomodasi semangat ini, maka sejarah akan menulisnya sebagai catatan kaki dari peradaban yang menolak berubah.
Gelombang anti-sistem hari ini adalah gejala sekaligus peringatan. Ia menandai kebangkitan kesadaran baru, tetapi juga menyingkap kebangkrutan moral politik lama. Jika demokrasi ingin bertahan, ia harus berani mendengarkan suara yang paling keras sekalipun, bukan untuk menindasnya, melainkan untuk memahami akar kemarahannya.
Dalam era di mana generasi muda tidak lagi menunggu izin untuk bersuara, keangkuhan ‘establishment’ hanyalah undangan bagi kejatuhan. Sistem politik yang menolak berubah akan roboh bukan karena revolusi, tapi karena kehilangan relevansi. Sejarah, pada akhirnya, berpihak pada mereka yang berani berubah dan bukan pada mereka yang sibuk mempertahankan kursi panas kekuasaan.
Editor: Topan Bagaskara
